---
📖 Deskripsi: “Di Ujung Ikhlas Ada Bahagia”
Widuri, perempuan lembut yang hidupnya tampak sempurna bersama Raka dan putra kecil mereka, Arkana. Namun di balik senyumnya yang tenang, tersimpan luka yang perlahan mengikis keteguhan hatinya.
Semuanya berubah ketika hadir seorang wanita kaya bernama Rianty — manja, cantik, dan tak tahu malu. Ia terang-terangan mengejar cinta Raka, suami orang, tanpa peduli siapa yang akan terluka.
Raka terjebak di antara dua dunia: cinta tulus yang telah ia bangun bersama Widuri, dan godaan mewah yang datang dari Rianty.
Sementara itu, keluarga besar ikut memperkeruh suasana — ibu yang memaksa, ayah yang diam, dan sahabat yang mencoba menasihati di tengah dilema moral yang makin menyesakkan.
Di antara air mata, pengkhianatan, dan keikhlasan yang diuji, Widuri belajar bahwa bahagia tidak selalu datang dari memiliki… kadang, bahagia justru lahir dari melepaskan dengan ikhlas.
“Karena di ujung ikhlas… selalu ada bahagia.”
---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zanita nuraini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 15- PAGI YANG TAK LAGI SAMA
Mentari pagi menembus celah tirai, tapi hangatnya tak mampu menembus dingin di dada Raka.
Ia duduk di tepi ranjang, masih mengenakan kaos polos abu dan celana panjang hitam. Matanya sembab. Tidur semalam hanya formalitas; pikirannya tak berhenti berputar tentang wajah Widuri yang penuh luka.
Dari dapur terdengar suara sendok beradu dengan gelas — pelan, tapi terasa asing.
Biasanya, Widuri akan memanggilnya lembut,
“Mas, kopi atau teh pagi ini?”
Namun pagi ini — hening.
Hanya aroma roti panggang yang tercium samar.
Raka menarik napas panjang dan melangkah menuju meja makan.
Widuri sedang menyiapkan sarapan untuk Arkana. Tatapannya datar, tidak marah, tapi juga tidak ramah.
Ia sibuk memotong roti, mengoles mentega, seolah keberadaan Raka tak penting.
“Pagi…” ucap Raka pelan.
“Pagi,” jawab Widuri cepat, tanpa menoleh sedikit pun.
Arkana menatap kedua orang tuanya bergantian, lalu bertanya polos,
“Papa kerja lagi, ya?”
Raka berusaha tersenyum. “Iya, Nak. Papa kerja biar Arka bisa beli mainan lagi.”
Anak itu tertawa kecil, tapi tawa itu justru membuat hening di antara mereka makin terasa.
Hanya suara jam dinding yang berdetak lambat, seolah menyindir betapa jauh jarak di antara dua hati yang dulu begitu dekat.
Setelah berpamitan, Raka sempat menoleh sekali. Widuri tidak menatapnya sama sekali.
Ia tahu, kepercayaan yang retak sulit diperbaiki dengan kata maaf saja.
Motor tuanya melaju pelan ke arah kantor. Angin pagi yang biasa menenangkan, kini terasa seperti beban.
Di kepalanya, ia terus memikirkan cara untuk menjelaskan semuanya — tapi bagaimana, jika Widuri sudah menutup pintu untuk mendengar?
Sesampainya di pos keamanan, Dika sudah berdiri sambil menyeruput kopi sachet.
“Bro, kenapa mukamu kusut amat?” godanya sambil menyikut Raka.
“Kurang tidur,” jawab Raka datar, berusaha menyembunyikan resah di balik senyumnya.
Dika menatap lekat-lekat. “Kurang tidur atau banyak pikiran? Kau tuh kalau lagi murung, muka kau udah kayak sinyal HP — naik turun, kadang hilang.”
Raka tertawa kecil, tapi tawanya hambar.
Dika menepuk bahunya pelan. “Kalau butuh tempat curhat, aku gratis. Tapi jangan nangis di bahu aku ya, nanti orang-orang kira aku pelakor.”
Raka terkekeh singkat, tapi tiba-tiba ponselnya bergetar.
Nada deringnya pendek, tapi cukup untuk membuat jantungnya berdebar tak karuan.
Rianty: “Mas, aku di lobi kantor. Kita bisa bicara sebentar?”
Raka menatap layar cukup lama.
Darahnya seperti berhenti mengalir.
Dika memperhatikan reaksi itu dan langsung nyeletuk,
“Siapa tuh, bro? Jangan-jangan ayang butik lagi ya?”
Raka tidak menjawab. Ia hanya mematikan layar dan menelan ludah pelan.
Langkahnya terasa berat ketika ia berkata,
“Aku ke depan dulu, ada urusan.”
“Urusan apa?” tanya Dika, tapi Raka sudah berbalik.
Langkahnya cepat, tapi matanya gelisah. Dika memperhatikan dari jauh dengan dahi berkerut.
“Ini orang kayaknya bener-bener lagi dikejar badai,” gumamnya pelan.
Di ujung lorong, dari balik kaca besar lobi, tampak sosok perempuan berdiri anggun dengan dress cream muda dan kaca mata hitam nya
Rambutnya terurai rapi, dan senyum tipisnya tampak menunggu sesuatu — atau seseorang.
Raka berhenti. Tangannya mengepal.
Jantungnya berdetak kencang saat perempuan itu menatapnya dan melangkah perlahan ke arahnya.
Beberapa karyawan yang lewat mulai melirik, berbisik pelan, tapi Raka tak peduli.
Ia tahu satu hal: kalau ada yang memotret atau membicarakan ini lagi, kabar itu akan sampai ke Widuri.
Dan kali ini, mungkin tak ada lagi ruang untuk menjelaskan.
Langkah Rianty semakin dekat.
Raka hanya bisa menahan napas, mencoba bersikap tenang di depan semua mata yang memperhatikan.
Namun tanpa ia sadari — didepan lobi, di balik kaca besar ruang tunggu tamu, seseorang tengah memperhatikan mereka diam-diam.
Tatapannya tajam, bibirnya bergetar menahan sesuatu yang nyaris pecah.
#TBC.
Jangan lupa like vote komen and kirsan nya yaaa