Murni, seorang biarawati yang sedang cuti karena ingin menyembuhkan jiwa setelah terganggu mimpi-mimpi buruk yang terus berdatangan, menerima pesan aneh di ponselnya -suara paniknya sendiri yang membuatnya penasaran. Ia mengikuti petunjuk yang membawanya ke sebuah warung makan tua yang hanya buka saat malam.
Di warung itu ia bertemu dengan Mahanta, seorang juru masak pendiam yang misterius. Namun warung itu bukan warung biasa. Pelanggannya adalah jiwa-jiwa yang belum bisa pergi, dan menu makanannya bisa menenangkan roh atau mengirimnya ke dalam kegelapan. Murni perlahan terseret dalam dunia antara hidup dan mati. Ia mulai melihat masa lalu yang bukan miliknya. Meskipun Mahanta tampaknya menyimpan rahasia gelap tentang siapa dirinya dan siapa Murni sesungguhnya, pria itu bungkam. Sampai cinta yang semestinya dilarang oleh langit dan neraka merayap hadir dan mengungkapkan segalanya.
L'oubli (B. Perancis): keadaan tidak menyadari atau tidak sadar akan apa yang sedang terjadi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dela Tan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Season 1 ; Bab 16 - Menu
Malam harinya, Murni kembali ke warung.
Seperti biasa, Mahanta tidak banyak bicara, hanya menyodorkan secangkir teh jahe panas, lalu kembali sibuk di dapur.
Murni menatapnya dari meja sudut. Keganjilan tentang Mahanta semakin nyata, tapi bersamaan dengan itu... daya tariknya pun makin tak tertahankan.
“Aku bertemu seorang gadis hari ini, gadis yang selamat setelah berusaha mengakhiri hidupnya.” Murni berkata pelan, memecah diam. “Dia bilang mendengar suara yang seolah datang dari kedalaman, lalu datang ke sini.”
Mahanta tidak menyahut.
“Suara itu mengatakan waktunya belum tiba. Lalu katanya dia mencium aroma kaldu, dan tiba-tiba sudah ada di warung, bertemu sesosok laki-laki yang menyuguhkan makanan pada semua pengunjung, tapi tidak padanya.”
“Aku tahu apa yang dia ceritakan bukan mimpi. Ketika berada antara hidup dan mati, dia mampir ke sini. Tapi kau tidak menyuguhkan makanan karena dia masih bisa kembali, benar bukan?”
Mahanta berhenti mengaduk sup. Tetapi tidak menoleh.
“Apa kau pernah merasa... kau bukan hanya mengantar, tetapi juga menyelamatkan tanpa sengaja?” lanjut Murni.
Kini, Mahanta berbalik dan berjalan perlahan, menghampiri Murni. “Kadang-kadang.”
Mereka saling menatap.
Dan Murni, lagi-lagi, melihat mahkluk yang tampan dan menyedihkan. Seseorang yang menolak dikenali, karena mungkin di masa lalu dia pernah dikenal... dan dibenci. Sehingga kini dia bergerak samar. Berada di area abu-abu, tidak mendorong, tidak memihak.
Mereka berdiri berhadapan tanpa kata. Hanya bertukar tatapan mata.
Malam kian larut, dan angin dari luar meniupkan aroma tanah basah ke dalam warung.
Murni merasa menggigil, bukan hanya karena udara dingin. Ia merasa jantungnya berdegup kian kencang.
Apakah Mahanta menyadari apa yang ia rasakan? Bisakah lelaki itu melihat menembus hatinya?
Ia ingin tahu, apakah Mahanta juga merasakan hal yang sama? Apakah laki-laki itu juga… memiliki jantung yang berdegup? Atau… tidak?
Sekian lama berselimut keheningan, akhirnya Murni berkata, “Mahanta...”
“Hm?” Suara Mahanta terdengar lembut.
“Kalau seandainya seseorang tidak bisa mengingat siapa dia... apakah dia tetap bisa memilih menjadi orang baik?”
Hening. Lalu Mahanta menjawab pelan, “Mungkin itu satu-satunya cara untuk menebus dosanya.”
Murni menutup mata sejenak, lalu mengangguk. “Aku mengerti.”
Mahanta berbalik, pergi ke dapur. Dia kembali dengan nampan. Ada seporsi kecil sup jamur keemasan dan ubi ungu kukus di atasnya.
Murni menatap dengan sorot bertanya. Mahanta hanya menggerakkan kepalanya, isyarat agar Murni melihat ke dalam sup itu.
Murni membuka buku catatannya, menulis:
Menu #17 – Sup Jamur & Ubi Ungu Kukus.
“Orang itu,” kata Mahanta akhirnya, pelan. “Duduk sendiri di halte stasiun. Sudah tiga hari di sana. Gagal kembali ke rumah, gagal juga untuk menghilang.”
Murni menulis:
Kondisi: Tersesat. Tidak punya tujuan. Tidak punya tempat kembali.
“Kaldu ini,” lanjut Mahanta, mengangkat sendok. “Hangat, tapi tidak manis. Supaya tubuhnya ingat rasanya hidup. Tetapi pahitnya cukup untuk membuat dia menangis sedikit.”
Murni berhenti menulis. Ia mengangkat mata, menatap Mahanta.
“Kau selalu merasakan mereka?”
“Tidak semua. Hanya kadang-kadang,” jawab Mahanta. “Tapi mereka yang datang, adalah karena datang sendiri. Aku cuma... menyambut.”
“Bolehkah aku tahu semua menu yang pernah kau masak?” tanya Murni pelan.
Mahanta menyeringai kecil. “Kalau kau kuat menulisnya.”
Murni kembali menekuri buku catatannya, mengingat-ingat, dan mulai menulis.
Warung Murni – Hidangan Untuk Yang Hampir Mati
Dan Mahanta mulai menyebutkannya satu per satu:
Menu #01 – Nasi kuning telur mentah dan acar manis.
“Untuk yang gagal dalam percintaan pertama, tapi masih mau mencoba lagi.”
Menu #04 – Bubur putih dingin dan daun mint.
“Untuk yang sudah tidak percaya pada tubuhnya sendiri, dan ingin tidur selamanya.”
Menu #100 – Ayam goreng kecap dan nasi hangus.
“Untuk mereka yang dipukul terlalu sering tapi masih berharap dicintai.”
Murni menulis dengan tangan gemetar.
Ia tidak tahu apakah yang ia tulis itu daftar menu... atau daftar alasan orang ingin mati.
Sampai akhirnya Mahanta menyebut satu menu yang membuat Murni terdiam.
Menu #202 – Sup bayam, daun jeruk, dan potongan hati sapi.
Ia menoleh. “Untuk siapa itu?”
Mahanta memandangnya. Lama. Matanya tidak menyimpan jawaban, tetapi menyembunyikannya.
“Untukmu,” katanya akhirnya. “Pertama kali kau datang ke sini. Aku membuatkannya. Tapi kau menolak makan.”
Murni membuka mulutnya, lalu menutupnya lagi.
Ia tak ingat pernah dibuatkan makanan itu. Tapi... aroma itu terasa akrab. Seperti rasa di lidah yang tertinggal dari kehidupan yang lain.
Ia menulis:
Menu #202 – Untuk seseorang yang merasa terikat pada Tuhan, tapi tubuhnya ingin terbakar oleh dunia.
—
Saat malam hampir usai, Murni masih duduk, sementara Mahanta menyapu. Tidak ada suara kecuali detak jantung Murni dan gesekan sapu di lantai.
“Kau tidak takut menulis semua itu?” tanya Mahanta akhirnya.
“Takut,” jawab Murni.
Mahanta berhenti menyapu. “Apa yang kau takutkan?”
“Aku… takut semakin terikat padamu. Aku lebih takut tidak tahu siapa diriku saat aku terus dekat denganmu.”
“Di hari pertama kau datang, aku sudah mengatakan agar kau tidak kembali.” Mahanta mendekat, “Mengapa kau terus datang?”
Murni menggeleng, “Aku tidak tahu. Apakah kau tahu... apa yang kau lakukan padaku?”
Mahanta menunduk, Murni menengadah. Wajah mereka hanya terpisah jarak satu jengkal. Tatapan lelaki itu bagai jurang. Dalam, mengundang, tetapi bisa menelan habis. Anehnya, Murni tidak berniat menjauh.
“Aku hanya menyajikan yang kau butuhkan, bukan yang kau mau,” bisik Mahanta, suaranya parau.
“Kau menyajikan makanan untuk mengantar. Mengapa aku tidak pergi ke mana-mana?” Murni menanti jawaban dengan berdebar-debar.
Entah mengapa, ia berharap lelaki itu menjawab, karena dia menginginkan dirinya ada di sini, di dekatnya.
Mereka hanya saling menatap, sementara dunia di sekitar mereka seolah lenyap. Hanya ada mereka, dan emosi samar yang semakin membelenggu.
“Karena kau berbeda,” Mahanta berbisik, tetapi suaranya seolah membangkitkan seluruh bulu kuduk Murni. Membuat tubuhnya meremang dan panas dingin.
Murni mundur setengah langkah, menelan ludah, tetapi tidak memalingkan wajah.
Dan di antara uap dapur, nyala lampu minyak, dan bau kayu terbakar… mereka hanya berdiri diam.
Tidak saling menyentuh. Tidak saling bicara.
Namun…
Segala hal yang tidak boleh terjadi... mulai terjadi.
“Pulanglah, Murni. Malam ini, jangan di sini.” Akhirnya Mahanta memecah kebisuan.
Hidungnya hampir menyentuh wajah Murni saat lelaki itu berbisik, “Aku tidak bisa menyelamatkanmu kalau kau terus datang ke sini.”
“Tapi... aku... aku tidak merasa ingin diselamatkan,” jawab Murni pelan, jujur, dan hancur.
Mahanta menjauh tiba-tiba. Wajahnya menegang.
“Pulanglah.” Kemudian lelaki itu membalikkan tubuh.
—
Ketika akhirnya Murni melangkah ke luar ke dalam kabut malam, ia sadar...
Langkahnya semakin berat. Hatinya makin terikat.
Ia semakin tidak ingin pergi, bahkan hampir kembali berbalik.
Hanya semburat fajar yang menyelamatkannya. Kali ini.
Karena ketika ia menoleh, warung itu, seperti biasa, telah lenyap.
Namun ia tahu, besok malam, kakinya pasti kembali melangkah ke sini.
Karya kakak semua top /Good//Good//Good/
kesedihan ,bebannya pindah ke murni ?
🤔
apakah jiwa nya blm kembali ke asal
masih gentayangan
tapi kebanyakan semakin di larang semakin penasaran