Mirai adalah ID game Rea yang seorang budak korporat perusahaan. Di tengah stress akan pekerjaan, bermain game merupakan hiburan termurah. Semua game ia jajal, dan menyukai jenis MMORPG. Khayalannya adalah bisa isekai ke dunia game yang fantastis. Tapi sayangnya, dari sekian deret game menakjubkan di ponselnya, ia justru terpanggil ke game yang jauh dari harapannya.
Jatuh dalam dunia yang runtuh, kacau dan penuh zombie. Apocalypse. Game misterius yang menuntun bertemu cinta, pengkhianatan dan menjadi saksi atas hilangnya naruni manusia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jaehan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertarungan Perdana
Part 15
Esok siang kedua orang itu berjalan sesuai arah peta. Tentu saja mencari jalan aman yang sekiranya tidak ada zombie. Perbekalan yang cukup telah mereka bawa setelah semalaman menyiapkan apa yang perlu.
Jaket, topi baseball, kaos, celana jeans dan sepatu kets menjadi armor andalan sementara. Tas ransel di punggung pun tidak terlalu berat. Tak lupa senjata api juga terselip di saku dalam jaket. Hanya Nero yang membawa Katana yang disangkutkan di pinggang.
Siang ini tidak terlalu terik. Langit tampak kelabu pertanda akan turun hujan. Sekilas Mirai melirik awan hitam di ujung cakrawala. Menerka musim apa yang sedang berlangsung sekarang. Ia sungguh tidak tahu. Dunia ini asing. Bagaimana mungkin dunia game yang setiap hari hanya ia tatap dari layar ponsel bisa menjadi kenyataan yang harus dihadapi.
Mirai dan Nero terus berjalan, beberapa kali harus balik arah karena melihat zombie dari kejauhan atau jalan yang telah terhalang runtuhan bangunan. Sudah hampir dua jam mereka melangkah. Beringsut di gang sempit, mengendap-endap di jalan terbuka, sedikit merangkak kala terhalang mobil yang terbalik atau benda-benda yang bertumpuk dengan sedikit celah. Sungguh penuh perjuangan. Lelah dan tegang menyatu tanpa batasan. Keduanya saling tertunduk, mata mereka terus memindai sekitar, siap menghadapi ancaman apa pun yang mungkin muncul.
Tetiba Nero berhenti dan menoleh ke arah Mirai. "Dengar gak?" ia bertanya, namun telinganya tetap terfokus pada suara yang samar-samar.
Mirai turut mendengarkan secara seksama, dan mendapati suara yang sama. Suara langkah kaki berat, terseret dan sesekali terhenti laiknya seseorang atau sesuatu yang sedang mendekat. "Apaan tuh?" tanyanya, suaranya rendah tapi waspada. Bila benar itu zombie, maka ini pertama kalinya mereka berhadapan langsung dalam gang sempit ini.
Nero tidak menjawab,hanya menatap ke depan, siap menghadapi apa pun yang akan datang. Mundur mungkin pilihan, namun ini adalah jalan terakhir yang tersisa. Hari ini atau esok tetap saja harus dihadapi. Jadi ngapain ditunda? Toh sama aja. Apa keputusan gue terlalu gegabah?
"Kita maju nih?"
"Iya.”
“Kamu yakin?”
“Gini-gini aku ikut karate di SMA sama di kampus. Jadi masih pede dikit lah. Kamu gimana? Siap kan?" Ditarik katana dari sarungnya. Nero bersiap, seluruh inderanya menajam.
“Aku gak pernah siap,” jawabnya lirih. Dikeluarkan pistol dari saku dalam jaket. Jantungnya berdegup kencang saat mendengar suara langkah kaki mendekat. Walau berusaha tetap tenang, tapi tangannya gemetar. Diingat ucapan Nero sebelum berangkat bahwa ia tidak boleh menembak terkecuali dalam kondisi terdesak. Suara letusan pistol akan mengundang lebih banyak zombie. Di sisi lain, Nero terlihat sangat fokus, matanya tetap terarah ke depan, siap menghadapi apa pun yang akan datang. Jujur saja ia mencemaskan pemuda itu yang meletakkan semua beban di pundaknya.
Suara langkah kaki semakin keras, dan Mirai bisa merasakan napasnya menjadi lebih cepat. Meski tidak tahu apa yang akan mereka hadapi, tapi ia siap melindungi Nero apa pun yang terjadi.
Tetiba sosok zombie setinggi tiga meter muncul dari balik sudut gang. Matanya kosong, kulitnya pucat, dan mulutnya terbuka lebar menunjukkan gigi yang kuning dan berantakan. Zombie itu menggeram dan melangkah maju dengan gerakan yang kaku dan tidak terkendali seolah sudah ribuan tahun tidak makan.
"Anjrit! Gede bener!" Nero terkesiap menurunkan ransel dari punggung lantas memegang Katana seerat mungkin, bersiap menyerang.
Sementara bola mata Mirai bergetar ketakutan, kilasan sosok menyeramkan di rumah sakit kembali bangkit. "Viiiiiiin." Suaranya gemetar panik saat zombie itu semakin dekat, bahkan ia bisa mengendus aroma busuk busuk dari tubuhnya dari jarak sepuluh meter.
Bagi Nero tidak ada waktu untuk ragu. Ia harus melindungi Mirai apa pun resikonya. Matanya menajam, melangkah maju ketika zombie itu mulai beringas. Lari pun sudah terlambat. Tebasan melayang kala sampai dalam jarak serangan. Zombie tanpa otak itu tidak menghindar melainkan terus maju demi memuaskan rasa laparnya, alhasil bilah katana berhasil mengiris cukup dalam, melintang miring dari pundak ke perut bawah. Namun serangan itu seolah tak berarti, zombie itu menggeram ganas, menyerang, dan gerakannya membabi-buta. Untungnya Nero secara cekatan menghindar sembari menyerang sekaligus bertahan. Gerakannya cepat dan presisi dalam menggunakan pedang. Ia sendiri terheran, padahal tidak pernah belajar ilmu pedang. Sepertinya Vincent original pernah berlatih kelas anggar. Meski seni pedangnya berbeda, tetapi masih bisa digunakan.
Berapa kali pun ditebas hanya bisa menggores cukup dalam. Daging busuk itu ternyata cukup tebal dan keras. Baru segini saja sudah membuatnya lelah. Ini gawat! Tekad boleh gede, tapi stamina kagak cuy! Sial banget emang kalo gak punya jurus mematikan. Ini sih bukan isekai ke game tapi ke dunia lain yang diambang kepunahan gara-gara zombie!!
Tidak ada banyak waktu bergulat dengan batinnya sendiri. Dalam waktu singkat Nero harus mengalahkan sebelum zombie lain berdatangan karena suara gaduh mereka. Dan sekali lagi ia melawan dalam kondisi kelelahan.
Mirai melihat betapa kuatnya zombie itu. Pistolnya tidak berguna, ia harus mencari penggantinya dan membantu Nero. Ada bilah besi sepanjang satu meter yang tergeletak di tanah. Tanpa pikir panjang dimasukkan kembali pistolnya lantas menyambar besi itu.
Saat Nero terpojok menahan tangan zombie yang mendorong katananya, Mirai melompat dari belakang dan menghantam kepala zombie tersebut sekeras mungkin. Makhluk itu pun terhuyung ke samping.
Nero tidak melewatkan kesempatan itu. Segera saja ia bergerak cepat menebas leher zombie hingga kepalanya terlepas dan menggelinding di tanah. Tubuh tanpa kepala itu pun jatuh berdebum tak bergerak lagi. Satu hal yang mereka ketahui dari kejadian ini bahwa memisahkan kepala dari tubuh zombie dapat melumpuhkannya. Tapi itu perlu usaha yang cukup keras.
Dalam ketegangan dan napas memburu yang belum putus, tanpa disadari sesosok zombie telah mendekati Mirai. Tak sempat menghadang, pada akhirnya Nero melepas katana dan menerjang gadis itu demi memasang badan. Untungnya cakaran zombie tidak mengenai punggung Nero sehingga mereka hanya berguling di tanah dalam kondisi berpelukan.
Tak ada waktu untuk menata hati karena rasa malu. Mereka harus bangkit lagi sebelum menjadi santapan mayat hidup. Katanya tergeletak cukup jauh. Kini pilihannya hanya mengeluarkan pistol dari dalam saku jaket. Suara tembakan sebanyak lima kali pun bergema di lorong gang sempit ini.
Peluru telah bersarang di kepala zombie yang berlari ke arah mereka. Zombie itu jatuh tepat di dekat kaki Mirai. Darah cokelat kehitaman dan aroma busuk yang terendus begitu memuakkan. Wajah Mirai memucat dan hampir muntah. Tak terbayang berapa kali mereka harus menghadapi hal semacam ini ke depannya. Kedua matanya berkaca-kaca dan Nero melihat betapa terpukul dirinya.
"Eri! Erica!" Nero meraih tangannya dan menggenggamnya seerat mungkin demi mengatakan bahwa ia tidak sendirian melalui semua ini.
Bola mata Mirai beralih pada senyum Nero yang menenangkan. "Viiiiin," suaranya bergetar. Pada akhirnya pemuda itu menepati janjinya, membuatnya tidak sampai menggunakan pistol.
Belum reda rasa lelah mereka, tetiba burung-burung yang bertengger di kabel dan atap gedung berterbangan beriringan dengan suara meraung-raung khas kumpulan mayat hidup yang semakin mendekat. Nero menyambar katana dan tas ranselnya sambil menggandeng Mirai, bersiap untuk lari. Hujan pun turun dengan derasnya, dalam waktu singkat tubuh mereka basah kuyup.