Tujuh belas tahun lalu, satu perjanjian berdarah mengikat dua keluarga dalam kutukan. Nadira dan Fellisya menandatangani kontrak dengan darahnya sendiri, dan sejak itu, kebahagiaan jadi hal yang mustahil diwariskan.
Kini, Keandra dan Kallista tumbuh dengan luka yang mereka tak pahami. Namun saat rahasia lama terkuak, mereka sadar… bukan cinta yang mengikat keluarga mereka, melainkan dosa yang belum ditebus.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lautan Ungu_07, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab: 15 Belum Kalah
Setelah beberapa menit, Alka keluar dari balik tirai dapur. Mengenakan hoodie hitam dengan celana jeans biru. Ia menatap teman-temannya sebentar, lalu melangkah melewati mereka, berjalan menuju meja pojok cafe.
Tak lama, Cakra datang sambil membawa nampan berisi wedang jahe dan nasi goreng yang masih ngepul.
"Jangan biarin perut lo kosong." katanya, sambil menyimpan makanan di hadapan Alka.
"Makasih." balas Alka singkat, suaranya pelan.
Cakra kembali berjalan, meninggalkan Alka sendirian. Tangan Alka meraih gelas wedang, menggenggamnya erat, seolah mencari kehangatan pada gelas yang terasa panas itu. Ia meniupnya, lalu menyesapnya pelan.
Dari meja depan sana, Rian, Lista, Cakra, Athar dan Liona menatapnya.
"Biarin dia sendiri dulu." kata Athar, suaranya datar.
"Tapi dia nggak mau makan." balas Liona, sorot nya khawatir.
"Bener juga kata, Liona. Gue khawatir dia belum makam dari pagi." sahut Cakra. Ia bangun dari duduknya. "Gue bikinin lo nasi goreng juga ya, terus temenin Alka makan."
"Kenapa harus gue?" tanya Liona cepat. Tapi dalam hatinya, dia benar-benar bersedia.
Lista langsung menatapnya serius. "Alka lebih welcome sama, lo. Gue percaya, lo bisa bujuk dia."
"Yaudah," Liona mengangguk, ada senyum kecil di wajahnya.
Setelah mendengar jawaban dari Liona, Cakra langsung berlari menuju dapur. Di meja pojok sana, nasi goreng itu belum Alka sentuh, hanya ia lihat sekilas.
Sudah hampir sepuluh menit, kini Cakra keluar dari balik tirai dapur. Membawa satu porsi nasi goreng.
"Na, ini gratis ya. Gue bikinin demi temen gue itu." celetuk Cakra sambil menyerahkan nasi goreng yang masih panas itu.
"Iya, terima kasih, Cakra." kata Liona dengan tatapan sinis.
"Sama-sama, yaudah sana. Lo bujuk dia, sampai mau makan." balas Cakra, ia kembali duduk di kursi asalnya.
Liona perjalanan pelan menghampiri meja Alka. Tapi detak jantungnya berdetak cepat.
"Ka..." kata Liona pelan, seolah takut pecahin hati Alka yang sedang rapuh.
Alka noleh sekilas, tatapannya kosong. "Ngapain kesini?"
"Mau makan bareng, anak-anak udah pada makan soalnya." Liona nyimpen nasi goreng pelan di hadapan dirinya. "Lo belum makam juga, kan?"
Alka cuma menatap makanan di depannya. "Gue nggak laper."
Liona duduk di hadapannya, menatap Alka lekat. "Jangan bohong, perut lo bunyi dari tadi. Gue denger soalnya." ia nyengir kecil, berusaha ngasih warna di suasana kusam itu.
Alka membuang napas berat, tapi bibirnya terangkat sedikit. Nggak sampai senyum, cuma luluh sedikit.
Liona ngaduk nasi gorengnya, asap tipis muncul, menciptakan garis halus di udara. "Ayok makan bareng gue. Dikit aja biar lo nggak tumbang. Kalau tumbang... lo nggak bisa ketemu gue."
Hening menggantung di anatar mereka. Tapi akhirnya, Alka ngambil sendok, lalu ngaduk nasi goreng miliknya yang sudah hampir dingin.
"Nahh, gitu dong. Kan gue seneng." kata Liona sambil ngunyah.
Awalnya Alka hanya menyendok beberapa suap saja. Tapi karena Liona terlihat lahap, akhirnya ia meneruskan suapan nya hingga nasi goreng itu habis.
Liona melihat makanan Alka sudah habis. Ia tersenyum tanpa sadar. "Ka, lo boleh jatuh hari ini... tapi gue nggak akan biarin lo berhenti." katanya tiba-tiba.
Tatapan Alka langsung masuk ke tatapan hangat Liona. "Lo itu bagus Alka, hanya saja, dunia lagi sial saat ini."
Akhirnya, bibir Alka tersenyum. "Kenapa lo selalu yakin sama gue" suaranya serak.
"Karena lo nggak pernah nyerah, lo selalu kerja keras." jawab Liona cepat. "Ka, kalau lo emang lagi bener-bener capek, lo boleh kok istirahat dulu. Tapi... jangan sampai bikin lo berhenti." lanjutnya.
"Kalau berhenti?" tanya Alka.
"Lo kalah, bukan sama orang lain. Tapi sama diri lo sendiri." jawab Liona.
Dengan ragu, dan penuh pertimbangan. Tangan Liona terulur menggenggam tangan Alka. "Ka, hari ini lo masih menang kok." katanya lembut.
Rasa hangat dari tangan Liona terasa hingga ke dalam dada. Rasa yang tadinya hancur, berantakan, bahkan nyaris runtuh itu. Kini terasa perlahan membaik, tersusun kembali.
Hatinya mendadak tenang, hangat. Seolah menemukan cahaya di lorong gelap. Tatapan Liona semakin dalam. "Alka, lo cuma butuh temen di saat seperti ini kan?... malam ini, tolong jadikan gue sebagai teman lo." katanya, suaranya lembut.
Alka menelan ludah, sebelah tangannya mengepal di atas meja. Mencoba menahan degup jantung yang berdetak liar. Ia tersenyum gugup, menatap Liona.
"Na, makasih ya. Lo udah berani masuk ke dunia gue, saat dunia itu sedang gelap. Mereka bukan nggak berani masuk juga, tapi takut gue marah." jawab Alka akhirnya, suaranya sedikit bergetar.
"Tapi mereka, nggak punya keberanian kayak lo. Yang nggak peduli gimana nantinya." lanjut Alka.
Liona menghela napas panjang. "Gue nggak peduli lo mau marah atau gimana. Tapi yang jelas, gue tahu... kalau sebenarnya lo emang bener-bener butuh temen di saat seperti ini, kan?"
Alka tak menjawab, ia hanya tersenyum kecil. Matanya menatap lurus ke tangan Liona yang tengah menggenggamnya.
Di luar hujan tinggal gerimis kecil. Cahaya lampu memantul ke jendela yang berembun.
Liona berdiri, merapikan rambutnya. "Ka, gue pulang dulu ya. Kalau gue lama-lama di sini, gue makin ikut sedih."
Alka noleh sedikit. "Hati-hati ya! Kalau udah sampai rumah, kabarin."
"Lo jangan bengong doang di sini, gabung sama yang lain. Mereka nungguin lo dari tadi." kata Liona sebelum akhirnya melangkah pergi.
"Gue pulang duluan ya. Byee!" tangannya melambai saat melewati meja teman-temannya.
"Hati-hati, Na." teriak Lista, tangannya membalas lambaian Liona.
Suara motor Liona perlahan mulai menjauh dari cafe. Alka menatapnya dari jendela, ada senyum kecil yang tiba-tiba muncul di bibirnya.
Kini ia bangun dari duduknya, membawa piring kotor, bekas dirinya dan Liona. Perasaannya tak seberantakan tadi, kali ini ia merasa lebih baik, lebih hangat dari sebelumnya.