Mulia adalah seorang wanita sukses dalam karir bekerja di sebuah perusahaan swasta milik sahabatnya, Satria. Mulia diam-diam menaruh hati pada Satria namun sayang ia tak pernah berani mengungkapkan perasaannya. Tiba-tiba Mulia mengetahui bahwa ia sudah dijodohkan dengan Ikhsan, pria yang juga teman saat SMA-nya dulu. Kartika, ibu dari Ikhsan sudah membantu membiayai biaya pengobatan Dewi, ibu dari Mulia hingga Mulia merasa berutang budi dan setuju untuk menerima perjodohan ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jeritan Pilu
Pusaran dendam telah menelan Bu Hanim. Rumah tangganya hancur, citranya tercoreng, dan peluru yang ia lepaskan malah melukai Ikhsan, calon suami Mulia. Di mata Bu Hanim, satu-satunya cara untuk mengakhiri penderitaannya adalah dengan menghapus sumber dari segala masalah: Mulia Anggraeni. Namun, karena Mulia terlalu terlindungi, Bu Hanim memilih untuk menyerang titik terlemahnya.
Sore itu, Rumah Sakit Medika Sejahtera mulai diselimuti senja. Koridor yang biasanya ramai kini sepi, hanya ada beberapa perawat yang hilir mudik. Sebuah sosok berpakaian suster lengkap, dengan masker medis menutupi hampir seluruh wajahnya dan topi putih menenggelamkan rambutnya, berjalan dengan langkah cepat namun penuh kehati-hatian. Itu Bu Hanim. Ia berhasil masuk tanpa dicurigai. Jantungnya berdebar, bukan karena takut, melainkan karena adrenalin dan kegilaan yang memuncak.
Ia tahu, Dewi, ibu Mulia, dirawat di kamar VIP. Bu Hanim sudah memantau selama satu jam dari toilet dekat sana. Ia melihat Mulia keluar, mungkin membeli makanan atau kebutuhan lain. Ini adalah kesempatannya. Kesempatan emas untuk membalaskan dendamnya.
Bu Hanim membuka pintu kamar Dewi pelan-pelan. Dewi terbaring lemah di ranjang, matanya terpejam, mungkin sedang tertidur. Ruangan itu hening, hanya ada suara mesin monitor jantung yang berdetak pelan. Bu Hanim mengunci pintu dari dalam, memastikan tidak ada yang bisa masuk.
Ia mendekati ranjang Dewi. Rasa kasihan sudah lama hilang dari hatinya, berganti dengan kebencian murni. Ia menatap wajah Dewi yang pucat, wajah yang mirip dengan Mulia.
"Kamu punya anak yang membuat hidupku hancur," bisik Bu Hanim, suaranya serak dan gemetar. "Sekarang, kamu harus membayar kesalahannya."
Ia meraih bantal yang ada di samping kepala Dewi. Bantal putih empuk itu terasa ringan, tetapi di tangan Bu Hanim, ia menjadi senjata paling mematikan.
"Maafkan aku, Mulia," bisik Dewi lirih, dalam tidurnya, seolah merasakan bahaya.
****
Bu Hanim tak peduli. Ia menggerakkan tangannya cepat. Bantal itu menutupi seluruh wajah Dewi.
Dewi terkejut. Matanya langsung terbuka. Ia mencoba berteriak, tapi bantal itu meredam suaranya. Ia merasakan tekanan yang mencekik. Ia mencoba melawan, tangannya yang lemah meronta, mencoba meraih tangan Bu Hanim, tapi kekuatannya tidak sebanding.
"Mhhhp! Mmhph!" Dewi meronta hebat. Monitor jantung di sampingnya mulai berbunyi nyaring, menunjukkan detak jantungnya yang melonjak drastis.
Bu Hanim menekannya lebih kuat. Otot-otot di lengannya menegang. Ia merasakan kepuasan yang brutal. "Ini untuk suamiku! Ini untuk Satria! Ini untuk kehancuranku!" Bu Hanim memejamkan mata, membiarkan amarahnya menguasai.
Dewi masih melawan, tubuhnya melengkung, namun perlahan, tenaganya menghilang. Matanya mulai kehilangan fokus. Ia hanya bisa melihat siluet Bu Hanim, yang kini tampak seperti monster. Di detik-detik terakhir, Dewi hanya memikirkan Mulia, putrinya yang malang. Ia tidak ingin Mulia sendiri.
Bunyi alarm monitor jantung semakin nyaring, menusuk keheningan ruangan.
****
Mulia baru saja tiba di depan pintu ruang inap ibunya. Ia mendengar suara alarm yang melengking dari dalam. Jantungnya mencelos. Ia segera mencoba membuka pintu, tapi terkunci.
"Ibu! Ibu!" Mulia menggedor-gedor pintu dengan panik. "Buka pintunya! Ada apa di dalam?!"
Di dalam, Bu Hanim terkejut mendengar suara Mulia. Ia melihat monitor jantung. Garisnya sudah hampir lurus. Ia melepaskan bantal itu, lalu segera berlari ke arah jendela. Ia tahu, ia harus segera keluar.
Mulia terus menggedor-gedor pintu dengan histeris. Ia tahu ada yang tidak beres. Ia berteriak memanggil perawat. "Tolong! Ada apa dengan ibu saya?! Tolong buka pintunya!"
Beberapa perawat berdatangan. Mereka melihat Mulia yang panik dan alarm yang berbunyi nyaring dari dalam. Salah satu perawat mengambil kunci duplikat dan membuka pintu.
Mulia langsung menerobos masuk. Ia melihat ibunya terbaring di ranjang, wajahnya pucat pasi, dan napasnya terhenti. Bantal yang tadi digunakan Bu Hanim tergeletak di lantai. Monitor jantung menunjukkan garis lurus yang memilukan.
"Ibu! Ibu!" Mulia histeris. Ia mengguncang tubuh ibunya, mencoba membangunkan Dewi. "Bangun, Bu! Jangan tinggalkan aku!"
Perawat langsung bergerak cepat, melakukan tindakan resusitasi. Mulia hanya bisa berdiri di samping ranjang, menangis, melihat para perawat mencoba menyelamatkan satu-satunya keluarga yang ia miliki. Ia tidak menyadari, di balik jendela, Bu Hanim melompat keluar, berlari ke area parkir, meninggalkan kekacauan dan kesedihan yang tak terperikan.
Detik-detik berlalu, terasa seperti jam. Kemudian, dokter menghela napas, menggelengkan kepala. "Kami sudah berusaha. Maafkan kami."
Mulia Anggraeni menjerit. Jeritan yang memilukan, jeritan yang menusuk hati. Ia jatuh berlutut di lantai, merasakan dunianya hancur berkeping-keping. Ia tahu, ia telah kehilangan segalanya. Dan ia tahu, Bu Hanim adalah pelakunya. Dendam kini telah berubah menjadi kehilangan yang tak tergantikan.
****
Tangisan pilu Mulia Anggraeni menyayat udara yang dingin di pemakaman. Tanah merah galian kubur terasa begitu nyata, menjadi penanda batas antara dunia yang ia kenal dan kehampaan yang baru saja merenggut ibunya. Di sampingnya, Kartika memeluknya erat, air mata ikut membasahi bahu Mulia.
"Ibu! Jangan tinggalkan aku! Ibu!" Mulia meraung, suaranya parau karena ratapan yang tak henti sejak semalam.
Saat jenazah Dewi perlahan dimasukkan ke liang lahat, Mulia merasakan dunianya benar-benar runtuh. Ia mencoba menerobos, ingin ikut masuk, ingin memeluk ibunya untuk yang terakhir kalinya. Beberapa kerabat harus memegangi tubuhnya yang berontak.
"Lepaskan aku! Ibu sendirian! Aku harus ikut Ibu!" Mulia menjerit.
Tubuhnya limbung. Emosi dan kelelahan yang memuncak membuatnya tidak mampu bertahan. Pandangannya menggelap, dan ia ambruk tak sadarkan diri.
"Mulia! Mulia!" Kartika berteriak panik.
****
Beberapa orang segera membopong Mulia menjauh dari tepi kuburan. Ini adalah kali ketiga Mulia pingsan sejak fajar menyingsing. Setiap kali ia membuka mata, ia harus menghadapi kenyataan pahit bahwa ia benar-benar sendirian di dunia ini.
Tiba-tiba, kerumunan sedikit terbelah. Semua mata tertuju pada seorang pria yang berjalan tertatih-tatih. Bahu kirinya terbalut perban tebal, wajahnya tampak pucat menahan sakit. Itu adalah Ikhsan. Ia seharusnya masih terbaring lemah di ruang rawat intensif, tapi tekadnya untuk mendampingi Mulia jauh lebih kuat daripada perintah dokter.
Ikhsan berjalan pelan mendekati Mulia yang baru saja sadar dan kini disandarkan di bahu Kartika. Ia berlutut di depan Mulia.
"Mulia," panggil Ikhsan, suaranya lemah namun penuh kehangatan.
Mulia menatap Ikhsan. Ia melihat Ikhsan yang seharusnya menjadi korban berikutnya, kini berada di sini, mempertaruhkan kesehatannya demi dirinya. Air matanya kembali mengalir, bercampur rasa bersalah.
"Ikhsan? Kenapa kamu di sini? Kamu harusnya istirahat," bisik Mulia.
"Aku tidak bisa meninggalkanmu sendirian, Lia," jawab Ikhsan. Ia mengulurkan tangannya, menyentuh wajah Mulia yang dingin. "Aku tahu ini berat. Tapi kamu harus kuat."
"Aku... aku tidak percaya, Ikhsan," kata Mulia, matanya menatap gundukan tanah yang kini menutupi ibunya. "Semua ini tidak nyata. Ibu tidak mungkin meninggalkanku."
"Dia sudah di tempat yang lebih baik, Nak," Kartika menimpali, mengusap punggung Mulia. "Dia tidak akan merasakan sakit lagi."
Mulia menggeleng. "Tidak! Dia pergi karena mereka! Mereka yang membunuhnya! Bu Hanim yang membunuhnya!"