Queen Li tumbuh dalam kekacauan—dikejar rentenir, hidup dari perkelahian, dan dikenal sebagai gadis barbar yang tidak takut siapa pun. Tapi di balik keberaniannya, tersimpan rahasia masa kecil yang bisa menghancurkan segalanya.
Jason Shu, CEO dingin yang menyelesaikan masalah dengan kekerasan, diam-diam telah mengawasinya sejak lama. Ia satu-satunya yang tahu sisi rapuh Queen… dan lelaki yang paling ingin memilikinya.
Ketika rahasia itu terungkap, hidup Queen terancam.
Dan hanya Jason yang berdiri di sisinya—siap menghancurkan dunia demi gadis barbar tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Suasana menjadi tegang. Dua kelompok saling berhadapan di halaman gudang.
Para karyawan berdiri rapat di sisi Queen, wajah mereka tegang namun penuh tekad. Di seberang, Roland berdiri dengan dada dibusungkan, dikelilingi anak buahnya yang menggenggam tongkat besi, siap membuat kekacauan.
“Roland, kenapa kau menimbulkan keributan di sini?” kecam Queen dengan suara lantang dan tegas.
“Pergi sekarang sebelum aku yang menghajarmu.”
Roland tertawa sinis, meludah ke tanah.
“Gadis sialan,” ketusnya.
“Kau kira kau ini tuan putri yang turun dari langit? Jual mahal dan sombong.”
Ia mengangkat tangannya memberi isyarat pada anak buahnya.
“Hari ini aku datang untuk membalas perbuatanmu.”
Queen melangkah satu langkah ke depan, tongkat besi di tangannya terangkat. Tatapannya tajam, tidak sedikit pun gentar.
“Roland, kalau kau tidak puas, hadapi aku saja,” katanya dingin.
“Jangan libatkan orang lain.”
Roland menyeringai, penuh kesombongan.
“Aku akan menghancurkan semua barang di sini,” ancamnya,
“dan membuatmu berlutut, memohon padaku.”
“Jangan bermimpi,” balas Queen tajam.
“Babi gendut sepertimu tidak layak mendapatkan permohonanku.”
Tanpa ragu, Queen maju dan langsung mengayunkan tongkat besinya.
Roland tersentak kaget. Wajahnya pucat, tubuhnya refleks mundur dan bersembunyi di balik anak buahnya.
“Lindungi aku!” teriaknya panik.
Detik berikutnya, perkelahian pecah.
Tongkat besi saling beradu. Suara benturan keras memenuhi udara. Beberapa karyawan terhantam dan terjatuh, namun mereka bangkit kembali dan melawan sekuat tenaga demi mempertahankan tempat kerja mereka.
Queen bergerak paling depan. Setiap ayunan tongkatnya cepat dan tepat sasaran. Ia tidak menyerang membabi buta—arah pukulannya terukur, membuat lawan terhuyung atau menjatuhkan senjata mereka.
Sementara itu, Roland hanya berteriak dari belakang, wajahnya dipenuhi ketakutan, jauh dari sikap angkuh yang tadi ia tunjukkan.
Siang itu, halaman gudang berubah menjadi medan bentrokan.
Panas, bising, dan nyaris tak terkendali—namun satu hal jelas terlihat,
Queen Li bukan gadis yang bisa diinjak-injak sesuka hati.
Masing-masing karyawan ikut mengangkat tongkat mereka—alat-alat besi yang biasanya disimpan di sudut gudang untuk keadaan darurat. Tidak ada lagi keraguan di wajah mereka. Ini bukan sekadar keributan, ini soal mempertahankan tempat mereka mencari makan.
Namun anak buah Roland jauh lebih brutal. Ayunan tongkat mereka liar dan penuh tenaga. Beberapa karyawan gudang tersungkur, ada yang lengannya terluka, ada pula yang kepalanya berdarah. Teriakan kesakitan bercampur dengan suara benturan besi membuat suasana semakin kacau.
Queen masih berdiri paling depan.
Ia bergerak cepat, menargetkan kaki lawan lebih dulu, lalu menghantam tangan yang memegang senjata. Beberapa preman terjatuh sambil meringis kesakitan. Tanpa ragu, Queen menendang tubuh mereka menjauh, memastikan mereka tidak bisa bangkit kembali.
Di tengah kekacauan itu, Queen juga memutar tubuhnya untuk melindungi rekan-rekannya. Saat satu karyawan hampir dipukul dari belakang, Queen langsung menyambar, menghalau serangan itu dengan tongkatnya sendiri. Gerakannya tegas, naluriah—seolah ia sudah terbiasa berada di tengah perkelahian.
Sementara itu, Pengurus gudang berdiri agak ke belakang dengan wajah cemas. Keringat dingin mengalir di pelipisnya saat ia melihat situasi semakin tidak terkendali.
“Gawat!” katanya dengan suara panik.
“Sebentar lagi bos akan tiba. Kalau kekacauan ini dilihat olehnya, kita semua bisa kena masalah besar.”
Beberapa karyawan saling berpandangan, napas mereka terengah-engah.
“Mereka datang mencari masalah karena Queen,” ucap seorang rekan kerja wanita dengan suara gemetar namun bernada menyalahkan.
“Kalau bos menyalahkan kita, seharusnya yang disalahkan adalah Queen.”
Ucapan itu melayang di udara, kontras dengan sosok Queen yang masih bertarung di garis depan—memukul, menahan, dan melindungi—tanpa tahu bahwa di belakangnya, bukan semua orang berdiri di pihaknya.
Queen masih bertarung di garis depan, namun matanya tetap awas memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Ia tidak hanya memikirkan dirinya sendiri—setiap gerakannya juga tertuju pada keselamatan rekan-rekan kerjanya.
Saat melihat salah satu anak buah Roland mengendap dari belakang dan hendak menyerang rekannya, Queen langsung bergerak. Tanpa ragu, ia melayangkan pukulan keras ke punggung pria itu.
Bruk!
Pria tersebut terhuyung ke depan sambil mengerang kesakitan.
Namun di saat yang sama, Queen lengah sepersekian detik.
Anak buah Roland lainnya datang dari samping dan menghantam kepala Queen dengan tongkat besi.
Bruk!
Benturan keras itu membuat tubuh Queen terdiam sejenak. Kepalanya terasa berdengung, pandangannya sempat berkunang-kunang. Ia berdiri kaku, lalu perlahan menoleh ke arah pria yang memukulnya. Tatapannya dingin—bukan takut, melainkan marah.
Tanpa memberi kesempatan sedikit pun, Queen langsung mengayunkan tongkatnya.
Pukulan itu meluncur cepat ke arah pria tersebut, penuh tenaga dan amarah yang tertahan.
Tidak lama kemudian, iring-iringan mobil hitam tiba di lokasi kejadian. Suara rem yang berdecit memecah kekacauan di gudang. Rey segera membukakan pintu dan berdiri di sampingnya dengan sikap siaga. Jason turun dengan langkah tenang namun penuh wibawa.
Beberapa anggota lain langsung bergerak cepat, mengepung para preman yang sebelumnya bertindak brutal.
Queen yang baru saja menerima pukulan refleks menyentuh kepalanya. Jarinya bergetar saat melihat bercak darah yang menempel di ujung jemarinya. Pandangannya sedikit kabur, namun ia tetap berdiri.
“Tuan Shu,” sapa pengurus gudang dan beberapa karyawan wanita yang berdiri dekat gerbang dengan wajah pucat dan gugup.
Pengurus itu segera melangkah maju, menunduk hormat.
“Tuan Shu, maafkan kami atas kejadian ini. Mereka datang mengincar Queen. Saya akan memecatnya sekarang juga,” katanya tergesa, berusaha melepaskan tanggung jawab.
Jason tidak langsung menjawab. Tatapannya menyapu seluruh pekerja yang terluka, dan tongkat besi yang tergeletak di lantai.
“Bukankah gudang sebesar ini seharusnya memiliki sekuriti?” tanyanya dengan nada datar namun tajam. “Yang aku lihat justru seorang gadis dan para pekerja harus melawan preman.”
Dua anak buah Jason menyeret Roland ke depan. Pria gendut itu dipaksa berlutut, lututnya menghantam lantai dengan keras.
“Tuan, aku datang hanya untuk membalas dendam pada gadis sialan itu, bukan berniat melawan kalian,” kata Roland dengan suara gemetar, keringat dingin mengalir di pelipisnya.
Queen, yang masih menahan sakit, dan pusing, berbalik dan melangkah mendekat. Napasnya berat, wajahnya pucat, namun sorot matanya tetap keras saat menatap Roland dari dekat.
“Kau datang ke tempat yang salah,” ucap Jason dingin, suaranya bergema di area gudang. “Berani menyentuh wilayahku sama saja harus berhadapan denganku.”
Queen menguatkan dirinya, lalu menoleh pada Jason.
“Tuan,” ujarnya dengan suara sedikit bergetar namun tegas, “serahkan dia padaku. Dia datang untuk membalasku. Jadi… aku ingin membalasnya juga.”
Jason membulatkan mata besarnya saat melihat darah yang mengalir dari kepala Queen, menetes perlahan ke bajunya yang sudah kotor oleh debu gudang. Sorot matanya berubah dingin dan berbahaya. Tanpa sadar, kepalan tangannya mengencang, urat-urat di punggung tangannya menegang.
Ia melangkah mendekat, berdiri tepat di hadapan Queen.
“Siapa yang memukulmu?” tanyanya dengan suara rendah, namun penuh tekanan, seakan setiap kata mengandung ancaman.
Para pekerja menahan napas. Roland yang berlutut gemetar hebat, perasaan tidak enak merambat di dadanya. Dari raut wajah Jason saja, ia sudah tahu—darah yang menetes itu bukan masalah sepele.
hai teman teman .... ayo ramaikan karya ini dgn follow tiap hari dan juga like, komen dan jangan ketinggalan beri hadiah yaaaaaaa
sungguh, kalian gak bakalan menyesal, membaca karya ini.
bagus banget👍👍👍👍
top markotop pokoknya
hapus donh🤭🤭
kau jangan pernah meragukan dia, queen
👍👍👌 Jason lindungi terus Queen jangan biarkan orang2 jahat mengincar Queen
.
ayoooooo tambah up nya.
jangan bikin reader setiamu ini penasaran menunggu kelanjutan ceritanya
ayo thor, up yg banyak dan kalau bisa up nya pagi, siang, sore dan malam😅❤️❤️❤️❤️❤️❤️💪💪💪💪💪🙏🙏🙏🙏🙏
kereeeeennn.......💪
di tunggu update nya....💪