NovelToon NovelToon
Di Ujung Cakrawala

Di Ujung Cakrawala

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Anak Genius / Anak Yatim Piatu / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Transmigrasi ke Dalam Novel
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: kaka_21

"Jangan pergi."
Suara itu terdengar lirih, hampir tenggelam oleh tiupan angin perbatasan. Tapi Cakra mendengarnya jelas. Shifa berdiri di hadapannya, mengenakan jaket lapangan yang kebesaran dan wajah yang tidak bisa menyembunyikan kecemasan.

"Aku harus."
Cakra menunduk, memeriksa ulang peluru cadangan di kantongnya. Tangannya gemetar sedikit. Tapi dia tetap berdiri tegak.

Shifa maju selangkah, menatap matanya.
"Kenapa harus kamu? Ada banyak tim. Kenapa kamu yang selalu minta maju paling depan?"

"Karena itu tugasku."
Cakra tidak mengangkat wajahnya.

"Bukan. Itu karena kamu terus ngejar bayangan ayahmu. Kamu pikir kalau kamu mati di sini, kamu bakal jadi pahlawan seperti dia?"

Diam.

"Aku bukan ibumu, Cakra. Aku nggak mau mengantar orang yang aku cintai ke pemakaman. Aku nggak sekuat Bu Dita."
Suara Shifa mulai naik.

Cakra akhirnya menatapnya. "Ini bukan soal jadi pahlawan. Ini soal pilihan. Dan aku sudah memilih jalan ini, jauh sebelum aku kenal kamu."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kaka_21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 16: Titik Kembali

Sudah beberapa hari sejak Cakra pulang dari Bandung. Di halaman rumah yang sederhana itu, ia kembali terbiasa bangun sebelum matahari terbit. Udara pagi yang dingin tak menghalanginya untuk mengenakan sepatu lari dan memulai latihan fisik seperti biasa—push-up, sit-up, lari keliling lapangan kecil dekat rumah. Gerakannya teratur dan penuh semangat, berbeda dengan minggu-minggu sebelumnya, saat semuanya terasa berat. Ibunya hanya mengamati dari balik jendela dapur sambil menyeduh teh. Ada sesuatu yang berbeda dari langkah kaki anaknya sekarang—lebih ringan, lebih hidup.

Hari-hari berjalan cepat. Cakra tak banyak bicara soal perjalanannya, tapi senyum tipis sering muncul di wajahnya saat ia melihat ponselnya. Kadang ia terdengar tertawa kecil saat membalas pesan. Tak ada yang ia katakan, namun suasana hatinya jelas berubah.

Malam itu, saat mereka duduk berdua di ruang tengah, sang ibu menatapnya sambil menyeruput teh hangat. “Ibu nggak tahu kamu habis ketemu siapa di Bandung,” katanya perlahan, “tapi kamu kelihatan lebih ceria.” Cakra hanya tersenyum kecil, tak menjawab. Tapi dalam hatinya, ia tahu: pertemuan itu memang telah mengubah sesuatu dalam dirinya.

Malam itu, setelah makan malam yang sederhana, Cakra memutuskan untuk membuatkan teh hangat untuk ibunya. Ia memasukkan daun teh ke dalam teko, mencium aroma yang menenangkan, lalu menuangkannya dengan hati-hati ke dalam dua cangkir kecil. Dengan langkah pelan, ia mendekati ibunya yang duduk di ruang tamu, memandang dengan mata lembut. “Ibu, teh hangat,” katanya sambil menyodorkan cangkir. Ibunya mengangguk, menerima teh itu dengan senyum hangat. “Terima kasih, Cakra.”

Sambil duduk di samping ibunya, Cakra mulai terdiam sejenak. Ia menatap cangkir teh di tangannya, mengaduknya perlahan, sebelum akhirnya membuka suara. “Ibu, aku ketemu seseorang di Bandung,” kata Cakra pelan, hatinya merasa sedikit lebih ringan. “Seorang perempuan. Sederhana, tulus… dia nggak seperti yang lain.” Ibunya mendengarkan dengan penuh perhatian, mata lembutnya tak pernah lepas dari wajah anaknya.

Cakra melanjutkan, meskipun kata-kata terasa berat di mulutnya. “Aku nggak tahu, Bu. Rasanya dia… dia beda. Dan aku merasa dia bisa jadi bagian dari hidupku.” Ibunya tersenyum tenang, meletakkan cangkirnya di meja kecil di samping kursi. “Kalau kamu memang yakin, jaga dia baik-baik, Cak. Jangan ragu. Perempuan yang tulus, seperti yang kamu katakan, itu langka. Kalau hatimu sudah merasa cocok, jangan biarkan dia pergi begitu saja.”

Cakra menatap ibunya, merasa sebuah beban terangkat dari hatinya. Ia tahu ibunya tidak banyak bicara tentang hal-hal semacam ini, tetapi kali ini ada kehangatan yang berbeda di matanya—sebuah pengertian yang dalam. “Terima kasih, Bu,” jawab Cakra pelan, suara penuh makna. Malam itu, setelah percakapan itu, Cakra merasa lebih ringan. Ia tahu bahwa perjalanan hati ini mungkin tidak mudah, tapi setidaknya, ia tidak lagi sendirian.

Malam itu, setelah menjalani hari yang panjang dengan latihan fisik dan rutinitas lainnya, Cakra duduk di depan laptopnya. Ia merasa ada yang berbeda—sesuatu yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Sebuah ketenangan yang datang bukan hanya dari dirinya, tapi juga dari seseorang yang selama ini sudah sering hadir di pikirannya.

Ia membuka aplikasi pesan, lalu memilih untuk videocall dengan Shifa. Beberapa detik kemudian, wajah Shifa muncul di layar dengan senyum ramah yang selalu bisa membuat Cakra merasa sedikit lebih baik.

“Halo, Bang!” sapa Shifa dengan ceria, meski suara di sekelilingnya terdengar bising dari keramaian di kampus.

Cakra tersenyum kecil, “Halo, Shifa. Gimana kuliahnya?”

“Capek, tapi lancar kok. Hari ini ujian lagi, jadi sedikit tegang. Tapi, aku bisa bertahan.” Shifa tertawa ringan. “Dan kamu, gimana latihan? Semakin keras ya?”

Cakra mengangguk, meski agak lelah. “Iya, semakin keras. Kadang rasanya capek banget, tapi... nggak bisa berhenti. Ada yang harus diselesaikan.”

Obrolan mereka berlanjut, semakin dekat dengan waktu tidur Cakra. Mereka berbicara tentang kegiatan masing-masing, bertukar cerita ringan tentang apa yang terjadi di hari mereka—Shifa yang sibuk dengan tugas kuliah, Cakra yang merasa dirinya mulai menemukan irama dalam latihannya.

Cakra merasa, meski jauh, kehadiran Shifa bisa menenangkan. Setiap pesan yang dikirim Shifa selalu terasa seperti dorongan untuk terus maju.

“Aku tahu kamu bisa, Bang. Kamu pasti kuat,” kata Shifa beberapa kali dalam percakapan mereka. “Jangan pernah ragu sama dirimu.”

Cakra tersenyum, rasa terima kasih tumbuh di hatinya. “Makasih, Shifa. Kalau ada waktu, nanti aku pesiar ke Jogja. Kita bisa ketemu.”

Shifa tertawa, suaranya sedikit ceria. “Aku tunggu, Bang. Kita lihat nanti, ya.”

Malam itu, sebelum tidur, Cakra menatap layar ponselnya. Sebuah pesan dari Shifa masuk—seperti biasa, mengakhiri hari-hari yang penuh dengan latihan dan pergulatan dalam dirinya.

“Hati-hati ya, Bang. Semoga besok latihanmu lancar. Jangan lupa istirahat.”

Cakra menatap pesan itu, merasa lebih ringan dari sebelumnya. Ia membalas, “Terima kasih, Shifa. Kamu juga, jangan terlalu capek.”

Sebelum menutup matanya, Cakra merasa seolah ada semangat baru yang kembali menyala di dalam dirinya—sebuah rasa bahwa meski ia sedang berjuang sendirian, ada seseorang yang percaya padanya.

Dua hari lagi, Cakra harus kembali ke akademi militer untuk melanjutkan pendidikannya. Suasana rumahnya terasa berbeda dari hari-hari sebelumnya. Cakra merasa berat meninggalkan kenyamanan rumah, tapi ia tahu ini adalah bagian dari jalannya untuk mencapai tujuan.

Pagi itu, ia sedang sibuk menata barang-barangnya. Koper besar sudah terbuka di hadapannya, siap diisi dengan perlengkapan yang akan dibawa kembali ke akademi. Ada beberapa pakaian yang harus disusun rapi, sepatu yang harus dipastikan dalam kondisi baik, dan beberapa buku yang ia bawa untuk mengisi waktu luang di perjalanan. Setiap gerakan terasa lebih lambat daripada biasanya, seolah ia ingin menunda perpisahan ini sedikit lebih lama.

Di sisi lain, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Shifa: “Udah siap, Bang?”

Cakra tersenyum kecil. Meskipun mereka tidak bisa bertemu langsung, rasanya seperti Shifa selalu ada untuknya. Ia membuka aplikasi video call dan segera menekan tombol “video call”. Tidak lama setelah itu, wajah Shifa muncul di layar.

"Sudah siap belum?" tanya Shifa, suaranya terdengar ceria meskipun ada sedikit kelelahan di matanya.

Cakra mengangguk sambil memasukkan celana panjang ke dalam koper. "Sedikit lagi. Cuma masih ngurusin beberapa barang. Besok harus berangkat pagi, jadi agak sibuk hari ini."

Shifa tersenyum. "Semangat, ya! Kalau udah berangkat, jangan lupa tetap jaga diri. Jangan terlalu capek, belajar juga jangan lupa."

"Tenang aja, aku nggak akan lupa," jawab Cakra sambil tertawa pelan. "Dan kamu? Kuliah lancar?"

Shifa mengangguk, meskipun ekspresinya sedikit menunjukkan kelelahan. "Lancar kok. Tapi capek banget, Bang. Semoga nanti bisa istirahat setelah ujian selesai."

Cakra merasa senang melihat Shifa, meskipun hanya lewat layar. Ada ketenangan yang datang bersamaan dengan suara dan senyum Shifa. Sesekali ia melirik ke luar jendela rumah, melihat cuaca yang cerah, tetapi hatinya terasa berat.

"Shifa... aku... beneran nggak sabar bisa mampir ke Jogja setelah aku selesai," kata Cakra, sedikit ragu namun penuh harapan.

Shifa tersenyum lebih lebar. "Aku juga nggak sabar. Kalau ada waktu, aku bakal tunjukkan tempat-tempat yang bagus di Jogja. Kita bisa jalan-jalan bareng."

Cakra merasa sedikit lebih ringan setelah mendengar itu. Ia mengangguk, merasakan semangat baru yang tumbuh dalam dirinya.

"Semoga waktu cepat berlalu," gumam Cakra, melanjutkan tugasnya untuk menyiapkan koper.

"Makasih, Shifa," ucap Cakra setelah beberapa detik diam, meskipun itu adalah kalimat sederhana, ia merasa ada makna yang dalam di baliknya. "Udah sering banget bikin hari-hariku lebih baik."

Shifa tersenyum, dan tanpa sadar, keduanya merasa dekat meski jarak memisahkan mereka. "Aku juga makasih, Bang. Kamu nggak perlu bilang itu."

Percakapan mereka berlanjut, meski waktu semakin mendekat untuk Cakra meninggalkan rumah. Ia merasa sedikit lebih siap untuk kembali ke akademi—dengan semangat baru, dan dengan harapan akan ada banyak pertemuan lagi di masa depan.

1
Siyantin Soebianto
ceritanya jadi penisirin gini ya😇
Nanang
SEMANGAT Thor berkarya nya ya 😇
kaka_21: siap kakak,terimakasih udah mampir
total 1 replies
piyo lika pelicia
semangat ☺️
perhatikan lagi huruf kapital di awal paragraf
kaka_21: baik kak, terimakasih
total 1 replies
piyo lika pelicia
Assalamualaikum, paman pulang! waduh ... makan apa nih?"
piyo lika pelicia
Tiba-tiba pintu terbuka
piyo lika pelicia
Rama
piyo lika pelicia
"Ee.. kamu mau kemana" pake nanya. Virza tertawa kecil. "Aku mau
piyo lika pelicia
"Terimakasih, sepertinya tidak pernah."
piyo lika pelicia
ibu dan juga bapaknya kemana
piyo lika pelicia
"Ma, dengarkan aku
piyo lika pelicia
tidak boleh berkata kasar pada anak mu sendiri 😒
kaka_21: sabar kak, sabar
total 1 replies
piyo lika pelicia
"Ma, dengarkan aku
piyo lika pelicia
iklan untuk kakak ☺️
piyo lika pelicia
dasar ibu yang buruk
piyo lika pelicia
adik yang baik ☺️
piyo lika pelicia
"Eh, Riz. Ada apa?"
Inumaki Toge
Ayatnya enak dibaca,lanjut semangat ya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!