Karma? Apa benar itu yang terjadi padaku? Disaat aku benar-benar tidak berdaya seperti ini.
Bagaimana mungkin aku meghadapi sebuah pernikahan tanpa cinta? Pernikahan yang tidak pernah ku impikan. Tapi sekali lagi aku tak berdaya. Tidak mampu menentang takdir yang ditentukan oleh keluarga. Pria yang akan menikahiku...aku tidak tahu siapa dia? Seperti apa sifatnya? Bagaimana karakternya? Aku hanya bisa pasrah atas apa yang terjadi dalam hidupku.
Aku sebenarnya masih menunggu seseorang dari masa laluku. Seorang pria yang sangat ku cintai sekaligus pria yang telah ku lukai hatinya. Nando Saputra, mantan kekasihku yang telah memutuskan pergi dariku setelah aku dengan tega mengusirnya begitu saja.
Sekarang rasa menyesal kembali menghatuiku saat ku tahu sebuah fakta yang lebih mengerikan...dia Nando, pria yang selama ini ku rindukan adalah adik dari pria yang menikahiku. Rasanya aku ingin bunuh diri saat ini juga....!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amy Zahru, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15. Cahaya Panggung
Aula besar dipenuhi lampu sorot, suara mikrofon bergema, dan deru langkah mahasiswa yang mondar-mandir membawa properti. Malam itu, gladi resik terakhir pentas seni berlangsung.
Aku berdiri di antara deretan kursi kosong, memperhatikan dari jauh. Rasanya seperti déjà vu—dulu, aku pernah berdiri seperti ini juga, menyaksikan Nando bernyanyi untukku.
Sekarang… aku hanya bisa menatapnya dari balik bayangan.
---
Band Nando naik ke panggung. Rafa sudah menenteng gitar, Ale sibuk memutar stik di jarinya, Kenzi mengatur keyboard, Egi menepuk-nepuk bas. Lalu, Nando maju ke depan mikrofon.
“Cek, satu, dua.” Suaranya bergema.
Hanya sebuah uji suara, tapi jantungku berdegup kencang.
Lalu musik dimulai. Nada-nada mengalir, menyatu dengan suara Nando yang jernih namun penuh luka. Aku terpesona, mataku tak beranjak sedetik pun.
Di antara cahaya lampu panggung, dia tampak begitu berbeda. Aura seorang vokalis, seorang pria yang memikat semua mata.
Aku merasa seolah seluruh dunia berhenti… kecuali dia.
---
“Nando keren bangat, ya?” suara Bella tiba-tiba terdengar di sampingku.
Aku hampir tersentak. Dia berdiri dengan clipboard di tangan, matanya juga tertuju pada panggung—tepat ke arah Nando.
Senyumnya tulus, bangga, hangat.
Senyum yang seharusnya menjadi milikku.
“Ya…” jawabku pelan, menahan diri. “Dia memang… punya suara yang khas.”
Bella mengangguk, lalu berkata lirih seakan berbicara pada dirinya sendiri, “Aku senang bisa dekat dengannya di sini.”
Kata-kata itu seperti belati menusuk dadaku. Aku tersenyum tipis, tapi di dalam, aku terbakar.
---
Latihan berlanjut. Saat jeda, Nando turun panggung. Peluh menetes dari pelipisnya, napasnya terengah. Aku segera bergerak, menyodorkan sapu tangan.
“Nando, ini…”
Dia menoleh, agak terkejut, tapi menerima dengan sopan.
“Terima kasih, Kak.”
Bella datang beberapa detik kemudian, menyerahkan botol air dingin.
“Minum dulu, biar segar lagi.”
“Oh, makasih, Bel.”
Aku berdiri di antara mereka. Hening sesaat, lalu Nando meneguk air dari Bella.
Aku merasa seperti orang asing di tengah kenangan yang seharusnya jadi milikku.
---
Gladi resik selesai lewat tengah malam. Mahasiswa mulai bubar, alat-alat dibereskan, aula berangsur sepi.
Aku menunggu di luar bersama Nando. Angin malam menyapu rambutku, dingin menusuk kulit, tapi hatiku jauh lebih gelisah dari udara malam.
“Nando…” panggilku lirih.
Dia menoleh. “Ya, Kak?”
“Apa kamu… merasa deja vu, waktu nyanyi di atas panggung?”
Keningnya berkerut. “Deja vu?”
“Iya. Seperti… kamu pernah lakukan itu, di tempat lain, dengan seseorang yang… penting.”
Dia terdiam. Matanya kosong, lalu memijit pelipisnya.
“Aku… memang merasa aneh tadi. Seperti… ada yang hilang, tapi juga dekat. Tapi aku nggak tahu apa.”
Aku menahan napas, tubuhku bergetar. Itu aku, Nando. Aku yang pernah kau nyanyikan lagu-lagu itu dulu. Aku yang kau cintai.
Aku ingin mengatakan semuanya, tapi langkah kaki Bella mendekat memotong.
“Nando! Kamu lupa jaketmu di dalam.” Bella menyerahkan jaket dengan senyum ringan.
Nando menerima.
“Oh iya, makasih, Bel.”
Aku menggenggam erat tanganku sendiri. Rasa cemburu merayap seperti racun.
---
Malam itu, saat kembali ke rumah, aku tak bisa tidur. Bayangan Nando bernyanyi di atas panggung terus menghantui. Begitu pula senyum Bella di sampingnya.
Aku tahu, jika aku tak melakukan sesuatu, Bella akan mengambil Nando dariku.
Dan aku tak akan membiarkannya.
Aku menatap langit-langit kamar, mata panas oleh air mata.
“Cepatlah ingat aku, Nando… sebelum semuanya terlambat.”