Rania menjalani kehidupan yang monoton. Penghianatan keluarga, kekasih dan sahabatnya. Hingga suatu malam, ia bertemu seorang pria misterius yang menawarkan sesuatu yang menurutnya sangat tidak masuk akal. "Kesempatan untuk melihat masa depan."
Dalam perjalanan menembus waktu itu, Rania menjalani kehidupan yang selalu ia dambakan. Dirinya di masa depan adalah seorang wanita yang sukses, memiliki jabatan dan kekayaan, tapi hidupnya kesepian. Ia berhasil, tapi kehilangan semua yang pernah ia cintai. Di sana ia mulai memahami harga dari setiap pilihan yang dulu ia buat.
Namun ketika waktunya hampir habis, pria itu memberinya dua pilihan: tetap tinggal di masa depan dan melupakan semuanya, atau kembali ke masa lalu untuk memperbaiki apa yang telah ia hancurkan, meski itu berarti mengubah takdir orang-orang yang ia cintai.
Manakah yang akan di pilih oleh Rania?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SunFlower, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#14
Happy Reading...
.
.
.
Setelah kepergian Adrian yang menghilang begitu saja tanpa pamit, Rania berdiri cukup lama di tengah kamar. Ia masih belum mampu memproses apa yang baru saja terjadi. Masa depan? Bahkan sekarang usianya sudah tiga puluh tahun? Semua informasi itu berputar-putar di kepalanya seperti pusaran angin yang terus berputar- putar di sekelilingnya.
Untuk menenangkan diri, akhirnya Rania memutuskan untuk mandi saja. Ia berharap air hangat dapat sedikit meredakan kebingungan yang terus menekan dadanya. Namun bahkan saat air itu mengalir, pikirannya sama sekali tidak tenang. Ia menatap kedua tangannya yang tampak lebih halus dari biasanya. Ia menatap kulitnya yang mulus tanpa bekas luka. Dan sekali lagi, ia merasakan keganjilan yang membuat jantungnya berdetak tidak teratur.
"Aku benar-benar berada di masa depan?" gumamnya lirih.
Setelah berganti pakaian, pakaian yang menurutnya jauh lebih mahal dari pakaian yang biasa ia pakai di masa lalu. Rania keluar dari kamar dengan langkah hati-hati. Ia tidak tahu apa yang akan ia temui lagi. Namun baru beberapa langkah menuruni tangga, matanya langsung membulat saat melihat seseorang duduk di kursi meja makan sambil memegang tablet.
Arkana.
Pria itu tampak sangat santai, seolah tidak terjadi apa-apa. Bahkan Arkana masih menggunakan pakaian yang sama, Bathrobe. Rambutnya sedikit basah seperti baru mandi dan ekspresinya tetap dingin seperti biasa. Rania refleks berhenti di ujung tangga.
“Pak Arkana... kenapa masih di sini?” tanya Rania. Ia berjalan mendekat perlahan sambil memegang ujung bajunya sendiri, kebiasaan lamanya saat merasa gugup.
Arkana menurunkan tablet tersebut. Alisnya terangkat. “Kamu masih saja memanggilku ‘pak’?” Tanyanya dengan nada jengkel.
Rania mengerjap bingung. “Lalu... aku harus memanggil Bapak apa?” tanyanya polos. Ia tidak tahu bagaimana hubungan mereka di masa sekarang. Apakah mereka sedekat itu? Ia benar-benar tidak memiliki ingatan apa pun.
Arkana mendecak pelan sambil menggeleng. “Ck… sudahlah. Tidak penting. Cepat makan sarapan kamu. Aku harus segera pergi ke Bali.”
“Nanti siang?” Rania bertanya lagi, karena ia melihat Arkana belum membawa tas atau dokumen apa pun.
“Sekarang.” jawab Arkana pendek.
Rania mengangguk kecil dan menoleh ke meja makan. Namun alih-alih menemukan hidangan seperti nasi goreng, roti atau makanan berat lainnya. Ia hanya melihat semangkuk bubur berwarna pucat dengan topping pisang dan almond. Di sampingnya ada satu gelas smoothies berwarna hijau keabu-abuan.
Ia memukul pelan dadanya untuk memastikan bahwa ia tidak salah lihat. “Sarapan?” tanyanya lagi, kali ini lebih ragu.
Arkana memandangnya dengan ekspresi heran. “Iya. Itu sarapan kamu.”
“Tapi... mana sarapannya, Pak?” Rania kembali bertanya sambil mengedarkan pandangan ke seluruh meja, berharap ada makanan lain yang mungkin tertutupi sesuatu.
Arkana memiringkan kepalanya. “Kamu kenapa lagi?” tanyanya dengan nada kesal yang kini mulai bercampur khawatir. “Ini.” Ia menunjuk semangkuk bubur itu. “Sarapan kamu.”
Rania menatap bubur quinoa itu lama, sangat lama. Saking lamanya, ia hampir merasa bubur itu sedang menatap balik kepadanya. “Bubur…” gumamnya lirih. “Tidak ada nasi?”
Arkana terdiam sejenak lalu mendesah panjang. “Kamu makan itu setiap pagi,” katanya sambil menyandarkan punggungnya pada kursi.
"Tapi ini tidak mengenyangkan.." Ucap Rania lirih.
Arkana mengusap wajahnya. “sepertinya.. aku memang harus membawa kamu ke dokter,” gumamnya dengan nada yang tidak bisa disembunyikan lagi kekhawatirannya. Belum sempat Rania memprotes lebih lanjut, Arkana sudah berdiri. Gerakannya tegas dan cepat. “Aku ke kamar dulu,” ucap Arkana. “Aku harus ganti pakaian. Jangan ke mana-mana.”
Lalu pria itu melangkah pergi tanpa menunggu tanggapan. Tubuhnya menghilang di balik pintu kamar mereka, yang entah sejak kapan menjadi “kamar mereka”. Rania terpaku di tempat, menatap punggung Arkana sampai menghilang.
Ia memandangi bubur quinoa di hadapannya sekali lagi. “Apa benar… ini hidupku?” bisiknya. “Masa depan macam apa ini…?”
Rania memutuskan untuk tidak menyentuh bubur quinoa yang disediakan Arkana. Ia menatap bubur itu sebentar, lalu mengalihkan pandangan dengan ekspresi menolak halus. “Tidak mungkin aku sarapan begini,” gumamnya sambil berdiri dari kursi.
Ia berjalan menuju dapur dan membuka kulkas. Setidaknya di masa depan, kulkas itu masih berisi bahan-bahan yang familiar baginya. Telur, ayam fillet, beberapa sayur dan bumbu-bumbu yang tersusun rapi. Rania menghela napas lega.
“Untung masih ada bahan normal,” katanya pada diri sendiri.
Ia mengikat rambutnya asal-asalan lalu mulai memasak. Suara wajan bertemu minyak, aroma bawang yang ditumis dan panci nasi yang mulai mengepul membuat dapur dipenuhi suasana yang lebih akrab. Seperti kehidupan yang dulu ia kenal. Setelah hampir empat puluh menit Rania berkutat dengan memotong bahan, membolak-balik lauk dan mencicipi rasa masakan dengan telaten. Meski tubuhnya tampak berbeda, tangannya masih sangat terbiasa melakukan pekerjaan dapur.
Setelah selesai, ia menata sarapan itu di atas meja makan dengan perasaan puas. Ada nasi hangat, telur dadar tumis sayur dan ayam kecap sederhana. Ini jauh lebih masuk akal baginya daripada bubur diet yang tadi.
Saat ia baru akan menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya, suara langkah kaki terdengar dari arah koridor. Arkana muncul kembali, kali ini dengan setelan jas lengkap. Rambut tertata rapi dan wajah yang tampak tergesa.
Namun langkahnya terhenti begitu melihat meja makan.
Ia menatap Rania lama, seakan sedang berusaha memastikan bahwa yang dilihatnya bukan ilusi. “Kamu... dapat dari mana makanan ini?” tanyanya dengan nada heran.
Rania mengedipkan mata dua kali. “Tentu saja aku yang memasaknya,” jawabnya santai sambil meletakkan sendok.
Arkana berjalan mendekat, ekspresinya semakin tidak percaya. “Kamu... memasak? Kamu sungguh tidak apa-apa?” Suaranya terdengar seperti seseorang yang baru saja melihat keajaiban dunia kedelapan.
Rania mengangguk pelan. “Tentu saja aku tidak apa-apa. Memasak itu hal biasa.”
Arkana memijit pelipisnya. “Biasanya kamu bahkan tidak mau menyentuh dapur.” gumamnya lirih, lebih seperti berbicara pada diri sendiri.
Rania terdiam. Ia tidak tahu bagaimana dirinya di masa depan. Tapi yang jelas bukan seperti dirinya saat ini.
Namun Arkana hanya mendesah panjang. “Sudahlah, terserah kamu. Aku sudah terlambat.”
Tanpa peringatan apa pun, pria itu mendekat dan membungkuk sedikit. Sebelum Rania sempat menghindar, bibir Arkana menyentuh bibirnya singkat seperti kebiasaan rutin sebelum berangkat kerja.
Sekejap tubuh Rania membeku.
Ia langsung memundurkan wajah. “Apa yang Bapak lakukan? Kenapa Bapak menciumku?” protesnya dengan suara lebih tinggi dari biasanya.
Arkana berhenti memasang jam tangan dan menatap Rania dengan ekspresi datar yang sangat tidak cocok dengan situasi memalukan itu. “Kenapa? Bahkan kita sudah tidur bersama,” jawabnya datar.
Rania terpaku.
Ucapan itu menghantam kepalanya bagaikan petir yang menyambar tanpa ampun.
“A-a-apa?” gumamnya pelan, wajahnya memanas dan jantungnya berdetak kacau. “Tidur... bersama?”
Arkana mengangguk, seolah hal itu sama normalnya dengan mengatakan bahwa pagi ini cuaca cerah. “Iya. Sudah beberapa kali. Kamu lupa?”
“TIDAK mungkin…” gumamnya, suara nyaris tidak terdengar.
Arkana mengambil koper kecil yang entah sejak kapan berada di samping sofa. Ia bersiap pergi, tetapi sempat melirik Rania sekali lagi.
“Kamu benar-benar harus ke dokter.” katanya sambil menghela napas. “Tapi nanti saja, setelah aku kembali.”
Ia lalu keluar, meninggalkan Rania yang masih membeku di kursinya.
Rania memegang dadanya yang berdebar tidak karuan. “Apa sebenarnya yang terjadi dengan hidupku di masa depan...?” bisiknya.
.
.
.
MOHON TINGGALKAN JEJAK YAAAA...