Orang bilang Abel yang jatuh cinta duluan dengan gombalan-gombalan itu, tapi Abi juga tahu kalau yang rela melakukan apa saja demi membuat Abel senang itu Laksa.
.
Berawal dari gombalan-gombalan asbun yang dilontarkan Abel, Laksa jadi sedikit tertarik kepadanya. Tapi anehnya, giliran dikejar balik kok Abel malah kabur-kaburan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nanadoongies, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 15
Mas-mas petugas pom bensin menyambut dengan senyum mengejek. Badannya dalam posisi setengah berkacak pinggang. Heran karena pasangan somplak itu kembali datang tak kurang dari 60 menit.
“Kebelet pipis lagi?”
“Hehe, kalau sekarang motornya minta minum, Bang.”
Begitu melihat sosok lain—re : Abi— yang tengah nyetep motor, mas-mas itu, Ari namanya, kontan geleng-geleng lagi.
“Mau-mauan aja dijadiin kambing congek.”
“Gue tim hore sekaligus anak mereka, Bang. Katanya, ‘kan, anak kudu ngikut ke mana orang tuanya pergi.”
“Ngaco.”
“Oh, lagi mode pdkt? Semangat, ya, Dek, yang dingin begini emang rawan bikin pilek. Syukur-syukur enggak meler aja hidungnya.”
“Tenang, Bang. Meskipun agak hatchim-hatchim dikit, kalau bentukannya kayak gini mah saya rela. Lumayan bisa memperbaiki keturunan.”
Ari ikut tertawa. “Isi penuh nih?”
“Iyeee.”
“Duitnya di dasboard, Bi.”
“Sisanya buat gue jajan, ya?”
“Enak aja. Jadian ama bapak lo aja belum kesampaian, masa udah mau malakin gue aja? Jangan jadi gold digger, Nak.”
“Sial dikatain gold digger.”
Selepas mengisi penuh kuda besi milik Abel, ketiganya kembali meneruskan perjalanan. Laksa yang kebagian nasib sial, terpaksa membonceng Abel sepanjang jalan. Andaikan tidak mengoceh sih Laksa tenang-tenang saja, tapi dengan adanya Abi di sana, mana sempat Abel tenang sebentar saja?
“Sekalian kami anterin sampai rumah aja lah, ya. Males kalau harus gonta-ganti motor,” ujar Abi.
“Ngikut aja.”
“Tegang amat, Bel?” Abi tertawa. “Perasaan kalau goncengan sama bapak-bapak atau mas-mas ojol jaraknya nggak sejauh itu deh. Sekarang lagi deg-degan karena digonceng sama Laksa, ya?”
“Sebenarnya gue juga pengen sambil peluk, Bi. Tapi takutnya temen lo yang paling malas kalau disuruh ngoceh ini malah salting setengah mampus sampai nggak bisa konsentrasi. Kan, nggak lucu kalau gue sama dia jadi jatuh cuma karena dipeluk doang.”
“Belum tentu. Kan, belum dicobain,” goda Abi lagi.
Abel geleng-geleng. Kedua tangannya masih berpegangan erat pada sisi jaket Laksa. Meskipun agak sedikit kurang nyaman, tapi Abel masih tahu batasan untuk tidak memeluk Laksa sesukanya.
“Mumpung lo ada di sini, gue mau tanya sesuatu.”
Laksa sudah panik sendiri, takutnya Abi akan menanyakan sesuatu seputar errrr peristiwa di UKS tadi.
“Kata temen gue yang sepupuan sama anak OSIS, kelas sepuluh bakal kemping dalam jarak dekat, ya? Kapan tuh kalau boleh tau?”
“Akhir pekan minggu depan.”
“Serius?”
“Serius. Orang Sabtu nanti gue mau survey sama anak-anak.” Tanpa sepengetahuan Abi, Abel masih berusaha mencari posisi nyaman. Pegal rasanya kalau harus bertahan lebih lama. Laksa yang menyadari itu kontan membawa tangan Abel untuk masuk ke kantong jaket tanpa mengatakan apa-apa.
“Eh?” Abel menelengkan kepala dengan wajah tengil. “Ceritanya ada yang diem-diem pengen dipeluk sama gue nih?”
“Jaket gue melar.”
“Ah, masa?”
Karena enggan diejek lebih lama, Laksa mengeluarkan tangan Abel lagi.
“Ya elah, pundungan amat.” Abel terkekeh semakin lepas. “Sini-sini gue peluk lagi biar jaketnya nggak melar. Sama jaket aja segitu sayangnya, apalagi kalau sama pacarnya coba? Seketika pengen trial jadi pacar biar tahu gimana rasanya disayang-sayang sama Megantara Laksa.”
“Modus!” teriak Abi dari samping. Lama-lama keasbunan Abel jadi menghibur juga.
“Loh, masa ada cowok blasteran Korea x Surga begini dianggurin doang sih? Menyia-nyiakan karunia Tuhan banget.”
“Btw, lo tuh ambil ekskul apa? Siswa sepu-sepu, ya?”
“Sepu-sepu apaan? Ikan?”
“ITU SAPU-SAPU!” Kali ini Abi terang-terangan mendengus. “Lama-lama gue hasut Laksa juga nih biar turunin lo di tengah jalan.”
“Ya, jangan dong! Masa udah PW begini malah diturunin?”
“Makanya jangan asbun dulu.”
“Gue beneran nggak tau apa itu sepu-sepu.” Abel tiba-tiba mendekatkan wajahnya lewat samping. “Lo tau sepu-sepu nggak, Lak?”
“Muka lo kedeketan.”
“Ohhh, bikin grogi, ya?"
“Nggak jelas.”
Abel terkekeh lagi tapi tak segera menarik kepalanya juga. Bisa bersandar di punggung Laksa ternyata jauh lebih nyaman daripada dugaannya. Apa Abel pura-pura tidur saja, ya?
“Sekolah pulang, sekolah pulang maksud gue alias nggak ambil ekskul apa-apa,” sambung Abi pada akhirnya.
“Gue ambil eksul musik. Malah bentar lagi mau bikin band tapi anggotanya cuma Laksa doang, soalnya nama bandnya Husband.”
“Sial! Udah serius juga.”
“Ahahah, gue beneran ikut ekskul musik kok. Tapi nggak ikut demo aja soalnya takut bikin Laksa kecintaan sebelum waktunya. Kan, kasihan kalau bawannya cuma mau nempel-nempel ke gue terus.”
“Amit-amit!”
“Kenapa? Suara gue, ‘kan, emang bagus. Cocok buat mengimbangi suara lo yang sleepcall-able itu. Kalau nggak percaya, coba aja. Pasti langsung ketagihan.”
“Ahaha, anjir. Demen banget gue sama perdebatan kalian.” Abi malah kegirangan, memang tidak setia kawan sekali padahal wajah Laksa sudah kecut seperti asam.
“Rumah lo di mana, Bel?”
“Nggak gue bawa soalnya bukan siput. Tapi kalau Laska tau, itu pasti rumah gue sama dia kelak.”
Abi sampai memukul-mukul motor saking gemasnya. Sudah author bilang, ‘kan? Abi itu bakalan lebih heboh kalau berhadapan dengan pasangan drama Turki ini ketimbang hal-hal menyenangkan lain. Agaknya penumpang kapal Laksabel garis keras.
“Lurus lagi ke depan sampai mentok, nanti belok kanan. Soalnya kalau belok kiri itu jalan ke KUA.”
“Mimpi apa gue bisa satu motor sama dia?” gerutu Laksa pada dirinya sendiri.
“Laksa?” bisik yang lebih tua. “Badan lo wangi banget, kalau gue makin senderan lagi boleh nggak?"
Abel hampir jatuh dari motor karena Laksa tiba-tiba ngerem mendadak. Oh, ada yang kelewat salting rupanya.