Kisah CEO dingin dan galak, memiliki sekretaris yang sedikit barbar, berani dan ceplas-ceplos. Mereka sering terlibat perdebatan. Tapi sama-sama pernah dikecewakan oleh pasangan masing-masing di masa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Favreaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 16
"Saya mau makan, kamu sudah makan belum? Kalau belum, kita masuk ke dalam sambil ngobrol, bagaimana?" tanya Dika.
Mata tajam lelaki itu menatap Cassandra. Wanita itu sedikit merinding saat mata mereka bertemu.
"Oke?"
Dika menggerak-gerakkan telapak tangannya di depan wajah Cassandra. Cassandra pun tersadar sambil mengedip-ngedipkan mata.
Bibirnya tersipu, lalu mengangguk.
Langkah kaki mereka bersisian menuju resto mewah dengan bangunan bak istana itu.
"Sebenarnya tadi aku sudah masuk bareng temen-temenku sesama model"
"Oh, jadi kamu model ya?"
Cassandra mengangguk dengan bangga.
"Pantas, mataku memang tak salah melihat dan feeling ku benar."
"Kok bisa gitu?" Cassandra menatap penasaran. Tapi Dika Malah tergelak. "Tubuh kamu indah, memang cocok menjadi model."
Haaahhh, hidung Cassandra yang tak seberapa mancung terbang ke awang-awang. Menghirup aroma di sekitarnya yang terasa berbau wangi, menurut penciumannya.
"Kita duduk di pojok sana saja, supaya bisa ngobrol dengan tenang."
Telunjuk Dika mengarah ke sudut ruangan. Cassandra cuma mengangguk dan terus berjalan mengikuti langkah lelaki tampan itu. Dika menarik kursi untuk Cassandra dengan sikap gentle nya.
"Terimakasih."
Cassandra terus mengumbar senyum termanisnya. Hari ini Tuhan sudah berbaik hati memberikan penghiburan dengan mendatangkan lelaki tampan dan tajir ini ke hadapannya, setelah kecewa pada Alvaro.
"Kamu boleh pesan makanan sesukamu, aku yang traktir." Mata Cassandra semakin berbinar, dia sudah sangat yakin kalau lelaki ini benar-benar tajir. Harga makanan di sini tidak main-main, karena memang resto ini untuk kalangan atas.
"Oke, dengan senang hati."
Tak tanggung-tanggung, Cassandra memesan makanan termahal dan terlezat yang ada di dalam buku menu. Dulu dia memang sering diajak ke sini oleh Alvaro, tapi saat itu dia masih jaga imege.
Melihat Cassandra seperti sedang memanfaatkan dirinya, Dika hanya menggerakkan sedikit ujung bibirnya.
Dengan tatapan misterius yang tidak disadari oleh wanita itu.
"Ngomong-ngomong, laki-laki tadi, siapanya kamu?" Raut wajah Cassandra kembali kesal, "Dia pengkhianat! Dia itu pacar yang tidak setia dan sudah menduakan aku dengan wanita tadi."
"Kasihan kamu, saya ikut prihatin."
Seloroh Dika tanpa menatap Cassandra, tapi asyik memperhatikan sekitar. Entahlah, mungkin sekitar lebih menarik daripada menatap wajah lawan bicaranya. Tapi Cassandra tidak begitu memperhatikan tingkah Dika, hingga lelaki itu meminta izin sebentar untuk menghampiri seseorang.
"Kamu tunggu sebentar di sini ya! Saya mau menghampiri klien saya di sana."
Cassandra mengikuti arah telunjuk Dika pada seorang laki-laki paruh baya berperut buncit dan berkulit gelap. Namun ciri khas om-om berkantong tebal. Dika dan laki-laki gempal itu saling berjabat tangan, lalu terlibat obrolan. Kelihatannya obrolan mereka sangat serius. Dika dan laki-laki itu sempat menoleh padanya sambil tersenyum. Cassandra pun balas tersenyum. Tak berapa lama Dika kembali ke mejanya bersama Cassandra.
"Maaf ya agak lama." Kata Dika.
Tak lama pesanan mereka yang sangat banyak datang. lebih tepatnya pesanan Cassandra. Karena dia sengaja memesan apapun yang dia inginkan. Lumayan kan mumpung ada yang mentraktirnya.
Sejenak Dika terpaku melihat semua makanan yang tersaji di meja mereka. Tapi tak terlihat ada reaksi apapun dari raut wajahnya.
"Lusa malam saya ada acara di sebuah club, apa kamu mau ikut?" tanya Dika memecah kesunyian karena keduanya tengah asyik menikmati makanan.
"Acara apa?"
"Malam Keakraban para pengusaha sukses. Kalau kamu mau ikut, nanti aku jemput. Kamu tinggal share alamat rumah kamu saja ke aku."
Cassandra mengangguk. Untung sekarang dia numpang tinggal di rumah teman sesama modelnya. Dia harus mengumpulkan uang dulu sebelum menyewa apartemen yang diinginkannya. Tentu saja apartemen yang besar dan mewah seperti yang dulu dia tempati atas pemberian Alvaro.
"Oke, nanti aku share alamatnya."
Mereka kembali menikmati makanan.
Tapi sesekali Cassandra melihat laki-laki gempal itu mencuri tatap ke arah dirinya, lalu tersenyum seperti layaknya laki-laki hidung belang. Entah apa maksud laki-laki itu.
***
"Rian, aku minta duit dong, buat periksa kandungan."
Nadia keluar dari kamar dan menghampiri Rian yang sedang mengerjakan pekerjaan kantornya. Dia terpaksa membawa pulang ke rumah karena tadi tak sempat menyelesaikannya di kantor.
"Gak punya uang."
"Gak punya uang apa maksud kamu? Ini untuk periksa kandunganku, anak kamu!" semprot Nadia kesal.
"Pakai saja uang kamu dulu, aku benar-benar sedang kosong. Semua uangku habis dipake bayar utang."
"Aku juga sama gak punya uang. Gajiku habis buat beli baju dan ke salon. Aku selalu diledek sama teman-teman kantor, katanya aku kalah glowing dari si Elena. Aku kan sakit hati." Adunya. Bibir wanita yang tengah hamil 8 minggu memanjang kaya ikan cucut.
"Memang itu kenyataannya," Gumam Rian pelan. Tapi Nadia langsung menggebrak meja.
"Berani ya kamu ngatain aku? Aku gak terima Rian. Kamu masih cinta ya sama Elena?"
"Iya benar, kamu mau apa?" tantang pria itu. Nadia sampai ternganga, tak percaya dengan apa yang dia dengar dari mulut suaminya.
"Kamu itu sudah menjadi suami aku, setidaknya kamu hargai perasaan aku!"
"Diam Nadia, aku sedang pusing mengerjakan tugas kantor. Kalau mau periksa kandungan, sana periksa dan pake uang kamu dulu. Kamu tau kan, berapa banyak uang yang aku keluarkan buat sisa pembayaran pernikahan kita yang katanya akan ditanggung keluarga kamu. Tapi apa nyatanya? Bulshit!"
Laki-laki itu balik marah. Hampir saja terjadi KDRT kalau saja dia tidak cepat tersadar. Nadia yang terlalu marah dan sakit hati, tak mampu lagi bertahan. Akhirnya dia keluar dari kamar mereka dengan berderai airmata dan pergi ke ruang keluarga dimana ayah dan ibunya sedang menonton televisi.
Mira dan Adam bukannya tidak mendengar pertengkaran antara anak dan menantunya, tapi mereka tidak bisa ikut campur. Itu urusan rumah tangga anaknya.
Nadia langsung duduk di sisi ibunya dan menangis sambil memeluknya.
"Si Rian kurang ajar ma, dia berani muji-muji Elena depan aku dan bilang kalau dia masih mencintainya. Aku gak terima, mah!"
Sebenarnya Adam dan Mira pun sangat geram mendengar ini. Tapi mereka tak bisa berbuat apa-apa. Apalagi sampai harus menyalahkan Elena. Keponakannya itu tak tahu apa-apa.
Mungkin sekarang karma mulai menampakkan taringnya. Pernikahan yang baru hitungan minggu ini sudah diwarnai berbagai pertikaian diantara Nadia dan Rian. Aura di sekitar mereka berdua selalu panas dan penuh amarah. Ada saja yang harus selalu jadi perdebatan mereka. Belum lagi masalah keuangan yang masih menjadi permasalahan utama. Sementara Nadia yang temperamental, ditambah hormon kehamilannya, membuat Rian selalu ingin segera mengakhiri pernikahannya.
"Kamu harus lebih bersabar Nad. Sekarang kamu sudah menjadi seorang istri, kalau mau apa-apa harus seizin suami. Dan jangan terlalu berani memarahi suami, apalagi dengan kata-kata kasar. Jangan ya nak, turunkan egomu!" nasihat Mira. Dia hanya bisa menasihati anaknya demi keutuhan rumah tangga mereka. Apalagi Mira sadar, Rian menikahi Nadia bukan karena cinta.
"Terus aku harus diam saja kalau suamiku masih tergila-gila sama wanita lain?"
"Kamu hanya harus tunjukkan kasih sayangmu. Dan berlakulah sebagaimana mestinya seorang istri terhadap suami. Mama yakin, cinta akan tumbuh di hati Rian kalau kamu bisa menyentuh hatinya. Belajarlah lebih bersabar dan mengerti suamimu."
"Benar apa yang dikatakan mamamu. Kami selalu ingin melihat hidup kamu bahagia. Dan buang kebencianmu pada Elena. Karena sebenarnya Elena tak punya salah apa-apa sama kamu. Tanya hati kecilmu, siapa sebenarnya yang bersalah?" Adam ikut menasihati. Tapi apakah Nadia bisa terima apa yang dikatakan Mira dan Adam? Tentu saja TIDAK! Rasa iri dengkinya pada Elena sudah mendarah daging.
"Tapi aku mau periksa kandungan mah. Rian bilang dia tak punya uang." Mira dan Adam saling tatap.
Kekhawatiran terpancar jelas dari raut wajah mereka. Adam tahu, kalau Rian marah karena dirinya tak bisa menepati janji untuk melunasi sisa pembayaran yang sudah dia dan Intan janjikan. Dan dia dengar, Arum sudah menggadaikan sertifikat rumah mereka. Sementara Adam tak bisa menggadaikan rumahnya karena rumah itu warisan dari orangtua yang harus dibagi bersama 3 saudaranya yang lain.
"Ya udah, ini papa kasih untuk cek kehamilan." Adam mengeluarkan 2 lembar uang merah dari dompetnya.
"Mana cukup uang segini, pah." Nadia melambai-lambaikan uang pemberian ayahnya dengan wajah kesal. Memang dasar tidak tahu diri.
"Kamu kan masih punya uang gaji, Nadia."
"Gak ada mah, uang gajiku udah habis dipakai ke salon buat perawatan."
Mira dan Adam saling geleng kepala.
Akhirnya Mira mengalah dan memutuskan untuk mengantar Nadia ke bidan.
***
Cahaya matahari pagi menyinari gedung pencakar langit yang menjulang tinggi di pusat kota. Di dalam salah satu ruangan mewah di lantai teratas, Alvaro, CEO muda nan karismatik dari perusahaan multinasional, sedang sibuk dengan tumpukan dokumen. Wajahnya yang tegas terukir garis-garis serius, mencerminkan beban tanggung jawab yang dipikulnya.
Tiba-tiba, pintu ruangannya diketuk dengan keras dan muncullah sosok Elena dengan wajah panik. Dia melesat masuk. Sekretarisnya yang terkenal blak-blakan, nyerocos tanpa filter.
"Bos, ada investor baru yang mau ketemu. Katanya dia fans berat perusahaan kita, tapi gayanya... aduh, kayak anak magang yang baru lulus!"
Alvaro mengangkat alisnya, menatap tajam ke arah Elena. "Elena, sekali lagi kamu meremehkan klien, saya tidak akan segan-segan mencari sekretaris baru."
Elena mendengus. "Memangnya gampang cari sekretaris yang bisa tahan sama dia?" gerutu Elena sambil mencibir.
"Elena!" Alvaro sudah kehilangan kesabaran.
"Iya, iya, saya tahu. Tapi ini beda, Bos. Orangnya aneh banget!" Perdebatan mereka sering kali terjadi.
Tak jarang ini menjadi pemandangan yang sudah biasa bagi para karyawan lain. Alvaro, dengan sifatnya yang perfeksionis dan dingin, selalu menuntut segala sesuatu berjalan sesuai rencana. Sedangkan elena, yang meledak-ledak, ceplas-ceplos, sering kali menantang otoritas bosnya. Membuat mereka sering cek-cok seperti ini. Tapi ajaibnya, pekerjaan gadis bar-bar itu sangat bisa diandalkan. Bahkan ide-ide segarnya tak jarang membuat para klien mereka puas dan menyukainya.
"Baiklah, persiapkan pertemuan itu. Pastikan semuanya berjalan lancar." Alvaro kembali fokus pada dokumen di mejanya.
Elena mengangguk, lalu berbalik dan keluar dari ruangan, sambil menggumam sendiri. "Dasar bos keras kepala. Awas saja kalau ujung-ujungnya nyusahin gue!"
"Elena, bicara apa kamu?!" suara Alvaro menggelegar. Elena tak menjawab, dia tetap meneruskan langkahnya. Tapi seruan Alvaro membuatnya terpaku sejenak.
"Lusa malam kamu ikut saya ke markab!"
Dia berbalik sambil mengerutkan kening.
"Markab apa?"
"Malam Keakraban para pengusaha. Kamu harus berdandan sebaik mungkin, jangan sampai mempermalukan saya!"
"Hah??"
diselingkuhi sama tunangannya gak bikin FL nya nangis sampe mewek² tapi malah tetep tegar/Kiss/