Melati berubah pendiam saat dia menemukan struk pembelian susu ibu hamil dari saku jas Revan, suaminya.
Saat itu juga dunia Melati seolah berhenti berputar, hatinya hancur tak berbentuk. Akankah Melati sanggup bertahan? Atau mahligai rumah tangganya bersama Revan akan berakhir. Dan fakta apa yang di sembunyikan Revan?
Bagi teman-teman pembaca baru, kalau belum tahu awal kisah cinta Revan Melati bisa ke aplikasi sebelah seru, bikin candu dan bikin gagal move on..🙏🏻🙏🏻
IG : raina.syifa32
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Raina Syifa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15
Sandra dan Aditya saling berpandangan, sedikit terheran-heran saat melihat anak, menantu, dan cucu-cucu mereka turun dari lantai 2 hampir bersamaan.
Mereka sengaja tidak membawa pakaian yang kemarin dibawa, berharap kalau menginap lagi tak perlu repot bawa baju lagi.
Aditya, papanya Revan memecah keheningan, suaranya hangat tapi penuh tanya. "Kalian pada mau ke mana, sih?"
Revan menjatuhkan tubuhnya di samping mamanya menjawab singkat, "Kita mau pulang, Pa."
Sandra mengerutkan kening, merasa ada yang aneh. "Pulang? Bukannya besok weekend? Kalian menginap lagi barang semalam, rumah ini sepi banget kalau nggak ada kalian," tambah Sandra sambil memandang mereka dengan mata sedikit sayu, rindu suasana riuh keluarga yang selalu membuat rumah terasa hangat.
Revan menggeleng pelan sambil menatap istrinya dengan penuh kasih sayang. "Kami mau liburan ke Puncak, Pa, Ma," katanya lembut.
Sandra langsung menyahut dengan semangat, "Ikut, dong!"
Revan mengernyitkan dahi, sedikit berdecak. "Ck, Mama. Kita rencananya mau family time, kita juga butuh waktu berdua, nggak ada gangguan."
Sandra tanpa ragu menarik telinga putra semata wayangnya, wajahnya sedikit kesal. "Dasar anak nakal, kamu pikir Papa sama Mama bukan keluarga kamu? Mama juga perlu healing, capek urus anak-anak kalian yang kalian tinggal, kamu kelayapan ke Bandung sementara Melati ke Jogja kangen sama bundanya. Kamu tau nggak anak kamu susah banget dibilangin ribut melulu, sebelas dua kayak bapaknya." Cecar Sandra tiada henti.
Revan melepaskan tawa sumbang, matanya berbinar bangga. "Mama, baru gitu aja udah ngeluh. Lihat deh istri Revan ini—ngurus lima anak tanpa baby sitter, hebat banget, kan?"
Sandra menatap Revan dengan mata menyipit, senyum sinis terpajang di bibirnya. “Makanya, Van, jangan sampai kamu bikin istrimu kecewa. Sakit hati apalagi kamu selingkuh,” sindirnya pelan, suaranya menusuk.
Sandra lebih mendekat, suara semakin tajam. “Kamu tahu nggak, kenapa Melati nggak mau pakai jasa baby sitter? Karena dia masih belum percaya sama kamu. Takutnya, kamu tergoda baby sitter, apalagi yang cantik dan seksi.”
Revan hanya terkekeh kecil, tatapannya penuh cinta saat memandang Melati, wanita berhijab cokelat susu yang duduk tepat disebelahnya.
“Ish, Mama. Istriku sudah secantik ini, masa selingkuh sama baby sitter? Yang bener aja, Ma!” jawabnya sambil menggenggam tangan Melati lembut, seakan memberi jaminan tak akan menyakiti hati wanita di sisinya.
Melati dan Aditya menatap jengah pada ibu dan anak yang tengah berdebat. Dengan gerakan halus, ia mencubit lengan Revan, menghentikan suaminya yang terus membantah setiap ucapan mamanya.
Aditya sendiri mengangkat tangan, mencoba meredam ketegangan. “Sudah, sudah, kalian ini kayak kucing sama tikus, berantem terus,” gumamnya jengah lalu menoleh ke Revan juga istrinya .
“Kamu juga, Van ngelawan melulu sama orang tua. Lagian apa salahnya mamamu ikut? Di sana mamamu bisa jagain anak-anak kalian, biar kalian bisa punya waktu berdua menikmati keindahan puncak.”
Sandra menyipitkan mata, bibirnya mencebik kesal. “Aku ke sana mau liburan, Pa, bukan buat momong. Ya udah, kamu ikut saja, jadi papa yang jagain anak-anak Revan.”
Aditya mengangkat bahu santai, bibirnya membentuk senyum kecil seolah tugas menjaga anak-anak Revan bukan beban berat baginya. Matanya yang tajam malah menyiratkan tantangan. "Nggak masalah, lah. Seminggu ini papa lah yang paling banyak jagain anak-anak kamu, sementara mamamu sibuk scroll medsos terus," ujarnya dengan nada ringan tapi menggelitik.
Revan menyeringai, menyimpan ejekan di balik kata-kata papanya. "Heeemmm... Tadi mama ngeluh capek jagain anak-anak, eh ternyata papa yang paling sibuk jagain mereka," katanya, menatap mamanya dengan sorot penuh sindiran. Sandra ikut bicara, nada suaranya canggung dan sedikit terbata. "Ya, tapi mama juga jagain mereka kok," ucapnya, wajahnya memerah malu seperti ingin membela diri tapi tak punya argumen kuat.
Aditya memotong percekcokan ibu dan anak itu sekali lagi. "Ya udah kita berangkat sekarang, ajak Sri buat bantu jagain anak-anak kamu Van."
"Nggak usah pa. Kalau mbak Sri diajak harus pulang dulu buat jemput dia."
"Terserah kamu aja deh."
Akhirnya Revan menyerah dan mengijinkan papa mamanya untuk ikut bersamanya liburan ke puncak.
Tiba-tiba keempat anak Revan berteriak kegirangan. "Hore!!! Kita jalan-jalan sama opa dan Oma juga."
Sedangkan Ayana yang berada di pangkuan Melati terlonjak sambil bertepuk tangan mengikuti kakak-kakaknya yang berteriak kegirangan.
***
Mobil hitam mewah yang dikemudikan Revan meluncur pelan meninggalkan gerbang rumah besar itu, membelah kemacetan ibukota dengan tenang namun pasti. Setelah melewati jalanan padat, Revan memasuki tol Jagorawi, suasana mulai berubah—hiruk-pikuk kota berganti dengan udara yang lebih segar dan pemandangan yang semakin hijau. Setir mobil digenggam erat, mata Revan sesekali menatap cermin spion, memastikan anak-anaknya di kursi belakang tetap nyaman.
Begitu memasuki kawasan Puncak, udara dingin langsung menyambut, menyusup ke dalam kabin mobil yang ber-AC, membuat Revan sedikit mengernyit menikmati sensasi berbeda dari keseharian mereka di kota. Hamparan kebun teh membentang luas di sisi jalan, daun-daunnya yang hijau berkilau diterpa sinar matahari, seakan menjadi permadani alami yang menenangkan jiwa.
Dari kursi belakang, terdengar tawa riang dan nyanyian anak-anak yang mengisi ruang hampa itu dengan kebahagiaan sederhana. Revan menoleh ke samping, menatap Melati senyum kecil tersungging di bibirnya. Kemudian menoleh pada papa dan mamanya yang tertidur pulas di jok tengah.
"Liat papa mama, katanya mau healing, refreshing, kalau mau tidur ngapain pake ikut segala sih."
Melati memaksakan senyumnya.
“Bahagia itu sederhana, ya sayang,” imbuh Revan dengan suara hangat, pandangannya menenangkan hati Melati.
Melati hanya mengangguk kaku, bibirnya tertutup rapat, matanya menatap lurus ke depan. Ada kegelisahan yang belum hilang, bayang-bayang keraguan yang menyelimuti hatinya—yaitu kebohongan yang selalu disembunyikan suaminya bukanlah hal mudah lagi baginya sekarang. Namun, suara anak-anak yang mengalun riang dan pemandangan hijau di luar jendela seolah memaksa Melati untuk terlihat bahagia seolah tidak terjadi apa-apa.
Mobil yang dikendalikan Revan pun berhenti disebuah Villa yang cukup besar dengan desain rumah klasik kolonial. Dengan taman dan pepohonan yang menaungi hingga terlihat asri dan estetik. Para penjaga villa pun keluar demi menyambut kedatangan tuan mereka.
"Nanti malam kita pesta barbeque dan bakar jagung ya, mama tadi udah bilang sama penjaga villa buat nyari jagung manisnya," ujar Sandra begitu turun dari mobil.
"Iya."
Sore harinya selepas senja Revan menuju garasi, entah apa yang dilakukannya, itu tak luput dari perhatian Melati. Diam-diam wanita itu mengikuti suaminya.
Di balik pilar ia melihat Revan mengeluarkan motor trail dari garasi.
"Mas Revan mau kemana?" Batin Melati.
Revan tersenyum, ia menyadari keberadaan istrinya yang terus mengawasi, pria itu pura-pura berjalan mendekat.
"Ikut mas yuk."
Melati tersentak, dan malu karena ketahuan mengintip. "Kemana?" Tanyanya bingung.
"Menikmati sunset di atas bukit, kamu mau kan?"
Terdengar romantis, bagai terhipnotis Melati mengangguk. "Naik motor ini?" Tanyanya.
Revan mengangguk. "Kenapa kamu takut?"
Melati memperhatikan motor trail itu cukup tinggi, motor itu memang di desain untuk medan yang sulit dan terjal.
"Nggak usah takut kamu bisa pegangan erat di pinggang suamimu ini. Ayo."
Revan mengulurkan tangannya membantu istrinya naik ke boncengan.
Motor pun meraung dan melesat menaiki bukit-bukit, Melati merangkul erat pinggang suaminya, sedangkan tangan kiri Revan kadang mengusap pelan jemari istrinya yang menempel posesif di perutnya.
"Kamu masih ingat nggak sayang, kita pernah telat masuk sekolah akhirnya kita bolos, dan jalan-jalan ke Dufan. Kamu ingat kan itu pertama kalinya aku boncengin kamu, rasanya waktu itu aku bahagia banget."
Ingatan Melati melayang ke puluhan tahun yang silam, dimana ia harus membohongi wali kelas dan kedua orang tuanya, demi bisa pergi dengan Revan.
Revan menekan rem, menghentikan motor tepat di puncak bukit yang menghadap ke langit jingga senja. Angin dingin menyapa lembut, menyelimuti mereka berdua. Revan meraih tubuh Melati dari belakang, merangkulnya erat dengan rasa ingin memiliki yang dalam. Bibirnya melayang pelan di tengkuk yang tersembunyi di balik hijab.
“Sayang, aku ingin selalu seperti ini. Tak ada yang bisa memisahkan kita, selain maut,” bisiknya lirih, suaranya mengalun lembut di telinga Melati.
Melati menutup matanya, membiarkan kehangatan pelukan suaminya meresap ke dalam jiwa. “Iya, Mas. Aku juga... ingin selamanya bersamamu.”
Senyum tipis merekah di wajahnya, menyatu dengan hening indah senja yang menyelimuti bukit.
Tiba-tiba sebuah notifikasi pesan masuk ke ponsel Revan. Melati tersentak.
"Mas bukannya kamu janji menonaktifkan ponselmu."
Revan tertawa kecil. "Mas lupa, ya udah mas matiin."
Saat ia mematikan ponselnya, Revan bisa melihat sebuah pesan dari Dewi, ada ikon video. Namun ia tak peduli dan mematikan ponselnya, ia memilih menghabiskan waktunya bersama sang istri tercinta.
revan pulsa jgn sembunyikan lg msalah ini terlalu besar urusannya jika km brbohong terus walau dg dalih g mau nyakitin melati ,justru ini mlh buat melati salah pham yg ahirnya bikin km rugi van
sebgai lelaki kok g punya pendirian heran deh sm tingkahnya kmu van, harusnya tu ngobrol baik" sm melati biar g da salah paham suka sekali trjd slh pham ya.