"Apakah kamu sudah menikah?" tanya Wira, teman satu kantor Binar. Seketika pertanyaan itu membuatnya terdiam beberapa saat. Di sana ada suaminya, Tama. Tama hanya terdiam sambil menikmati minumannya.
"Suamiku sudah meninggal," jawab Binar dengan santainya. Seketika Tama menatap lurus ke arah Binar. Tidak menyangka jika wanita itu akan mengatakan hal demikian, tapi tidak ada protes darinya. Dia tetap tenang meskipun dinyatakan meninggal oleh Binar, yang masih berstatus istrinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Akikaze, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kejadian Tak Terduga
Terlihat dua orang berada di salah satu cafe tengah mengobrol dengan asyiknya layaknya dua orang yang berpacaran, itulah dugaannya. Semakin membuatnya yakin jika Binar dan Aksa sedang menjalin asmara terlarang. Tidak perlu menunggu waktu atau sekedar memastikan.
"Binar!!" seseorang datang dengan suara menahan amarah. "Plaak!" tanpa menunggu sahutan dari Binar, tangan kanan itu sukses menampar pipi Binar sebelah kiri dengan entengnya, membuat Binar sontak memegang pipinya. Terasa panas seketika. Aksa yang tengah duduk di depan Binar pun berdiri dan mengamankan Binar dari amukan seorang perempuan paruh baya itu.
"Apa yang anda lakukan padanya?" tanya Aksa dengan nada terkontrol, namun sorot matanya menunjukkan rasa tidak sukanya dengan perlakuan seperti itu.
"Dasar kamu wanita j*lang\, sudah membuat keluargaku berantakan\, perusahaan bangkrut\, selalu menghabiskan uang suamimu\, dan lihat dirimu...lihat....siapa ini hah? siapa? kamu malah selingkuh\, dasar j*lang!!" wanita itu berteriak lagi\, kali ini lebih keras dan hendak kembali menambar Binar. Untung saja Aksa dengan sigap menghalanginya.
"Security...!" Aksa berteriak memanggil satpam untuk mengamankan wanita yang menyerang Binar dengan amarah itu. Hingga beberapa panggilan, akhirnya security datang mengamankan. Kondisi sudah cukup runyam, membuat banyak pengunjung melihat ke arah sumber keributan itu. Binar masih kaget dengan kejadian tersebut. Aksa menarik Binar dan hendak mengajaknya pergi. Namun Binar menolaknya.
"Saya harus bertemu dengan beliau, Pak" Binar meminta izin. Lalu mengekor pada satpam yang membawa mantan Ibu mertuanya itu ke dalam suatu ruangan.
Binar menatap Ratih dengan tatapan datar, sementara Ratih sudah terlihat tenang meskipun kilatan matanya masih memendam amarah. Aksa duduk di samping Binar, bersiap menghalangi jika wanita itu akan menyerang lagi. Meskipun dia tidak tahu akar masalahnya dan siapa wanita itu, tapi Aksa yakin jika Binar dan wanita itu ada hubungannya.
"Maaf Ma, ini tidak seperti apa yang mama bayangkan," Binar membuka percakapan, Ratih masih diam seribu bahasa. "Beliau adalah orang yang menggaji saja, dan saya sedang bekerja dengan beliau sekarang,"
Ratih bergegas menoleh dan melihat ke arah Aksa yang hanya diam siaga itu. Lalu kembali wanita itu membuang muka.
"Maling mana ada mau ngaku. Kamu itu, sudah jadi benalu, mana sekarang nyari laki-laki lain. Apa kurangnya anak saya, bukannya kamu diratukan sama dia? hah?"
"Saya kembali menjadi mandiri, Ma. Maka dari itulah, saya kembali kerja sesuai keinginan Mama."
"Ka..Mu" suaranya memendam amarah.
"Mama saya antar pulang ya...?" Binar masih bisa berbicara dengan baik.
"Saya bisa pulang sendiri, dasar wanita j*lang!" bersamaan dengan itu, Ratih meninggal ruangan tersebut. Binar hendak mengejar, namun Aksa memegang lengan Binar dan menggeleng perlahan.
"Dan kamu ya....!" Ratih menunjuk Aksa dari jarak yang agak jauh. "Kamu sudah merusak kehidupan orang lain" pekiknya.
Binar menghela nafas kasar.
"Saya minta maaf, Pak" Binar merasa sangat bersalah dengan kejadian barusan, selain membuat geger di mall ini, dia juga merasa tak enak hati karena Aksa juga ikut dimaki oleh mantan ibu mertuanya.
Sepanjang perjalanan pulang, Binar hanya diam saja. Sementara Aksa membiarkan Binar larut dalam lamunannya, entah apa yang sedang dipikirkan oleh wanita di sampingnya itu.
"Apa pernikahan itu menyeramkan seperti ini?" Aksa membuka percakapan, baginya, apa yang baru dilihatnya nampak tidak bagus dan membuatkan semakin harus berfikir ulang untuk menikah.
"Menikah akan menyenangkan jika kita bertemu dengan orang yang tepat, Pak. Situasi saja yang tidak menguntungkan, sehingga saya juga merasa tidak beruntung," Binar tersenyum pias. "Dan satu tahun ini sudah cukup buat saya,"
Aksa melihat ke arah Binar, wanita itu nampak tegar.
"Kenapa kamu tidak kembali ke kota ini?" tanya Aksa.
"Ada banyak hal yang harus saya selesaikan, Pak" jawaban Binar mengandung berbagai banyak pertanyaan lanjutan yang membuatnya penasaran, hanya saja Aksa tidak berani masuk ikut campur, kecuali Binar yang menceritakannya sendiri.
"Lupakan pak, lupakan,"
Aksa mengangguk memahami.
"Saya tidak akan menjadi iklan KUA, Pak, tapi saya berani menjamin jika anda menikah dengan orang yang tepat, maka dunia dan seisinya akan indah," Binar tersenyum sumringah, seolah tidak terjadi apa-apa dalam hidupnya.
"Saya tipe orang yang di sekitar saya harus bahagia, termasuk para karyawan saya, jadi saya harap kamu bisa bahagia setelah ini, meskipun saya tidak tahu masalah hidupmu,"
Binar tertawa kecil, merasa tidak enak harus mengobrol seakrab ini dengan bosnya.
"Maaf ya Pak, hidup saya terlalu aneh dipandang, bahkan beberapa kali Bapak harus terlibat dengan masalah hidup saya,"
"Aku tidak merasa demikian,"
"Tetap saja Bapak ada tiap kali saya hampir menangis,"
"Sudah menangis," Aksa menegaskan, Binar melihat ke arah Aksa dengan pipi panas, menahan malu. Iya, dia pernah menangis di mobil bersama Aksa yang bahkan Aksa tidak tahu menahu tentang masalahnya.
"Itulah, maaf,"
"Jangan terlalu sering minta maaf,"
"Tapi ini seni kehidupan, Pak. Jika di antara manusia tidak pernah ada kata minta maaf dan memberi maaf, maka hidup kita akan hambar,"
"Oh ya Pak, meskipun saya sedang berantakan dalam hidup. Apapun yang terjadi dalam hidup saya sekarang ini, saya akan tetap bekerja dengan baik. Jadi saya mohon jangan pecat saya ya pak," Binar memohon. Mendengar penjelasan itu membuat Aksa tersenyum geli. Iya, yang membuatnya harus melakukan ini adalah Binar teringat akan hutang-hutangnya, mencari kerja tidak segampang mencari musuh. Kalau dia tidak kerja, maka tamatlah riwayatnya. Sejauh ini dia sudah nyaman bekerja di perusahaan Aksa meskipun setiap harinya harus menahan senam jantung karena terkadang harus bertemu dengan manusia yang membuatnya terluka.
Perjalanan sudah tiba, mereka kembali ke hotel dan masuk kamar masing-masing. Apa yang diperoleh hari ini? tidak ada, kecuali caci maki dari mantan mertuanya yang menganggapnya serong dengan lelaki lain. Binar meyakini setelah ini Tama akan mendapat puluhan bahkan ratusan panggilan dari Ibunya itu. Terserah bagaimana Tama menjelaskan pada Ibunya.
Binar meletakkan tasnya dan sepatu ke tempatnya, sengaja belum mengahapus make up tipisnya. Binar membuka pintu balkon hotel dan keluar untuk menghirup udara malam. Angin sepoi-sepoi menyibak anak rambutnya hingga menari-nari. Binar memejamkan mata, menghirup udara sebanyak-banyaknya dengan harapan mampu meredam apa saja yang terjadi dalam hidupnya. Terlebih kejadian hari ini yang cukup membuatnya war wer wor.
Binar membuka matanya, melihat langit yang sama sekali tidak kelihatan kilau bintang, kalah dengan lampu kota yang membuat sinar bintang sama sekali tak tampil. Binar memandang langit luas, seraya berharap agar hidupnya melunak, agar hidupnya kembali tenang.