Fuan, seorang jenderal perempuan legendaris di dunia modern, tewas dalam ledakan yang dirancang oleh orang kepercayaannya. Bukannya masuk akhirat, jiwanya terlempar ke dunia lain—dunia para kultivator. Ia bangkit dalam tubuh Fa Niangli, permaisuri yang dibenci, dijauhi, dan dihina karena tubuhnya gemuk dan tak berguna. Setelah diracun dan dibuang ke danau, tubuh Fa Niangli mati... dan saat itulah Fuan mengambil alih. Tapi yang tak diketahui semua orang—tubuh itu menyimpan kekuatan langit dan darah klan kuno! Dan Fuan tidak pernah tahu caranya kalah...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16 Pengkhianatan dan Warisan
Di dalam ruang bawah tanah Kuil Hening Angin, suasana menjadi berat dan khidmat. Cahaya spiritual dari bayangan Bai Yun—tetua terakhir Sekte Langit Tertinggi—berkelip lembut di udara, seakan menghidupkan kembali masa lalu yang telah lama terkubur.
“Pengkhianatan itu... datang dari dalam,” Bai Yun memulai, suaranya serak namun tegas. “Saat Sekte Langit Tertinggi berada di puncak kejayaan, kami membuka diri untuk menerima sekte-sekte kecil dalam aliansi. Tapi di sanalah akar kehancuran tumbuh.”
Fa Niangli dan Mo Qingluan menyimak dalam diam.
“Salah satu murid utama kami, bernama Yi Chen... dia terpesona oleh kekuatan dunia luar, terobsesi untuk menggabungkan ilmu kegelapan dari Dimensi Selatan ke dalam teknik sekte. Ia melanggar sumpah, dan mencuri tiga warisan pilar.”
Bayangan altar bergelombang, menampilkan sosok lelaki berambut hitam dengan senyum sinis.
“Yi Chen menjalin aliansi dengan pihak luar, lalu menyusupkan racun ke dalam sumber formasi utama sekte. Pada malam yang disebut ‘Malapetaka Salju’, serangan besar terjadi. Semua tetua gugur. Aku, satu-satunya yang tersisa, memindahkan warisan inti ke dalam tubuh seorang anak kecil... lalu menyegel semua ingatan dan kekuatannya.”
Fa Niangli menatap tajam. “Dan anak itu... Xiao Er?”
Bai Yun mengangguk perlahan. “Dia satu-satunya yang tersisa dari garis penerus sejati.”
---
Sementara itu di Lembah Langit Tertinggi, Tong Lian tengah berebut kue spiritual dengan Xiao Er di dapur.
“Ini bukan untuk kamu! Ini untuk perayaan sore nanti!” serunya.
Xiao Er menunduk, wajah polos. “Tapi... aku merasa kue itu bisa membangunkan kekuatan dalam diriku.”
Tong Lian melotot. “Itu alasan paling jahat yang pernah kudengar dari anak kecil!”
Tiba-tiba, kue itu benar-benar bersinar.
Fa Jinhai lewat dan memandangi mereka dengan tatapan datar. “Itu bukan kue biasa. Itu kue ramuan energi tinggi dari rak rahasia Fa Niangli. Kenapa bisa ada di sini?”
Zhu Feng dari belakang: “Mungkin karena Tong Lian tidur sambil ngunyah tadi malam dan jatuhin kunci lemari.”
Tong Lian langsung pucat. “...Aku minta maaf.”
---
Kembali ke kuil, Fa Niangli menatap Bai Yun. “Apa yang harus kulakukan untuk membangkitkan kekuatan dalam Xiao Er secara perlahan dan aman?”
Bai Yun tersenyum samar. “Didik dia... seperti anak biasa. Jangan bentuk dia jadi alat perang. Karena yang akan menyelamatkan sektemu nanti... bukan kekuatan, tapi hatinya.”
Fa Niangli terdiam. Cahaya bulan menyelinap dari celah batu dan menerangi simbol sekte di lantai.
“Sekte Langit Tertinggi pernah hancur karena keserakahan. Tapi kali ini, biarlah ia tumbuh karena kasih sayang.”
Mo Qingluan berdiri di samping Fa Niangli dan berkata pelan, “Aku yakin... kita bisa melakukannya.”
Bai Yun memudar perlahan, namun sebelum lenyap, ia berkata:
“Dan satu lagi… Yi Chen belum mati. Dia bersembunyi... dan sedang mengincar warisan yang tersebar.”
Perjalanan pulang dari Kuil Hening Angin membawa Fa Niangli dan Mo Qingluan menelusuri jalan pegunungan yang belum pernah mereka lewati sebelumnya. Kabut tipis menggantung rendah di antara pohon-pohon pinus tua, memberi nuansa tenang sekaligus misterius.
Saat matahari mulai turun ke barat, mereka memutuskan beristirahat di sebuah pondok tua yang tampaknya pernah digunakan sebagai tempat meditasi para pertapa.
Mo Qingluan sedang mempersiapkan api unggun ketika suara derap kaki kuda terdengar dari kejauhan. Fa Niangli segera berdiri waspada, tangannya meraih jubah bagian dalam yang menyembunyikan belati kecil.
Dari balik kabut, muncul seorang pria muda menunggang kuda hitam pekat. Ia mengenakan pakaian kelana, rambut panjang dikuncir sederhana, dan di punggungnya tergantung pedang bersarung gelap. Tatapannya tenang namun tajam seperti mata elang.
Pria itu berhenti beberapa langkah dari mereka, menundukkan kepala sopan.
“Maaf mengganggu. Aku melihat asap. Bolehkah aku numpang istirahat sebentar?”
Fa Niangli memandangi pria itu tajam, lalu mengangguk. “Silakan. Tapi kalau kau berniat jahat, aku tidak menjamin kau akan pulang dengan semua anggota tubuh lengkap.”
Mo Qingluan yang sedang mengaduk sup: “Guru! Gaya menyambut tamu kita masih... tetap sama rupanya.”
Pria itu tersenyum tipis. “Tidak masalah. Aku lebih suka kejujuran daripada senyum palsu.”
---
Malam itu mereka bertiga duduk mengelilingi api unggun. Lelaki itu memperkenalkan diri sebagai Jiang Yuan, seorang pengembara yang tengah mencari kitab warisan keluarganya yang hilang saat kekacauan sekte-sekte beberapa dekade lalu.
“Aku hanya mengikuti petunjuk lama. Tapi tampaknya semua petunjuk membawa ke tempat yang tak bisa dijangkau oleh kekuatan semata.”
Fa Niangli mendengarkan tanpa berkata banyak. Tapi diam-diam, ia mengamati gerak-gerik Jiang Yuan. Cara dia memandang langit, cara dia menyentuh pedangnya... bukan kelana biasa. Orang ini pernah berlatih keras, tapi menyembunyikan banyak hal.
Setelah makan malam, Jiang Yuan membantu menyusun kayu dan membersihkan tempat istirahat. Ia tidak banyak bicara, namun sikapnya sopan dan penuh ketenangan.
Saat mereka semua mulai bersiap tidur, Mo Qingluan berbisik pelan ke Fa Niangli, “Guru... kalau dia nanti jadi suami masa depanmu, kupastikan dia harus ikut bantu bersihin dapur.”
Fa Niangli hanya mendelik. “Apa pun bisa kuterima... asal jangan ada yang ganggu lemari bumbu.”
---
Keesokan paginya, saat mereka bersiap untuk berangkat, Jiang Yuan sudah tak ada di tempat. Di atas batu tempat dia duduk semalam, tertinggal secarik kain dengan gambar lambang burung fenghuang yang terbakar separuh—lambang kuno dari sekte yang telah lama menghilang.
Mo Qingluan memungutnya. “Dia tidak biasa...”
Fa Niangli menggenggam kain itu, menatap jauh ke jalan yang kosong.
“Entah kenapa... rasanya aku akan bertemu dia lagi.”
Bersambung