Daddy, Mommy Milik Kami!

Sosok itu membuat suasana sedikit berubah—karena semua mata menoleh. Seorang perempuan berparas cantik dengan dandanan bold dan gaun merah. Ainun.

"Wihh artis kita sudah sampai ternyata." Ujar Dito menyambut Ainun, teman kelas mereka yang jadi selebgram dengan pengikut 100 ribu lebih.

“Oh, please Dito, biasa aja. Aku bukan artis, cuma… yaa sharing-sharing aja di sosial media,” jawab Ainun sambil mengibaskan rambut panjangnya ke belakang dengan gaya khas selebgram. Senyumnya tak sepenuhnya ramah—lebih seperti senyum milik seseorang yang tahu dirinya lebih unggul.

Yang lain tertawa dan langsung memberi ruang di meja utama. Kursi yang tadinya disiapkan untuk siapa pun, kini seolah dipesan khusus untuk Ainun. Bahkan Rika, yang biasanya paling dominan, langsung mempersilakan Ainun duduk di tengah-tengah.

Maizah memperhatikan dari tempatnya berdiri, sedikit terpinggirkan bersama Arvid dan anak-anak. Ia menarik napas perlahan. Dulu Ainun memang termasuk geng populer. Bukan cuma cantik, tapi juga pintar bicara dan pandai membungkus dirinya dengan pesona. Mereka tidak pernah dekat, dan sejujurnya, dulu Ainun tidak terlalu peduli padanya.

“Kamu masih sering buka Instagram?” tanya Rika setengah berbisik ke Maizah, matanya tak lepas dari Ainun. “Ainun sekarang endorse-nya udah sampe skincare Korea loh. Gila banget!”

“Oh ya?” jawab Maizah pendek. Ia tersenyum sopan, tapi hatinya sudah tahu ke mana arah pembicaraan ini.

Tiba-tiba Ainun menoleh, dan matanya bertemu dengan Maizah.

“Maizah, ya?” katanya sambil menyipitkan mata, seolah mencoba mengingat.

“Iya,” jawab Maizah dengan senyum tenang.

“Wow… kamu datang juga. Lama banget nggak liat kamu.” Tatapannya lalu beralih ke Arvid, yang berdiri di samping Maizah, masih menggenggam tangan istrinya dengan penuh kehangatan. “Eh, itu suami kamu?”

“Iya, suami aku. Namanya Arvid." Jawab Maizah memperkenalkan Suaminya. "Dan ini kedua putra kami, Matthew dan Aidan," Lanjutnya memperkenalkan kedua putranya.

Ainun sempat terdiam, matanya menelusuri wajah Arvid, dari rahang tegasnya hingga sorot matanya yang dalam tapi tenang. Pria itu tampak begitu berkelas dalam kesederhanaannya—dan entah mengapa itu membuat dadanya berdesir.

Ganteng banget pria ini, pandai juga Maizah cari suami, batin Ainun yang tak bisa menyembunyikan rasa kagumnya.

"Ekhmm," dehem Maizah membuyarkan lamunan Ainun.

"Eh, semuanya ayo kita duduk. Acaranya kita mulai saja ya. Kayaknya kita semua sudah datang deh." Ujar Winda.

“Eh, semuanya ayo kita duduk. Acaranya kita mulai saja ya. Kayaknya kita semua sudah datang deh,” seru Winda dari arah panggung mini yang dihiasi lampu bohlam kelap-kelip.

Mereka mulai berpindah ke kursi masing-masing. Sebagian besar memilih duduk di sekitar meja utama, tempat yang dekat dengan panggung dan lebih ramai. Sementara itu, Maizah dan keluarganya memilih duduk di meja samping taman, sedikit lebih tenang, tapi justru menjadi pusat lirikan dari berbagai arah.

“Ainun, sekarang Maizah berubah kan? Tambah cantik. Ini mah definisi glow up,” celetuk Rika, yang duduk di samping Ainun.

Ainun melirik ke arah Maizah, memperhatikan dengan seksama. Wanita yang dulu sering dibully karena kulit sawo matang dan tubuh berisi itu, kini tampil sederhana namun anggun. Wajahnya bersih tanpa make-up tebal, namun justru memancarkan pesona alami yang menenangkan.

“Iya, setuju!” ujar Jio, sambil menyeruput es kopinya. Tatapannya tak lepas dari Maizah. “Kok sekarang malah pengen ngobrol sama dia ya.”

"Suaminya sih, ganteng banget gilaa. Dulu kita gak ada yang pergi ke pernikahannya. Sampai sekarang punya dua orang anak saja rasanya gak percaya gitu. Mana kedua anaknya ganteng-ganteng juga lagi." Timpal Jasmin.

“Aku sampai bingung ini Maizah yang dulu bukan sih?” sahut Dina. “Dulu pendiam, sekarang kayak bener-bener dewasa, tenang, dan… kayak adem aja gitu lihat dia.”

Ainun hanya tersenyum kaku, sembari memainkan sedotan mocktail-nya. Rasa tak nyaman mulai merayap di hatinya. Biasanya, dirinyalah yang jadi pusat perhatian. Tapi kali ini, sinar lampu reuni itu terasa bergeser—dan entah kenapa, itu terasa mengusik.

Di meja lain, Maizah sedang membantu Aidan menuang saus ke atas kentang gorengnya. Di sampingnya, Matthew duduk tenang, sesekali menoleh ke arah panggung kecil di mana seorang MC membuka acara dengan salam hangat dan candaan nostalgia.

"Selamat datang semua! Wah, kita akhirnya bisa reuni setelah belasan tahun. Banyak yang berubah, tapi senyum kalian masih sama seperti dulu!" seru MC dengan suara ceria.

Suasana meriah pun dimulai. Setelah sambutan dan doa bersama, para tamu dipersilakan untuk mengambil makanan dari buffet yang telah disiapkan di sisi restoran. Hidangan khas Indonesia tersaji menggoda—nasi liwet, ayam bakar, urap, sate, hingga aneka jajanan pasar yang membangkitkan kenangan.

Maizah dan Arvid bergiliran mengambilkan makanan untuk anak-anak mereka. Mereka tidak suka membiarkan Aidan dan Matthew berdesakan, jadi memilih waktu yang agak lengang.

“Mama, aku mau tahu tempe dan sate,” kata Matthew sopan.

“Baik, Mommy ambilkan,” jawab Maizah lembut. Aidan, sementara itu, masih sibuk memainkan Max

Setelah semua makanan siap di meja, mereka mulai makan bersama. Tak jauh dari meja mereka, ada satu keluarga lain—teman lama Maizah bernama Lina, bersama suaminya dan seorang anak perempuan sekitar tiga tahun yang duduk tepat di samping Aidan.

Anak itu, yang bernama Keysha, memiliki rambut ikal dan mata bulat ingin tahu. Ia tampak memperhatikan gerak-gerik Aidan yang memainkan Max.

Merasa kalau mainnya lah yang ditunjuk, Aidan segera memeluknya. "It's my mine," jawabnya membuat anak itu mengerit tak mengerti.

Keysha memiringkan kepala, bingung. Ia belum begitu paham bahasa Inggris

"Mama… mau itu juga," ucap Keysha pelan, sambil menunjuk robot yang sedang menari dengan suara mekanis kecil.

Arvid pun menoleh dan menepuk bahu anaknya. “Kita belajar berbagi, ingat?”

Matthew sih bodo amat ya, dia sibuk mencicipi makanan yang Mommy-nya ambilkan. Meskipun awalnya Max robot untuknya, tapi lama-lama dia sudah tidak se-tertarik itu dan membiarkan adiknya memilikinya.

Aidan menatap ibunya, lalu ayahnya. Matanya bergerak ke arah Keysha yang tampak sedih dan mulai memeluk ibunya. Ia menghela napas, lalu memutar Max agar berdiri sendiri dan melangkah pelan ke arah anak itu.

“Kamu bisa main… tapi sebentar aja ya,” katanya masih dalam nada canggung.

Keysha langsung tertawa senang. Ia menepuk tangan kecilnya dan menyambut Max dengan senyum lebar. Robot itu mulai berputar sambil memutar suara kecil: “Hello friend!”

Melihat itu, para orang dewasa yang duduk di meja sekitarnya ikut tersenyum. “Anak kamu sopan ya, Maizah. Pinter dia,” puji Lina.

Maizah hanya tersenyum menanggapi hal itu.

"Memangnya harga robot itu berapaan? Biar aku berikan hadiah untuk anakmu Lina." Ujar Ainun percaya diri, sangat percaya diri malahan.

Semua orang langsung menatapnya.

"Untuk anak gue juga dong nun," sahut Rika dengan cepat, kapan lagi dapat yang gratis.

"Boleh," jawab Ainun membutuhkan Rika bersorak. "Jadi, berapa harganya?" Tanya Ainun lagi pada Maizah.

Tbc.