JURUS TERAKHIR TUANKU/ TUANGKU
Ribuan tahun lamanya, daratan Xianwu mengenal satu hukum: kekuasaan dipegang oleh pemilik teknik bela diri pamungkas.
Tuanku —seorang pewaris klan kuno yang tersisa—telah hidup dalam bayang-bayang kehancuran. Ia tidak memiliki bakat kultivasi, tubuhnya lemah, dan nyaris menjadi sampah di mata dunia persilatan.
Namun, saat desakan musuh mencapai puncaknya, sebuah gulungan usang terbuka di hadapannya. Gulungan itu hanya berisi satu teknik, satu gerakan mematikan yang diwariskan dari para pendahulu: "Jurus Terakhir Tuanku".
Jurus ini bukan tentang kekuatan, melainkan tentang pengorbanan, rahasia alam semesta, dan harga yang harus dibayar untuk menjadi yang terkuat.
Mampukah Tuanku, dengan satu jurus misterius itu, mengubah takdirnya, membalaskan dendam klannya, dan berdiri sebagai Tuanku yang baru di bawah langit Xianwu?
Ikuti kisah tentang warisan terlarang, kehormatan yang direbut kembali, dan satu jurus yang mampu menghancurkan seluruh dunia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HARJUANTO, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
NOVEL: JURUS TERAKHIR TUANKU
BAB 14: DUALISME DI HUTAN CEMARA DAN BATAS KESOMBONGAN RAJA KULTIVASI
1. Penantian di Batas Utara
Tuanku, yang kini menanggung beban dua jiwa dan satu kutukan, bergerak ke perbatasan utara wilayah Klan Pedang Abadi. Ia memilih sebuah lembah sunyi yang dikelilingi oleh hutan cemara yang tinggi—sebuah tempat yang sempurna untuk pertempuran sepihak.
Ia duduk di atas sebongkah batu, memeluk Tongkat Lin Kai. Pedang Abadi, kini diselimuti oleh Qi Yin Mutlaknya, terikat kuat di punggungnya. Jin, si kucing oranye, melompat ke bahunya, menjilati pipi Tuanku, memberikan sentuhan Qi Yang yang menenangkan.
"Dia datang, Jin," bisik Tuanku.
Meskipun Qi-nya masih jauh dari pulih total, intuisi Tuanku, yang kini tajam berkat gabungan dua jiwa, memperingatkannya. Aura kuat dan hangat—Qi Raja Kultivasi yang pulih—bergerak cepat ke arahnya.
Setelah jeda yang lama, Sultan Raziqin muncul. Ia berjalan keluar dari balik pepohonan, pakaiannya compang-camping, matanya memancarkan api kemarahan. Ia telah memulihkan sebagian besar Qi Raja Kultivasinya, tetapi kekuatannya tidak lagi murni dan tenang seperti sebelumnya; ia kini penuh dengan amarah dan ketidakstabilan.
"Tuanku," desis Raziqin, namanya terdengar seperti racun di lidahnya. "Kau memilih tempat yang bagus untuk mati."
2. Kesombongan dan Kemarahan
Raziqin mengangkat tangannya. Tidak ada Qi yang mewah, hanya Qi yang murni hangat dan mendominasi. "Kau pikir Jurus Keseimbangan Kosmis-mu akan berhasil lagi? Aku belajar dari kesalahan, Harjuanto! Aku menghabiskan waktu di Ruangan Waktu untuk merenungkan kelemahanmu. Aku tahu kau lemah! Kau menghabiskan esensi Qi-mu di Pedang Abadi itu. Kau tidak lebih dari cangkang kosong yang didukung oleh seekor kucing bodoh!"
Tuanku berdiri. Ia tidak mengeluarkan Qi Yin Mutlak. Ia hanya memegang tongkatnya di posisi defensif.
"Kau belajar, Raziqin, tapi kau tidak mengerti," jawab Tuanku, tenang. "Kau mempelajari caraku, tetapi kau tetap teguh pada filosofimu. Kesombonganmu, bukan kelemahanmu, yang akan menghancurkanmu."
"Omong kosong!" Raziqin menggeram. "Kau membalikkan takdir, membuatku lemah, dan menciptakan perang di klanku! Aku akan mengambil Batu Giok itu, membuang jiwa bayanganmu, dan mengambil alih kekuasaan Qian Yu!"
Raziqin menyerang. Ia bergerak dengan kecepatan Raja Kultivasi yang sebenarnya, tetapi dengan serangan yang sangat liar. Ia tidak menggunakan jurus teknik yang rumit; ia hanya memukul dengan tinju Qi Panas, mencoba memaksakan dominasi dan menghancurkan Tuanku sebelum ia bisa menggunakan keseimbangan.
3. Pertarungan Keseimbangan Gerak
Tuanku mengelak. Ia tidak mencoba menangkis; ia hanya mengelak dengan gerakan minimal. Ia menggunakan Qi yang sangat kecil, dibantu oleh Qi Yang yang konstan dari Jin, untuk mengubah jalur serangan Raziqin.
Raziqin, yang biasanya menghancurkan gunung dengan satu tinju, menjadi frustrasi karena tinjunya selalu meleset beberapa inci dari target.
"Mengapa kau menghindar, pengecut?!" teriak Raziqin. "Hadapi aku!"
"Aku menghadapimu, Raziqin. Aku menghadapi kekosongan yang kau ciptakan," kata Tuanku, bergerak mundur. "Qi-mu penuh dengan emosi, tidak stabil. Aku hanya perlu menunggu Qi-mu menghabisi dirimu sendiri."
Raziqin tidak tahan lagi. Ia memfokuskan semua Qi-nya menjadi satu pukulan, tinju yang diselimuti api Qi Panas yang membakar.
"Ini adalah akhir dari Kutukan Jiwa! Panah Matahari Mutlak!"
Serangan itu melesat. Tuanku tahu ia tidak bisa menghindarinya.
Ia harus mengorbankan sebagian kekuatan yang tersimpan.
4. Jurus Tongkat Pembalik dan Pengorbanan Ringan
Tuanku mencabut Pedang Abadi dari punggungnya, tetapi tidak menggunakannya untuk menyerang. Ia hanya memegangnya dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya memegang Tongkat Lin Kai.
Ia memfokuskan Qi Yin Mutlak yang sangat kecil, yang ia simpan di Batu Resonansi Yin (yang diberikan Liandra), dan mengalirkan Qi itu ke Tongkat Lin Kai.
Pada saat yang sama, Jin, si kucing oranye, mengeluarkan semua Qi Yang-nya yang tersisa.
Tuanku mengayunkan Tongkat Lin Kai secara vertikal, menciptakan garis Yin yang tebal. Tongkat itu berfungsi sebagai titik balik. Ia menggunakan Batu Resonansi untuk menarik energi Yin Mutlak yang ada di Pedang Abadi, meminjamnya sepersekian detik.
Ketika Panah Matahari Mutlak Raziqin menghantam garis Yin itu, energi itu tidak terhapus. Sebaliknya, energi Panas itu dipantulkan kembali!
"Jurus Tongkat Pembalik!"
Raziqin tidak punya waktu untuk bereaksi. Panah Matahari Mutlaknya sendiri menghantam bahunya dengan kekuatan penuh.
BUUUUM!
Raziqin menjerit kesakitan. Serangan itu tidak membunuhnya, tetapi melumpuhkan seluruh sisi kirinya. Raziqin jatuh tersungkur di tanah, Qi-nya berantakan.
Tuanku terengah-engah. Batu Resonansi Yin-nya retak, dan Batu Giok di dadanya bergetar. Jin, kelelahan, jatuh dari bahu Tuanku dan meringkuk di tanah, matanya tertutup.
5. Hikmah Kedaulatan dan Misi Sejati
Tuanku berjalan mendekati Raziqin yang tak berdaya. Ia mengarahkan Tongkat Lin Kai ke leher Raziqin.
"Aku bisa membunuhmu sekarang, Raziqin. Itu akan mengakhiri dendam klanku dan ambisimu," kata Tuanku, suaranya dipenuhi otoritas baru yang dingin.
Raziqin menatapnya dengan mata yang kini tidak lagi marah, tetapi kosong. "Lakukan. Aku tidak bisa hidup tanpa kekuatanku."
"Aku tidak akan membunuhmu," kata Tuanku, menarik tongkatnya. "Klanmu membutuhkanmu. Kau akan kembali ke Umbul Sari Jember, menjadi Raja Kultivasi yang lumpuh, tetapi kau akan menemukan bahwa kini kau harus memimpin, bukan dengan kekuatan, tetapi dengan kebijaksanaan."
"Mengapa? Mengapa kau membiarkan aku hidup?!"
"Karena aku bukan lagi Harjuanto yang mencari balas dendam. Aku adalah Tuanku—dan tugasku adalah melindungi Daratan Xianwu dari musuh sejati," kata Tuanku, menunjuk ke langit. "Qian Yu akan kembali. Dia adalah ancaman yang sebenarnya. Kau dan Tetua Wuyan, dengan perang kalian, adalah bagian dari kekacauan yang akan ia manfaatkan."
"Aku memberimu kedaulatan atas hidupmu. Kembali. Pertahankan klanku, dan bersiaplah untuk perang yang sesungguhnya. Jika kau mencari aku lagi, aku tidak akan menunjukkan belas kasihan."
Tuanku berbalik. Ia mengambil Jin yang kelelahan dan memasukkannya ke dalam saku jubahnya. Ia memasang kembali Pedang Abadi di punggungnya, menyisakan Tongkat Lin Kai di tangannya.
Ia meninggalkan Sultan Raziqin di hutan cemara. Raziqin, Raja Kultivasi yang sombong, kini ditinggalkan dengan rasa sakit fisik dan kebanggaan yang hancur. Ia tidak dibunuh; ia diampuni—sebuah penghinaan yang jauh lebih besar.
Tuanku tahu, dengan kekalahan Raziqin, ia telah menyelesaikan siklus dendam dan transisinya menjadi pemimpin yang sebenarnya. Kini, ia harus kembali ke Klan Pedang Abadi, bersama Liandra dan Fatimah, untuk mempersiapkan diri menghadapi ancaman kosmis yang lebih besar.
— AKHIR BAB 14 —