Dijebak oleh sahabat dan atasannya sendiri, Adelia harus rela kehilangan mahkotanya dan terpaksa menerima dinikahi oleh seorang pria pengganti saat ia hamil. Hidup yang ia pikir akan suram dengan masa depan kacau, nyatanya berubah. Sepakat untuk membalas pengkhianatan yang dia terima. Ternyata sang suami adalah ….
===========
“Menikah denganku, kuberikan dunia dan bungkam orang yang sudah merendahkan kita."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dtyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13 ~ Abimanyu Vs Zahir
Bab 13
Sudah hampir satu bulan berlalu, setelah pengangkatannya menjadi karyawan tetap. Jobdesk yang dikerjakan Adel tentu saja semakin bertambah, bahkan seminggu lalu ia harus lembur. Kurang istirahat menyebabkannya tidak sehat.
“Mon, draft yang kemarin mana. Mau aku fixkan, hari ini mau diserahkan. Ada rapat ketua tim siang ini.”
Tidak ada sahutan, Adel menoleh lalu menarik nafas. Rupanya Mona menggunakan headset dan menggoyangkan kepala, entah musik apa yang dia dengarkan.
“Mon.” Adel menyentuh bahu wanita itu.
“Ck, apa sih.” Dengan cemberut sambil melepas headset.
“Draft yang kemarin mana. Mau difinalkan. Sudah ditunggu ketua tim.”
“Ih, repot.”
Mona mencari di tumpukan map di atas mejanya lalu menyerahkan pada Adel.
“Nih. Padahal tinggal cari di situ.”
Belum juga menjawab, sudah ada Desi menghampiri.
“Heh, punya hp itu bukan buat aksesoris. Gue telpon nggak dijawab.”
“Hah, iyakah.” Mona mencari ponselnya yang ternyata dalam mode silent.
“Dipanggil Pak Zahir. Jangan kelamaan, nanti dipikir gue nggak sampaikan pesan,” tutur Desi sambil menunjuk wajah Mona.
Setelah Desi pergi dan Mona sudah berdiri, Adel menahannya.
“Mon, tolong sampaikan ke Pak Zahir kapan bicara denganku. Aku nggak enak ganggu dia, tapi sudah hampir satu bulan dan aku takut ….”
Adel gegas menggeleng pelan. Mengenyahkan apa yang terlintas di kepalanya. Bukan anak abege yang tidak tahu mengerti efek yang diakibatkan setelah berhubungan badan. Apalagi saat itu Zahir pernah menanyakan apakah ia dalam masa subur atau tidak dan mengaku melakukannya tanpa pengaman. Masalahnya Adel belum mendapatkan periode bulanannya, berharap bukan tanda kehamilan.
“Iya,” sahut Mona. “Nanti aku sampaikan. Slow aja. Lagian ya Del, nggak usah mengharapkan Zahir. Kita realistis aja, kamu sama dia itu bagai bumi dan langit.”
“Tapi, dia bilang mau tanggung jawab Mon.”
“Namanya juga laki-laki, mulutnya nggak bisa dipercaya,” tutur Mona lalu mendekat. “Harusnya kamu pegang ekor dia, ekor yang ada di depan bukan mulutnya. Di jamin, laki-laki pasti nurut.”
Mona tergelak lalu meninggalkan Adel yang mengusap dada dengan ucapan Mona lalu kembali duduk dan memikirkan sesuatu.
‘Bagaimana kalau aku benar hamil,’ batin Adel. ‘Aku harus pastikan dulu lalu temui Pak Zahir.’
“Iya, aku harus pastikan dulu.”
Mona melewati meja Neli menuju ruang kerja Zahir. Hanya tersenyum, tanpa sapa. Sepertinya Neli sudah tahu kalau atasannya memang menunggu wanita itu.
“Selamat siang pak zahir,” sapa Mona sambil menutup pintu.
Zahir hanya berdehem dan menunjuk kursi di depannya dengan dagu, terlihat serius dengan layar komputernya. Mona duduk dengan menyilang kaki menunggu pria itu bicara.
Suara klik dari mouse dan ketukan keyboard, sampai akhirnya Zahir menggeser keyboard dan mengalihkan pandangannya.
“Saat ini aku sangat sibuk,” ucap Zahir membuka suara. “Urusan divisi juga ada hal lain yang sedang aku kerjakan. Bantu aku agar teman kamu itu tidak merusak konsentrasi.”
“Maksudnya Adel?”
Zahir kembali berdeham. “Beberapa kali dia mengirim pesan, cukup mengganggu.”
“Bapak janjikan dia tanggung jawab,” seru Mona dan Zahir berdecak sambil mengendurkan ikatan dasinya.
“Jauhi dia dariku dan pengaruhi agar tidak berekspektasi terlalu tinggi menikah denganku. Imbalannya aku angkat kamu menjadi ketua tim.”
“Hah, serius pak?” tanya Mona dengan wajah yang juga serius.
“Menurutmu?”
“Oke, deal.”
Dengan wajah ceria dan tidak menduga kalau ia akan naik level kerja dengan cepat, mengulurkan tangan untuk menyetujui kesepakatan dengan atasannya. Rupanya usaha selama ini tidak sia-sia, meski ia harus merendahkan diri memenuhi keinginan Zahir menuntaskan hasr*tnya. Yang jelas karirnya bisa dibilang melesat.
Setelah menjadi ketua tim, ia berharap bisa mendapatkan posisi lain yang lebih menarik meski bukan di divisi marketing. Apapun yang diminta Zahir ia harus lakukan demi memudahkan rencananya.
“Ada hal lain yang harus kamu lakukan.” Zahir membuka laci meja dan mengeluarkan amplop coklat dengan tulisan berukir tinta emas dan hiasan pita . Meletakan di hadapan Mona. “Pastikan ini diterima Adel. Kapan harus kamu berikan, tunggu kabar dariku.”
“Ini ….”
“Iya,” sela Zahir. “Kabar resminya akan rilis besok,” jelas Zahir.
***
Tangan Adel menggenggam plastik berisi tespek di saku blazernya. Jam makan siang, ia sempatkan keluar bukan hanya untuk membeli makan, tapi juga menuju minimarket. Akhir-akhir ini Adel merasa tidak sehat dan tidak biasanya ia tidak suka dengan aroma parfum. Rasanya pusing dan mual. Ditambah jadwal bulanannya belum datang juga, entah sudah berapa hari terlambat. Harus memastikan kondisinya.
Menu makan siang yang dibeli pun hanya sanggup dimakan beberapa suap. Selain tidak selera karena rasa mual yang masih mendera. Sebelum ke toilet ia ingin mengambil air hangat untuk meredakan gejolak di perutnya. Berbelok menuju pantry dan ….
Bugh.
“Wow, kalem Mbak Adel,” seru Abi lalu berjongkok mengambil plastik yang terjatuh.
Kemasan dalam plastik menyembul dan terlihat oleh Abi yang langsung mengernyitkan dahi.
“Ini ….” Belum selesai ucapanya, Adel merebut plastik yang sudah berada di tangan Abi lalu meninggalkan pantry menuju toilet.
Dahi Abi mengernyi mendapati apa yang dibawa Adel. Meski belum terlihat seluruh kemasan, tapi ia yakin kalau plastik tersebut berisi tespek. Ingin mengejar Adel, tapi ponselnya bergetar. Panggilan dari atasannya.
“Iya, pak.”
“Abi kamu moving ke lantai dua belas ya. Untuk sementara bertugas di sana dulu menggantikan OB yang cuti.”
Rasanya ingin mengump4t mendapat tugas di lantai itu. Lantai di mana para direksi berada, begitu pun ruang kerja presdir yang tidak lain adalah papanya. Berniat mencari tahu kenapa namanya yang menjadi kandidat untuk berpindah ke lantai tersebut, mungkin saja ulah Kemal.
“Abi, kamu dengar saya?”
“Dengar pak.”
“Oke, segera ya. Sekarang juga ke sana. Urusan di tempatmu biar diisi yang masih training.”
Baru saja panggilan berakhir dan masih kesal membayangkan harus bertemu dengan Indra Daswira, ponselnya kembali bergetar.
“Iya, mbak.” Abi menjawab panggilan dari Neli.
“Mas Abi, buatkan kopi untuk Pak Zahir dan bawa ke ruang rapat ya.”
“Oke.”
Memang ada schedule rapat ketua tim, bahkan Abi sudah mempersiapkan ruangannya berikut dengan minum dan snack. Masih harus membuat kopi sebelum naik ke lantai dua belas.
Membawa nampan dengan cangkir di atasnya masih mengepulkan asap, Abi mengetuk pintu ruang rapat menuju kursi di mana Zahir berada. Rapat rupanya sudah dimulai, tampak salah satu peserta rapat sedang bicara menjelaskan sesuatu. Melewati kursi di mana Mona duduk tepat di ujung kiri sebelah Zahir.
Memang si4l tidak ada dalam kalender dan hari ini merupakan hari si4l bagi Zahir. Ia tersandung dan nampan yang dia bawa bergoyang membuat cangkir tergelincir dan mendarat di dad4 Zahir. Isinya tumpah ke jas dan kemeja pria itu yang langsung berdiri panik karena rasa panas.
Abi menoleh pada Mona yang mengedikan bahu, ia yakin kalau kaki Mona sengaja menjegal. Tidak mungkin tersandung kaki kursi atau benda lain.
“Dasar tol0l, kerja yang bener!” teriak Zahir membuat seisi ruangan mendadak membisu.
Zahir menunjukan wajah bengis dan baru saja menghardik dengan kata kasar, selama ini selalu menjaga citranya. Yang melihat adegan tersebut bisa memastikan kalau Abi tidak sengaja.
Masih dengan nafas terengah karena kesal sedangkan Neli sibuk menyeka dengan tisu. Zahir menatap tajam Abi yang terpaku dengan raut wajah datar. Tidak merasa bersalah apalagi takut.
“Kenapa diam saja?” tanya Zahir masih dengan nada tinggi.
“Harusnya kamu minta maaf,” cetus Mona.
“Saya tersandung entah kaki siapa, mungkin kaki setan,” jawab Abi.
“Kamu ….” Zahir menunjuk Abi.
“Pak, kita bersihkan dulu atau lanjut?” tanya Neli dan memberi tanda dengan lirikan matanya agar Abi meninggalkan ruangan.
Abi sempat melirik Mona sebelum ia meninggalkan ruangan.
“Maaf Pak Zahir, ruangan ini ada CCTV. Silahkan di cek kalau tidak percaya. Saya tidak sengaja dan saya maafkan ucapan bapak bilang saya tol0l. Permisi!”
Abi meninggalkan ruangan dan sebagian peserta rapat tersenyum bahkan ada yang terkekeh pelan.
“Tertawa apa kalian?” Zahir kembali memaki menatap kesal pada peserta rapat.
siap siap aja kalian berdua di tendang dari kantor ini...
hebat kamu Mona, totally teman lucknut
gak punya harga diri dan kehormatan kamu di depan anak mu
kalo perlu zahir nya ngk punya apa " dan tinggal di kontrakan biar kapok
sedia payung sebelum hujan