Robert, seorang ilmuwan muda brilian, berhasil menemukan formula penyembuh sel abnormal yang revolusioner, diberi nama MR-112. Namun, penemuan tersebut menarik perhatian sekelompok mafia yang terdiri dari direktur laboratorium, orang-orang dari kalangan pemerintahan, militer, dan pengusaha farmasi, yang melihat potensi besar dalam formula tersebut sebagai ladang bisnis atau alat pemerasan global.
Untuk melindungi penemuan tersebut, Profesor Carlos, rekan kerja Robert, bersama ilmuwan lain, memutuskan untuk mengungsikan Robert ke sebuah laboratorium terpencil di desa. Namun, keputusan itu membawa konsekuensi fatal; Profesor Carlos dan tim ilmuwan lainnya disekap oleh mafia di laboratorium kota.
Dengan bantuan ayahnya Robert yang merupakan seorang pengacara dan teman-teman ayahnya, mereka berhasil menyelamatkan profesor Carlos dan menangkap para mafia jahat
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Osmond Sillahi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Avengers Versi Lansia
...Kalau kamu melihat empat pria tua, berdandan seperti pemain teater, dan menyelinap di malam hari sambil membawa peta laboratorium rahasia, kamu mungkin takkan menyangka mereka sedang menyelamatkan dunia. Tapi begitulah ceritanya dimulai....
Di lantai dua kedai “Kopi dan Kata”, suasana mulai senyap. Malam perlahan menyelimuti kota, dan hanya denting gelas kopi serta desau angin dari jendela tua yang menjadi musik latar. Mark memandangi layar ponselnya, jarinya ragu sebelum menekan ikon kamera untuk memulai panggilan video.
Wajah Misel muncul pertama kali, diikuti oleh Robert yang duduk di sampingnya di ruang kerja laboratorium desa. Keduanya tampak kelelahan, tapi tetap waspada. Saat melihat wajah Mark di layar, keduanya nyaris bersamaan membeku.
“Eh ... sebentar,” gumam Robert, menyipitkan mata. “Ini ... Ayah?”
Misel menoleh cepat ke Robert, lalu kembali menatap layar. “Maaf, Pak ... ini siapa ya?” gumamnya ragu.
Mark tertawa pelan, lalu berkata dengan suara khasnya yang berat dan tenang, “Kalau suaraku masih sama, berarti belum sepenuhnya tua.”
Robert langsung mendekat ke layar. “Ayah! Astaga... wajah Ayah kenapa jadi kayak ... kayak ... siapa ini?!”
Misel menutup mulutnya, menahan tawa dan takjub. “Pak Mark, ini beneran Bapak? Wajahnya ... beda banget. Saya nyaris nggak ngenalin.”
“Kalau aku nggak denger suaranya barusan, sumpah aku kira ini orang asing,” timpal Robert sambil memicingkan mata, menatap detail wajah ayahnya.
Di belakang Mark, terdengar tawa tertahan. Kamera sedikit bergeser, menampakkan Roy dan Samuel, yang ikut menonton dari balik bahu Mark. Tak lama, Denny muncul di samping, menyeringai ke kamera.
“Siapa dulu yang cari makeup artist-nya?” kata Denny dengan bangga, sambil mengangkat alis.
Roy menambahkan sambil tertawa, “Rini itu legenda. Kalau dia yang sulap wajah, bahkan mantan pacar pun bisa ketipu.”
Samuel menyahut dengan nada serius tapi senyum di bibir, “Kami semua sekarang punya identitas baru. Kalau masuk lab malam ini, tak seorang pun akan mencurigai.”
Robert terdiam sebentar. Matanya menyapu wajah ayahnya sekali lagi. Rambut keriting pirang, garis wajah yang dimanipulasi makeup menjadi lebih tua, dan sedikit sorot lelah yang entah kenapa justru membuat Mark terlihat ... lebih tangguh.
“Keren sih,” ucap Robert pelan. “Tapi aku juga khawatir.”
Mark mengangkat alis. “Khawatir kenapa?”
Robert menatap langsung ke kamera. “Ayah mungkin masih lincah dan penuh semangat, tapi umur Ayah udah nggak muda. Aku ... aku nggak mau kehilangan Ayah. Setelah kehilangan Mama karena kanker dulu ... aku nggak sanggup kalau harus ngalamin kehilangan lagi.”
Hening sejenak. Misel menggenggam tangan Robert yang kini menunduk sedikit, menyembunyikan rasa takut yang berusaha ia tahan.
Mark menatap anaknya lama, lalu berkata lembut, “Aku ngerti, Rob. Tapi justru karena Mama kamu sudah pergi, aku harus pastikan dunia ini nggak jadi tempat yang dikuasai oleh keserakahan. Termasuk laboratorium itu.”
Ia menarik napas panjang. “Dan selama aku masih bisa bergerak, selama aku masih bisa berpikir ... aku akan lindungi kamu, Misel, dan semua orang yang percaya pada kebenaran.”
Denny menepuk bahu Mark dari samping. “Kita akan pastikan operasi ini berjalan sempurna. Ayah kamu bukan pergi sendirian, Rob. Kami semua ikut.”
Misel tersenyum kecil. “Jadi ... kita punya Avengers Versi Lansia ya di sini?”
Roy tertawa. “Hei, kami ini bukan lansia. Kami hanya ... berpengalaman!”
Samuel menambahkan, “Dan pengalaman tak bisa dibeli, hanya ditempa oleh waktu.”
Robert mengangguk perlahan, walau matanya tetap menyimpan kekhawatiran. “Kalau begitu ... hati-hati. Jangan lengah. Dunia masih butuh kalian. Dan aku masih butuh Ayah.”
Mark tersenyum, kali ini senyum hangat yang tidak bisa disembunyikan di balik makeup dan penyamaran.
“Aku akan pulang, Rob. Bukan sebagai pahlawan ... tapi sebagai Ayahmu. Seperti dulu.”
Samuel menyandarkan punggung ke kursi, menatap layar ponsel yang baru saja digunakan untuk video call. Ia masih memikirkan wajah Robert yang sempat berkaca-kaca tadi.
Lalu dengan suara lembut namun serius, ia bertanya, “Robert ... boleh aku tanya sesuatu?”
Robert di ujung sambungan, yang kini hanya dalam mode suara, menjawab pelan, “Tentu, Om Samuel.”
“Aku penasaran,” lanjut Samuel. “Kenapa kamu memutuskan untuk menciptakan formula itu? Apa yang membuatmu begitu terdorong?”
Hening sejenak. Lalu suara napas Robert terdengar, dalam, berat.
“Nama formulanya MR-112,” ucap Robert perlahan.
“MR?” Mark mengernyit. “Misel dan Robert?”
“Benar, Ayah,” jawab Robert. “Misel yang kasih nama itu. Katanya, kalau suatu hari dunia tahu manfaat formula ini, dunia juga tahu kalau cinta dan harapan bisa menciptakan sesuatu yang menyelamatkan nyawa.”
Roy tersenyum kecil, tapi matanya tetap tajam menunggu kelanjutan.
“Dan angka 112 itu,” Robert melanjutkan, suaranya mulai bergetar, “... itu kode pertama yang aku kasih ke Misel waktu aku kabur dari laboratorium kota. Dulu itu sinyal kalau aku masih hidup, dan masih berjuang.”
Robert melanjutkan, “Aku ciptakan MR-112 karena ... Mama.”
Sekejap suasana berubah. Tak ada yang bersuara.
“Mama meninggal karena kanker rahim, saat aku masih di tahun pertama kuliah,” lanjut Robert. “Waktu itu aku nggak bisa berbuat apa-apa. Bahkan aku cuma bisa duduk di luar ruang ICU dan dengar suara mesin berhenti.”
Suara Robert makin lirih, tapi jelas.
“Sejak hari itu... aku janji ke diri sendiri. Nggak boleh ada anak lain di dunia ini yang kehilangan ibunya karena kita belum cukup pintar. Karena ilmu belum sampai. Karena obat belum ditemukan. Jadi aku belajar, aku riset ... sampai akhirnya aku menemukan senyawa dasar yang bisa jadi terapi target kanker stadium lanjut.”
Roy mengepalkan tangan di atas meja, matanya menatap kosong ke arah jendela.
“Jadi maksudmu ... semua ini kau lakukan untuk menyelamatkan nyawa?” tanyanya, nada suaranya meninggi.
Robert menjawab tegas, “Ya. Aku hanya ingin ... menghentikan tangis kehilangan.”
Roy menepuk meja dengan keras. “Lalu kenapa orang-orang jahat itu justru ingin merebutnya?!”
Mark menoleh cepat, tapi Denny lebih dulu angkat bicara.
“Karena ilmu yang menyelamatkan,” katanya tenang, “juga bisa jadi alat kekuasaan. MR-112 itu bisa jadi ladang emas. Bayangkan perusahaan farmasi yang bisa memonopoli pengobatan kanker. Harga bisa dikendalikan. Orang miskin akan tetap menderita, dan orang kaya ... akan menguasai umur manusia.”
Samuel mengangguk pelan. “Itulah mengapa mereka ingin Profesor Carlos dan ilmuwan lainnya disekap. Mereka ingin menyempurnakan formula, lalu menjualnya ke pasar gelap ... atau menguncinya untuk kelompok elit saja.”
Roy menatap Mark. “Kita harus bergerak. Malam ini, bukan hanya untuk menyelamatkan profesor Carlos dan yang lainnya, tapi untuk menjaga ilmu pengetahuan tetap di jalan yang benar.”
Mark mengangguk dalam. “Kita mulai tengah malam. Rute sudah jelas, ID penyusupan siap, dan kamu semua ... sahabatku yang paling bisa dipercaya.”
Denny menambahkan, “Aku sudah atur semua titik pantauan. Kalau kita gagal, dunia bisa jadi tempat yang lebih dingin dan kejam dari yang kita bayangkan.”
Samuel menatap semua wajah di sekeliling meja, lalu berkata pelan, “Kalau berhasil ... kita bukan hanya menyelamatkan ilmuwan, tapi juga menjaga masa depan anak-anak, istri, suami, dan orang-orang yang belum lahir. Kita menjaga dunia agar tetap bisa percaya pada ilmu.”
Roy meraih gelas kopinya, mengangkatnya tinggi-tinggi.
“Untuk MR-112. Untuk cinta yang menciptakannya. Dan untuk dunia yang layak mendapatkannya secara adil.”
Gelas-gelas lain terangkat bersamaan.
Dan di tengah malam yang kian larut, empat pria dengan wajah berbeda dan jiwa yang sama, menatap ke luar jendela Kopi dan Kata, ke arah laboratorium kota yang menjulang seperti benteng terakhir. Tapi kali ini, mereka tidak gentar.
Karena misi ini bukan tentang perang.
Ini tentang harapan. Yang tak boleh dicuri.