Selama tujuh tahun, Reani mencintai Juna dalam diam...meski mereka sebenarnya sudah menikah.
Hubungan mereka disembunyikan rapi, seolah keberadaannya harus menjadi rahasia memalukan di mata dunia Juna.
Namun malam itu, di pesta ulang tahun Juna yang megah, Reani menyaksikan sesuatu yang mematahkan seluruh harapannya. Di panggung utama, di bawah cahaya gemerlap dan sorak tamu undangan, Juna berdiri dengan senyum yang paling tulus....untuk wanita lain.
Renata...
Cinta pertamanya juna
Dan di hadapan semua orang, Juna memperlakukan Renata seolah dialah satu-satunya yang layak berdiri di sampingnya.
Reani hanya bisa berdiri di antara keramaian, menyembunyikan air mata di balik senyum yang hancur.
Saat lampu pesta berkelip, ia membuat keputusan paling berani dalam hidupnya.
memutuskan tidak mencintai Juna lagi dan pergi.
Tapi siapa sangka, kepergiannya justru menjadi awal dari penyesalan panjang Juna... Bagaimana kelanjutan kisahnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aerishh Taher, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15 : Opa dan Oma Reani
Pelayan keluar setelah mengantar makanan.
Pintu tertutup.
Suasana menjadi lebih serius.
Doroti langsung mengambil garpu dan mulai makan dengan tenang, seolah masalah yang mereka hadapi hanyalah obrolan santai. Sementara itu, Reani dan Arian duduk saling berhadapan.
Arian membuka map berisi berkas. “Baik, Rea. Aku sudah mengajukan tuntutan soal buku nikah palsu ke pengadilan negeri. Berkas sudah diterima, dan sidang pertama kemungkinan digelar dalam waktu paling cepat dua minggu.”
Reani mencondongkan tubuh. “Permasalahannya apa saja?”
Arian menggeser lembaran dokumen ke arah Reani. “Pertama, pemalsuan dokumen negara. Itu termasuk pasal serius. Juna bisa dikenai pidana penjara dan denda. Kedua, perdata—kita tuntut ganti rugi atas pencatutan status pernikahan yang merugikanmu secara hukum dan sosial.”
Doroti mengunyah ayam panggangnya tanpa suara, sesekali melirik Arian yang bicara panjang lebar.
Setelah pembahasan selesai dan gelas-gelas saling beradu pelan, suasana berubah sedikit lebih tenang, namun tetap serius.
Arian merapikan mapnya. “Sekalian, Rea. Kita bahas RUPS.”
Doroti langsung mengangkat wajahnya dari piring. Senyum kecil muncul di sudut bibirnya. “Ya, ini bagian favoritku.”
Reani menyilangkan kaki, nada suaranya kembali tegas. “Bagaimana kondisi dewan dereksi sekarang?”
Arian membuka halaman lain dari berkas. “Kau mendapat dukungan penuh dari dewan direksi. Hampir semua sudah mengirimkan persetujuan tertulis. Mereka tahu perusahaan berdiri karena visi dan modalmu, Rea.”
Doroti menimpali sambil menusuk sayurannya, “Jelas Rea akan mendapatkan dukungan itu. Karena memang mereka semua ada di perusahaan itu karena Rea, bukan?”
Reani hanya tersenyum tenang. “Tentu… Kau pikir siapa Juna?”
Arian menatap Reani dengan ekspresi datar namun tajam. “Pecundang miskin pastinya.”
Doroti tidak bisa menahan tawa. “Akhirnya ada yang ngomong langsung. Aku hampir tersedak kalau harus pura-pura sopan.”
Arian kembali menjelaskan, nada profesionalnya kembali. “Dalam RUPS nanti, kita ajukan voting pencopotan Juna dari posisi direktur operasional. Dengan status hukumnya yang sedang bermasalah, dia tidak punya kekuatan. Bahkan jika dia mencoba menolak, dia tidak punya suara yang cukup.”
Reani menepuk meja pelan. “Baik. Setelah voting, aku ambil alih operasional sementara. Kita jalankan restrukturisasi cepat.”
Arian mengangguk. “Direksi lain sudah siap. Mereka tahu tanpa kau, perusahaan jatuh. Mereka lebih memilih stabilitas daripada mempertahankan seseorang yang bahkan tidak punya kontribusi nyata.”
Doroti menyeringai puas. “Juna itu hanyalah penumpang gelap. Numpang nama, numpang fasilitas, numpang status. Tidak lebih.”
Reani memutar gelasnya perlahan. “Dia pikir jabatan membuatnya penting. Padahal jabatan itu ada karena aku.”
Arian menutup map. “RUPS dua hari lagi akan jadi awal kejatuhannya. Dia datang dengan harapan, pulang tanpa apa pun.”
Doroti tertawa kecil sambil meminum anggurnya. “Ya Tuhan… aku tidak sabar. Rasanya seperti menonton seseorang yang mencuri singgasana, lalu sadar tahtanya terbuat dari kardus.”
Reani tersenyum tipis—dingin, terkendali, penuh kekuasaan. “Dan dua hari lagi… kardus itu aku bakar.”
Arian dan Doroti saling pandang, sama-sama puas.
“Baik,” kata Arian akhirnya. “Kita siap hadapi semuanya.”
Reani mengangguk sekali, mantap. “Hm.”
___
Renata menopang perutnya sambil bersandar pada bantal. Wajahnya pucat, tetapi matanya gelisah penuh pikiran busuk.
Renata. “Gimana, Jun… apa yang akan kita lakukan kalau Reani berhasil mengambil kursi direktur?”
Juna yang duduk di sofa kecil menepis kegelisahan itu dengan nada tinggi.
Juna. “Tidak mungkin! Aku paling tahu Reani—dia tidak memiliki pendukung untuk mengambil kursi itu. Kamu pikir gampang merebut pencapaian yang aku bangun bertahun-tahun?”
Renata mengerutkan alis, bibirnya mengerucut manja sekaligus sinis.
Renata. “Tapi… dia punya 25% saham Tekno Air! Itu bukan angka kecil, Jun. Bagaimana kamu menjelaskan itu?”
Juna terdiam sekian detik, wajahnya mengeras.
Juna. “…Aku juga kurang tahu.”
Renata memutar bola mata. “Ah! Mungkin saja Reani diam-diam memakai uangmu untuk membeli saham itu.”
Juna langsung menoleh cepat. “Itu—”
Renata menyambar ucapan itu. “Itu sudah pasti! Mana mungkin wanita miskin seperti dia bisa memiliki saham yang nilainya miliaran? Tanpa uangmu? Mustahil!”
Juna menggenggam rahangnya, tangannya mengepal.
Juna. “Aku akan mengeceknya. Tabungan, deposito, semua mutasi. Kalau benar dia berani menggelapkan uangku… aku pastikan dia akan menerima pelajarannya.”
Renata tersenyum puas—senyum licik yang tidak pernah ia tunjukkan pada siapapun kecuali dirinya sendiri.
Renata. “Bagus, Jun. Kita tidak boleh kalah darinya.”
Juna mengangguk, meski wajahnya terlihat gelisah.
Ia tidak tahu bahwa semua yang ia yakini… sebenarnya hanya delusi.
____
Sedangkan di Restoran deLure.
Arian sudah berpamitan di depan restoran kepada Reani dan Doroti.
Supir keluarga Wijaya membuka pintu belakang untuk Reani dan Doroti. Mobil melaju mulus menuju mansion Wijaya yang megah.
Doroti bersandar santai sambil memainkan ponselnya.
Doroti. “Rea, lebih baik kamu menginap di mansion Wijaya malam ini. Aunty Sisilia merindukanmu.”
Reani tersenyum kecil. “Ya baiklah. Aku juga merindukan mama dan papa.”
Doroti melirik, suaranya lebih pelan tapi penuh semangat.
Doroti. “Rea… di rapat nanti, aku ingin melakukan sesuatu. Boleh?”
Reani mengangkat alis, nada datarnya menguji.
Reani. “Hmm… tergantung ‘sesuatu’ itu apa.”
Doroti menaruh ponselnya dan menatap Reani serius.
Doroti. “Kejutan untuk Juna dan Renata.”
Reani menatap ke luar jendela sebentar, lalu tersenyum tipis—senyum yang berbahaya.
Reani. “Hmm… boleh, tapi.... jangan berlebihan, Doroti.”
Doroti menyilangkan kaki. “Tenang saja. Aku profesional kok.”
Reani menghembuskan napas pelan, tapi suaranya tajam seperti pisau.
Reani. “Aku ingin mereka merasakan kehancuran perlahan, Aku akan menguras harta mereka, menghancurkan reputasi mereka… dan menginjaknya di bawah kaki ku. Hingga mereka tidak bisa mengangkat kepala di depan siapa pun.”
Doroti tertawa pendek. “Kau sangat pendendam, Rea. Tapi... aku suka.
Lagian… percuma mereka punya kepala tapi isinya kosong. Tidak punya otak.”
Reani terkekeh kecil. Senyum itu bukan senyum bahagia—tapi senyum seseorang yang tahu betapa pasti kemenangan berada di tangannya.
Mobil terus melaju, meninggalkan langit senja yang mulai gelap menuju mansion Keluarga Wijaya.
____
Mobil berhenti di depan gedung utama Mansion Wijaya, pusat tempat tinggal keluarga inti. Begitu turun, Reani langsung disambut udara sejuk dan taman luas yang terawat.
Di ambang pintu, Sisilia—ibunya—sudah berdiri bersama Johan Wijaya, ayahnya sekaligus kepala keluarga Wijaya setelah Opa Mayer.
Tak jauh di belakang mereka, Aunty Cassy dan Aryan Wijaya—orang tua Doroti—ikut berdiri. Mereka berasal dari paviliun timur, tempat Doroti tinggal.
Doroti langsung masuk lebih dulu sambil tersenyum lebar.
Doroti. “Halo semuanya! Rumah utama masih seramai biasanya.”
Sisilia menatapnya geli. “Kamu ini selalu ribut kalau datang.”
Baru saja Reani hendak menjawab, dua sosok yang jarang meninggalkan paviliun utara—bagian paling belakang mansion—tampak berjalan perlahan memasuki ruang keluarga.
Oma Madena Decran dan Opa Mayer Antonio Wijaya.
Kehadiran mereka otomatis membuat semua orang berdiri.
Johan. “Pa, Ma… kenapa tiba-tiba ke gedung utama? Kan biasanya Papa dan Mama di paviliun saja.”
Opa Mayer duduk perlahan di kursi ujung. Tatapannya langsung tertuju pada Reani.
Opa Mayer. “Karena cucu opa ini akhirnya pulang. Masa opa diam saja di paviliun?”
Reani mendekat dan mencium tangan opa.
Reani. “Opa… Rea kangen.”
Opa hanya mengangguk, matanya meredup namun tajam.
Lalu nada suaranya berubah, membawa ketegangan ke seluruh ruangan.
Opa Mayer. “Cucuku, opa memang tak ikut campur dengan hubunganmu dengan pria rendahan itu. Tapi opa tidak terima kamu disakiti. Rea… apa perlu opa menyingkirkan mereka?”
Semua terdiam.
Reani duduk anggun, nada suaranya tenang.
Reani. “Tidak perlu, Opa. Maaf karena membuat kegaduhan. Rea akan mengatasinya sendiri.”
Doroti yang duduk bersilang kaki langsung menyela.
Doroti. “Benar itu, Opa. Rea lebih terampil. Aku malah menikmati semua dramanya.”
Opa memutar kepala ke arahnya cepat.
Opa Mayer. “Kamu ini… anak nakal! Bisakah diam sebentar saja? Selalu saja menyela!”
Doroti mendecak. “Ya ampun, Opa. Masa aku nggak boleh ikut nimbrung?”
Oma Madena mengibas tangan.
Oma Madena. “Sudahlah… jangan galak-galak sama cucumu sendiri.”
Opa langsung diam seketika, membuat semua orang menundukkan kepala menahan tawa—kecuali Doroti yang tampak bangga.
Opa Mayer bersandar sedikit, kini suaranya lebih tenang.
Opa Mayer. “Rea, opa ingin mengenalkan seseorang padamu. Kau sudah kenal, tapi mungkin lupa. Anak keluarga Alfonso.”
Doroti spontan berdiri.
Doroti. “Erika?”
Opa hampir menjatuhkan tongkatnya.
Opa Mayer. “Untuk apa opa mengenalkan Erika!? Dengan Rea! Kamu ini, Doroti! Bisakah tidak menyela!?”
Doroti mengangkat bahu. “Ya siapa tahu.”
Opa menyipitkan mata.
Opa Mayer. “Yang ingin opa kenalkan adalah Gerhana. Anak pertama Samuel Alfonso dan Diana Ross.”
Doroti ternganga. “Gerhana? Yang tinggi, dingin, dan jarang bicara itu? Opa… kenapa dia?”
Opa menghela napas panjang.
Opa Mayer. “Karena dia pantas.”
Doroti hendak menyela lagi, tapi Reani sudah mengangkat tangan.
Reani. “Sudah. Tolong hentikan perdebatan kalian.”
Oma menepuk lututnya.
Oma Madena. “Betul! Kalian berdua, cucu dan opanya, sama-sama berisik!”
Semua langsungg terdiam.
Sedangkan yang lain.
Johan, Sisilia, Aunty Cassy, dan Aryan hanya duduk patuh sejak tadi. Mereka tidak berani ikut campur ketika Opa Mayer mulai bicara—hanya Doroti, satu-satunya cucu yang berani membalas, meski selalu kena semprot.
Reani melihat sekeliling keluarga besarnya dan tersenyum kecil.
Malam ini bukan pertemuan biasa.
Ini adalah malam ketika keluarga Wijaya berkumpul…
untuk memberi Reani dukungan.
bersambung....