Thalia Puspita Hakim, perempuan berusia 26 tahun itu tahu bahwa hidupnya tidak akan tenang saat memutuskan untuk menerima lamaran Bhumi Satya Dirgantara. Thalia bersedia menikah dengan Bhumi untuk melunaskan utang keluarganya. Ia pun tahu, Bhumi menginginkannya hanya karena ingin menuntaskan dendam atas kesalahannya lima tahun yang lalu.
Thalia pun tahu, statusnya sebagai istri Bhumi tak lantas membuat Bhumi menjadikannya satu-satu perempuan di hidup pria itu.
Hubungan mereka nyatanya tak sesederhana tentang dendam. Sebab ada satu rahasia besar yang Thalia sembunyikan rapat-rapat di belakang Bhumi.
Akankah keduanya bisa hidup bahagia bersama? Atau, justru akhirnya memilih bahagia dengan jalan hidup masing-masing?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Edelweis Namira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KABAR MENGEJUTKAN
"Menurut kamu jam ini cocok untuk papi nggak, Mas?" tanya Adelia menunjukkan jam tangan pada Bhumi.
Bhumi hanya melirik sekilas. Kemudian, lanjut menatap ponselnya. Menunggu kabar dari Aryo tentang Thalia.
Adelia menghela napas kesal. Ia sudah berusaha sabar setelah kemarin Bhumi benar-benar menolak menemaninya membelikan hadiah. Hari ini pun, Adelia harus merengek dulu baru Bhumi bersedia menemaninya.
"Mas kenapa? Sibuk banget, ya?"
"Sudah ketemu kadonya?" Bhumi balas bertanya.
Gadis berambut panjang itu menyunggingkan senyum malas. "Gimana bisa ketemu, aku minta Mas temani karena minta saran. Tapi Mas tetap sibuk dengan hape. Ada apa?"
Bhumi menyimpan ponselnya. Ia menatap Adelia dengan rasa bersalah. "Mau makan dulu? Maagh kamu bisa kambuh. Ayo makan siang dulu."
Adelia tidak menyahut. Ia terlanjur jengkel dengan Bhumi. Tanpa kata, ia pun melangkah keluar toko terlebih dulu. Kakinya dihentakkan dengan kuat.
Adelia ingin Bhumi tahu bahwa dirinya sedang marah.
Namun, alih-alih disusul apalagi dibujuk Bhumi, saat Adelia menoleh ke belakang, Bhumi justru masih berdiri di tempatnya. Masih menatap ponselnya dengan tatapan datar.
"Sial!" umpat Adelia pelan.
Adelia baru saja akan melangkah lagi, tapi tiba-tiba ia tabrak seseorang. Suara benda terjatuh disertai dengan dinginnya kaki Adelia membuatnya sadar, bahwa secangkir jus mengenai betisnya.
"Kamu punya mata nggak?!" amuk Adelia. Ia yang memang sedang kesal, semakin kesal karena anak itu membuat kaki dan sepatunya kotor.
"Jemia!" tiba-tiba seorang wanita muda berlari ke arah mereka.
Sementara Jemia lekas memeluk Mbak Rina. Wajahnya tampak takut dengan wajah judes Adelia.
"Aku minta maaf, Tante," cicit Jemia, memberanikan diri untuk menatap Adelia.
Mendengar suara Adelia yang seperti sedang marah-marah, Bhumi mengalihkan fokusnya ke arah tiga perempuan di depannya.
Bhumi mendekat, saat ia melihat anak perempuan itu berbalik arah memeluk perempuan muda di depan Adelia, Bhumi seperti mengingat anak itu.
"Kami minta maaf, Mbak. Keponakan saya nggak sengaja."
Bhumi mengingat anak itu. Anak dengan poni rata itu adalah anak yang membuatnya jatuh hati.
"Jemia?"
Adelia, Jemia dan perempuan yang diduga Bhumi adalah pengasuh anak itu menoleh.
Bhumi setengah berlari menghampiri mereka. Sesampainya Bhumi di dekat mereka bertiga, mata pria itu melihat kaki Adelia yang basah dengan cairan berwarna merah muda.
"Kamu kenal anak ini, Mas?" Adelia menyentuh lengan Bhumi. Lirikannya tetap tajam pada Jemia yang sedang digendong pengasuhnya.
Bhumi mengangguk. Namun, pandangannya langsung beralih pada Jemia yang masih ketakutan itu.
"Jemia!" panggil Bhumi.
Jemia menoleh. Dahinya berkerut, mencoba mengingat siapa Bhumi.
"Masih ingat saya?" tanya Bhumi menunjuk dirinya.
Jemia terdiam. Kemudian kembali menatap pengasuhnya. "Mbak ayo pulang. Aku nggak suka di sini. Tante sama Om nya galak!"
Raut antusias Bhumi berubah muram. Sedangkan Adelia menatap Jemia dengan kesal.
Pengasuh Jemia mengangguk. "Maaf ya, Mas, Mbak. Sekali lagi saya minta maaf."
"Kamu kira—"
"Del...!" sela Bhumi, menahan Adelia agar tidak kembali memarahi Jemia. Melihat anak itu sedih membuat hati Bhumi tidak rela.
"Non, minta maaf dulu, ayo!" Pengasuh Jemia mengingatkan Jemia. "Mama kan selalu bilang begitu."
Jemia mengangguk. Tangan mungil itu terulur ke hadapan Adelia. "Maaf ya Tante. Aku nggak sengaja."
Bhumi menyikut Adelia. Mengingatkan wanita itu dari kode matanya. Adelia menghela napasnya kesal. Namun, karena di hadapan Bhumi, ia pun memaksakan senyum kecil.
"Lain kali hati-hati." Adelia menyambut tangan mungil itu.
"Sama Om nya?" Pengasuh itu kembali bersuara.
Jemia masih mengerucutkan bibirnya. Pipinya mengembung lucu. Tangannya beralih pada Bhumi, yang langsung menyambut tangan mungil itu dengan antusias.
Namun, Jemia tidak seantusias itu. Anak itu tetap memasang wajah setengah malas tersenyum pada Bhumi.
"Ayo, Mbak!"
Pengasuh Jemia itu menunduk sopan. Kemudian, melangkah pergi.
Sedangkan Bhumi masih menatap anak itu dengan perasaan campur aduk. Adelia menyadari itu. Namun, Adelia tidak menyukai anak itu. Selain ia tidak menyukai anak-anak, lirikan mata tajam Jemia mengingatkannya pada sang adik, Thalia.
"Dia mirip Thalia," ucap Adelia tanpa sadar.
Bhumi menoleh. Detik setelah itu, ia menyadari satu hal, parfum Jemia mirip sekali dengan aroma Thalia pada malam itu.
"Maksud kamu?"
Adelia merengut kesal. "Tingkahnya menyebalkan. Mirip Thalia. Lihat aja tadi, nggak ada sopan-sopannya sama Mas. Persis Thalia, kan?"
Bhumi tidak menjawab. Namun, pikirannya memikirkan hal lain.
"Kita jadi makan bareng, kan?" tanya Adelia.
Bhumi mengangguk. Matanya tidak sengaja melihat kaki Adelia yang kotor. "Mau ke toilet dulu, nggak? Kaki kamu kotor."
Adelia mengikuti arah mata Bhumi. Beruntung ujung roknya tidak terkena tumpahan minuman tersebut.
"Anak itu benar-benar menyebalkan!" dumelnya lagi. Kemudian, Adelia menatap Bhumi bingung. "Mas kenal dia di mana?"
"Di sekolah," jawab Bhumi singkat.
"Kok sekolah? Mas ngapain di sekolah?"
"Dia anak pacarnya Elang. Saya pernah bertemu dia di situ."
Adelia menggumam tidak peduli. Baginya anak itu tetap menyebalkan.
"Ayo! Kamu harus segera membersihkan itu, kan?" Bhumi mengajak Adelia. Kelamaan di situ, membuat mood Adelia semakin buruk.
Dan untuk pertama kalinya, telinganya malas mendengar Adelia mengomel tentang Jemia.
Sesampainya Bhumi dan Adelia di sebuah restoran seafood, Adelia lekas menuju toilet. Sedangkan Bhumi hendak memesankan makanan. Tiba-tiba ponselnya berdering.
Mata Bhumi menyapu sekitarnya. Cukup ramai dan Bhumi tidak mungkin menerima panggilan tersebut di tempat itu. Akhirnya, Bhumi memilih untuk keluar. Ia bahkan tidak menyadari Adelia yang baru saja keluar dari toilet.
Setelah memastikan posisinya lebih tenang, Bhumi lekas menggeser tombol hijau ponselnya. Kemudian, menempelkan ponsel tersebut di telinganya.
"Iya, ada apa, Aryo?" tanya Bhumi dengan tenang.
Cukup lama Aryo bersuara. Bhumi merasa ada hal lain yang Aryo temukan selama mengikuti dan menyelidiki Thalia.
"Pak, Nona Thalia tidak ke rumah yang kemarin ia datangi. Sepanjang pagi hingga siang ini, dia tetap di studio."
"Hmmh... Terus?" Bhumi tahu, Aryo tidak akan langsung menghubunginya hanya karena ini.
"Tapi saya menemukan info lain tentang orang di rumah itu, Pak."
Bhumi bergumam tenang, "Apa?"
"Dugaan saya, Nona Thalia memang menyembunyikan seorang anak di rumah ini. Dan anak itu kemungkinan besar adalah anak—"
"Anak Thalia dan Julian?" potong Bhumi cepat, nyaris tanpa penekanan. Tetapi, menyimpan kemarahan yang siap meledak saat itu juga.
Membayangkan Thalia sering ke tempat itu bersama Julian saja sudah membuat kepalanya berdenyut dan dadanya memanas. Dan kini, ia harus menghadapi kenyataan bahwa Thalia sering mengunjungi anaknya dan Julian itu.
'Dasar Jalang!' batin Bhumi.
"Bukan, Pak!" sahut Aryo cepat.
Jawaban itu membuat Bhumi bingung. Jika bukan anak Thalia dan Julian Sialan itu, lantas itu anak siapa.
Apa mungkin itu anak...?
"Aryo kamu jangan bercanda!" bentak Bhumi. Dadanya mendadak sesak. "Kamu tidak mungkin mengira kalau anak itu adalah...."
"Iya, Pak. Dia kemungkinan adalah anak Nona Thalia dan Pak Bhumi."
*
*
*
Jangan jadi silent reader ya gaes. wkwkwk. Mohon dukungannya, baik itu like, komen ataupun kasih rating yang bagus.
Terima kasih, ya :)
selalu menghina Thalia dengan menyebut JALANG, tapi tetep doyan tubuh Thalia, sampai fitnah punya anak hasil hubungan dengan Julian, giliran udah tau kl anak itu anak kandungnya sok pengin di akui ayah.
preet, bergaya mau mengumumkan pernikahan, Kemarin " otaknya ngelayap kemana aja Broo.
Yuu mampir, nyesel dh kalo gak baca..
maksa bgt yaa, tapi emang ceritanya bagus ko.. diksinya bagus, emosi alur sesuai porsinya, gak lebay gak menye-menye...
enteng sekali pengakuan anda Tuan,
amnesia kah apa yg kau lakukan sebelum tau tentang Jemia..??
Masiih ingat gak kata ja lang yg sering kau sematkan untuk Thalia..?? dan dg tanpa beban setitikpun bilang Thalia dan Jemia hal yg "paling berharga" dihidupmu.. 😏
sabarrrr
kurang ka,
coba gimana rasanya ntar pas ketemu langsung, Jemia menolak km sebagai Papanya.. atau reaksimu saat Jemia malah berdoa untuk Papa yg katanya udah di Surga... 🤭