NovelToon NovelToon
Voice From The Future

Voice From The Future

Status: sedang berlangsung
Genre:Ketos / Romansa Fantasi / Teen School/College / Time Travel / Romansa / Enemy to Lovers
Popularitas:51
Nilai: 5
Nama Author: Amamimi

Renjiro Sato, cowok SMA biasa, menemukan MP3 player tuanya bisa menangkap siaran dari masa depan. Suara wanita di seberang sana mengaku sebagai istrinya dan memberinya "kunci jawaban" untuk mendekati Marika Tsukishima, ketua kelas paling galak dan dingin di sekolah. Tapi, apakah suara itu benar-benar membawanya pada happy ending, atau justru menjebaknya ke dalam takdir yang lebih kelam?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amamimi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sidang Disipliner

Pagi itu, cuaca di luar cerah. Burung berkicau. Namun, saat Renjiro Sato melangkah masuk ke ruang OSIS, dia merasa seperti melangkah masuk ke dalam lemari pendingin raksasa.

Suhu ruangan itu membekukan tulang.

Di meja ketua, Tsukishima Marika duduk dengan postur tegak sempurna. Dia tidak sedang mengetik di laptop. Dia tidak sedang memeriksa dokumen. Dia sedang meraut pensil.

Krik... krik... krik.

Suara serutan pensil manual itu terdengar sangat nyaring di ruangan yang sunyi.

Di sudut ruangan, Sugawara (Wakil Ketua) berdiri dengan tangan di belakang punggung, wajahnya datar seperti penjaga penjara. Dia mengangguk singkat saat melihat Ren, anggukan yang berarti: "Semoga beruntung, kawan. Kuburanmu sudah kugali."

Ren menelan ludah. Dia berjalan pelan menuju meja Marika.

"Pagi, Ketua," sapa Ren, suaranya sedikit mencicit.

Krik... krik... PATAH.

Ujung pensil yang sedang diraut Marika patah.

Marika meletakkan pensil itu pelan-pelan. Dia mengambil selembar kertas HVS yang ada di depannya.

"Sekretaris Sato," kata Marika. Suaranya tenang. Terlalu tenang. Seperti permukaan danau sebelum monster laut muncul. "Sugawara-kun telah menyerahkan Laporan Pengamatan Lapangan tertanggal kemarin malam, pukul 19.45."

Ren melirik Sugawara. Dasar cepu, batinnya.

"Berdasarkan laporan ini," lanjut Marika, matanya memindai kertas itu. "Kamu terlihat di depan Stasiun Timur. Bersama Takae Yumi. Melakukan interaksi fisik yang... tidak perlu. Dan berencana masuk ke fasilitas hiburan Game Center."

Marika mengangkat wajahnya. Tatapannya menembus jiwa Ren.

"Jelaskan," katanya. "Gunakan logika. Kamu punya waktu 60 detik sebelum saya memutuskan sanksi disipliner: pemecatan tidak hormat atau kerja paksa seumur hidup."

Ren menarik napas panjang. Dia sudah menduga ini akan terjadi. Dia harus bermain cerdas. Dia tidak boleh terlihat bersalah, tapi dia juga tidak boleh terlihat menantang.

"Izin membela diri, Ketua," kata Ren.

"Silakan."

Ren merogoh saku celananya. Dia mengeluarkan struk belanja yang sudah lecek dari toko olahraga kemarin. Dia meletakkannya di meja Marika, tepat di atas laporan Sugawara.

"Itu bukti alibi saya," kata Ren mantap.

Marika mengambil struk itu dengan dua jari, seolah benda itu beracun. Dia membacanya.

" Knee Support Medical Grade - Size L. Harga: 4.500 Yen. " Marika membaca dengan lantang. Alisnya berkerut. "Pelindung lutut?"

"Benar," kata Ren. "Takae Yumi mengalami gejala cedera ligamen ringan. Dia menyembunyikannya dari pelatih agar tetap bisa main minggu depan. Sebagai aset OSIS yang peduli pada prestasi sekolah... aku memaksanya ke toko olahraga untuk beli itu."

Ren menatap mata Marika. "Kalau dia cedera parah di tengah pertandingan, sekolah kita yang malu. Reputasi OSIS sebagai pengawas kegiatan klub juga akan kena. Jadi... aku melakukan tindakan preventif. Manajemen risiko."

Marika terdiam. Dia menatap struk itu, lalu menatap Ren.

Logikanya menerima alasan itu. Itu masuk akal. Itu efisien. Itu demi sekolah.

Tapi hatinya masih panas.

"Lalu," suara Marika masih dingin, tapi sedikit goyah. "Laporan tentang... pegangan tangan?"

Ren melirik Sugawara lagi. "Itu... dia maksa mau ke Game Center. Aku nolak. Dia narik, aku nahan. Sugawara-san cuma liat dari angle yang salah. Itu bukan pegangan tangan mesra, itu tarik tambang."

Sugawara berdeham. "Ehem. Dalam pengamatan saya, subjek Takae terlihat sangat... antusias."

"Dia memang hiperaktif," potong Ren cepat. "Kamu tahu sendiri kan, Ketua? Dia kayak anak TK yang kebanyakan gula."

Marika meletakkan struk itu kembali ke meja. Dia menghela napas panjang, bersandar di kursinya. Ketegangan di bahunya sedikit mereda. Penjelasan Ren masuk akal. Ren tidak sedang berkencan. Ren sedang "mengasuh" anak bermasalah.

"Baiklah," kata Marika akhirnya. "Alasan diterima. Pembelian alat medis untuk mencegah cedera atlet utama adalah keputusan logis."

Ren menghembuskan napas lega yang panjang. "Syukurlah..."

"TAPI," potong Marika tajam.

Ren menahan napas lagi.

"Kenapa uangmu yang dipakai?" Marika menunjuk nominal di struk. "4.500 Yen. Itu uang jajanmu seminggu, kan? Kenapa kamu berkorban sejauh itu untuk... dia?"

Ada nada cemburu yang kental di ujung kalimatnya.

Ren tersenyum tipis. Dia mendekat selangkah ke meja Marika.

"Bukan untuk dia," kata Ren lembut. "Untuk kamu."

Marika mengerjap. "Hah?"

"Kamu kan benci kalau ada masalah yang bikin repot sekolah," kata Ren. "Kalau tim basket kalah atau ada insiden, kamu yang bakal sibuk ngurusin laporannya. Kamu bakal lembur lagi. Aku... aku nggak mau kamu lembur. Jadi aku beresin masalahnya sebelum meledak."

Wajah Marika memerah seketika. Rona merah itu menyebar dari pipi sampai ke telinganya. Mulutnya terbuka sedikit, tapi tidak ada kata yang keluar. Logikanya short circuit.

Sugawara di pojok ruangan menutup matanya. "Astaga. Saya jadi nyamuk di sini."

Marika berdeham keras-keras, mencoba mengembalikan wibawanya. Dia mengambil stempel "DITERIMA" dan menghantamkannya ke laporan Sugawara. BAM!

"Kasus ditutup!" seru Marika, suaranya sedikit melengking. "Alasan... alasan sangat logis! Efisiensi kerja Ketua memang prioritas utama!"

Dia membuka laci kas kecil OSIS.

"Sugawara-kun, catat ini sebagai pengeluaran darurat pos kesehatan. Ganti uang Sato-kun. Penuh."

"Siap, Ketua," kata Sugawara.

Ren tersenyum. Uangnya kembali! Dan Marika tidak marah lagi! Kemenangan ganda!

"Tapi," kata Marika lagi. Dia berdiri dari kursinya.

Dia berjalan memutari meja, menghampiri Ren. Dia berdiri tepat di depan Ren, menatapnya dengan mendongak sedikit. Jarak mereka melanggar aturan "satu jengkal".

"Walaupun niatmu baik," bisik Marika, matanya berkilat posesif. "Saya tidak suka metode kerjamu yang... terlalu dekat dengan subjek. Itu berisiko. Subjek bisa salah paham."

"Salah paham gimana?" tanya Ren polos.

"Jangan pura-pura bodoh," desis Marika. "Pokoknya... sebagai hukuman karena membuat atasan khawatir dan menimbulkan rumor tidak sedap..."

Marika menunjuk meja Ren yang ada di sudut ruangan.

"Geser mejamu."

Ren bingung. "Geser ke mana?"

Marika menunjuk lantai di samping mejanya sendiri. Tepat di sebelahnya. Jaraknya mungkin cuma 50 sentimeter.

"Ke sini," perintah Marika. "Mulai hari ini, kamu bekerja di samping saya. Dalam radius pengawasan langsung. Saya mau lihat layar laptopmu, kertas kerjamu, dan siapa yang kamu chat."

Ren melongo. "Itu... deket banget, Ketua. Sugawara-san gimana?"

"Sugawara-kun tetap di posisinya di dekat pintu. Sebagai penjaga keamanan," kata Marika tanpa menoleh ke Sugawara (yang hanya menghela napas pasrah).

"Cepat geser. Sekarang."

Ren tidak punya pilihan. Dengan bantuan Sugawara (yang kasihan padanya), Ren menggeser meja kerjanya yang berat melintasi ruangan.

Sekarang, posisi duduk mereka berdampingan.

Kalau Ren menoleh ke kiri, dia bisa melihat profil wajah Marika dengan sangat jelas. Dia bisa mencium aroma sampo apel hijaunya. Dan kalau Marika mau, dia bisa menendang kaki Ren di bawah meja dengan mudah.

"Posisi baru dikonfirmasi," kata Marika puas, kembali duduk di kursinya. "Mulai bekerja, Sekretaris Sato."

Ren duduk di kursi barunya. Dia merasa... terkurung. Tapi anehnya, dia tidak keberatan.

"Oh iya, Ketua," kata Ren sambil menyalakan laptopnya. Dia merogoh tasnya.

Dia mengeluarkan kotak bekal bermotif kucing yang kemarin dipinjamkan Marika. Kotak itu sudah dicuci bersih dan dikeringkan.

"Ini. Sudah dicuci," kata Ren, meletakkannya di meja Marika. "Terima kasih. Masakan... ibumu... enak."

Bahu Marika menegang sedikit. Dia melirik kotak bekal itu, lalu melirik Ren.

"Benarkah?" tanyanya pelan, hampir berbisik. "Sosisnya... tidak terlalu asin?"

"Pas kok," bohong Ren (demi kebaikan). "Nasinya juga... unik. Aku suka."

Sudut bibir Marika terangkat membentuk senyum kecil yang sangat manis, senyum yang tidak pernah dia tunjukkan ke Sugawara atau guru manapun.

"Baguslah," katanya, mengambil kotak itu dan menyimpannya di laci seolah itu harta karun. "Besok... besok ibu mungkin akan salah masak lagi. Jadi... jangan bawa bekal."

Jantung Ren berdesir. Itu undangan makan siang. Undangan makan siang resmi dari Ketua OSIS.

"Siap, Ketua," jawab Ren sambil tersenyum lebar.

Di seberang ruangan, Sugawara menggelengkan kepala sambil membenarkan letak kacamatanya.

"Inefisiensi emosional," gumam Sugawara. "Tapi... setidaknya suasana ruangan jadi hangat."

Ren mulai mengetik laporannya. Di sebelahnya, Marika bekerja dengan tenang. Sesekali, bahu mereka bersenggolan secara tidak sengaja. Dan setiap kali itu terjadi, tidak ada yang menjauh.

Takae mungkin punya "serangan fisik" yang kuat, tapi Marika punya "serangan birokrasi" yang mematikan: dia baru saja memonopoli waktu, tempat duduk, dan makan siang Ren secara permanen.

Ren meraba saku celananya. Dia tidak sabar menceritakan kemenangan ini pada Marika dewasa nanti malam. Dia yakin, istrinya di masa depan pasti sedang tertawa puas melihat versi mudanya yang posesif ini.

1
Celeste Banegas
Bikin nagih bacanya 😍
Starling04
Gemes banget sama karakternya, ketawa-ketiwi sendiri.
Murniyati Mommy
Asyik banget bacanya!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!