"Biar saya yang menikahi Dira, Om."
"Apa? Gak bisa! Aku gak mau!"
***
Niat hati menerima dan bertunangan dengan Adnan adalah untuk membuat hati sang mantan panas, Indira malah mengalami nasib nahas. Menjelang pernikahan yang tinggal menghitung hari, Adnan malah kedapatan berselingkuh dengan sahabatnya sendiri. Di saat yang bersamaan Rada—mantan kekasihnya, datang menawarkan diri untuk menjadi pengganti Adnan. Indira jelas menolak keras karena masih memiliki dendam, tetapi kedua orang tuanya malah mendukung sang mantan.
Apa yang harus Indira lakukan? Lantas, apa yang akan terjadi jika ia dan Rada benar-benar menjadi pasangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Deshika Widya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Awal Mula
"Kamu mau gak jadi pacarku, Nan?"
Seorang gadis yang baru saja selesai mengikuti acara perpisahan SMA, berkata mantap pada seorang pemuda di depannya. Tak ada lagi rasa malu meski kini ia tengah ditatap banyak mata yang merupakan teman-teman satu angkatan.
Dia Indira Ayudhia. Ia sengaja menurunkan ego hingga ke dasar agar bisa menyatakan hal itu pada Adnan di depan semua orang, termasuk Rada Atmaja yang beberapa hari lalu dengan tega memutuskannya.
Indira tahu ini gila. Namun, semua ia lakukan agar Rada cemburu dan sadar jika perpisahan mereka bukanlah akhir dari segalanya. Indira masih bisa bangkit, bahkan langsung menempatkan orang baru di hatinya.
"Wah, berani banget kamu, Dir!"
"Gimana ini, Rad? Masa baru putus udah cari cowok baru aja dia?"
"Ikut cari cewek baru juga gak, sih, Rad?"
Mereka mulai heboh mengutarakan asumsi masing-masing. Sementara Indira masih menatap Adnan sembari mengharap jawaban dari pemuda itu. Hingga setelah beberapa lama berselang, ia berhasil mendapat jawaban yang diinginkan.
"Iya, aku mau. Aku udah suka sama kamu dari lama, Dir. Cuma ... waktu itu kamu pacaran sama si Rada."
Apa yang Adnan ucapkan adalah fakta. Sejak pertama masuk SMA, ia memang sudah menaruh perasaan pada Indira. Hanya saja, ia kurang cepat menyatakan isi hatinya hingga tersalip oleh Rada.
"Tenang aja, sekarang aku udah gak cinta sama dia," kata Indira mantap sembari mengukir senyum indah. "Jadi, sekarang kita jadian?"
Adnan mengangguk. Ia genggam tangan Indira sembari melirik Rada yang berdiri di antara banyaknya orang. Dengan jelas ia lihat pemuda itu mengepalkan tangan, lalu pergi dengan langkah lebar.
Mulai saat itu Adnan merasa menang. Hari-hari yang dilaluinya terasa indah karena selalu dihiasi senyum Indira. Apalagi mereka memang kuliah di kampus yang sama, hanya beda jurusan saja.
Tahun-tahun berlalu, tugas menimba ilmu di kampus pun selesai. Mereka mulai mengejar karir masing-masing. Meski begitu, masih tetap menjaga komunikasi dan komitmen untuk saling mengerti.
Hingga suatu malam Adnan tak sengaja bertemu Dita yang merupakan sahabat Indira juga teman satu kelasnya sejak SMA. Dari sanalah keyakinan Adnan mulai goyah. Terlebih, ternyata ia dan Dita harus sering bertemu untuk masalah perkejaan.
"Dira itu terlalu sibuk sampe lupa sama pacarnya. Harusnya dia masih bisa perhatian."
"Katanya di kantor itu kalau yang junior pasti dijadiin percobaan sama senior. Coba aja, deh, kamu cek Dira. Pasti dia udah pernah begituan sama seniornya."
"Menurutku dia ngilang bukan karena sibuk, tapi ... karena emang lagi deket sama cowok sekantornya."
Itulah kata-kata Dita yang entah kenapa selalu menempel di kepala Adnan. Sampai suatu malam saat selesai meeting di sebuah hotel, ia malah tergoda bujuk rayu wanita itu dan pada akhirnya melakukan sesuatu yang tak seharusnya.
Dari sana, Adnan mulai ketagihan. Meski begitu, ia sama sekali tak menjanjikan apa-apa pada Dita selain uang. Ya, karena cinta di hatinya tetap untuk Indira. Hanya wanita itu yang akan ia jadikan istri nantinya. Namun, takdir berkata lain. Kebusukannya malah terbongkar tepat satu minggu sebelum pernikahan ia dan Indira dilangsungkan.
Adnan tersenyum miris mengingat semua itu. Ia sangat kecewa pada dirinya sendiri. Namun, kini tak ada yang bisa dilakukan lagi. Indira sudah bahagia, bahkan terlihat pancaran cinta ketika matanya menatap Rada. Atau justru ... sejak dulu wanita itu tidak pernah benar-benar mencintainya?
Tatapan Adnan terus tertuju pada Indira dan Rada yang kini telah selesai makan. Bahkan ia sampai tak sadar jika Dita memerhatikannya selama itu juga.
Wanita itu sudah mengepalkan tangannya kuat. Rasa benci dan iri di hatinya makin besar pada Indira. 'Awas aja kamu, Dira! Kamu gak boleh bahagia!' batinnya geram.
Sementara itu, Rada makin sengaja memperlihatkan kemesraanya dengan sang istri tercinta. Bahkan kini ia menggandeng mesra tangan wanita itu untuk keluar dari warung tenda.
"Kami duluan," katanya saat melewati Dita dan Adnan.
"Tunggu di mobil aja, Sayang. Aku bayar makanannya dulu," titahnya pada sang istri.
Indira menurut. Ia menerima kunci mobil dari sang suami dan gegas duduk di samping kemudi. Sembari menunggu Rada datang, matanya menatap tajam pada punggung Dita dan Adnan.
"Ini belum seberapa. Aku pasti bakal buat kalian lebih panas lagi, Adnan, Dita."
***
Selesai makan malam sembari menikmati drama dadakan untuk membuat Adnan dan Dita kebakaran, ternyata Rada tak langsung mengajak Indira pulang. Kini pria itu malah membawa sang istri tercinta ke sebuah taman yang penuh kerlip lampu warna-warni. Banyak anak-anak juga orang dewasa yang tengah berkumpul di sana. Termasuk para pedagang yang mangkal di pinggir jalan.
"Kita mau makan lagi?" tanya Indira heran, sebab Rada menghentikan laju mobilnya di tempat seperti itu.
"Enggak. Ada yang mau aku lakuin. Ayo, turun!"
Kening Indira mengkerut sesaat. Namun, ia tetap ikut turun dan mengikuti langkah Rada yang menuju seorang pedagang martabak.
"Katanya gak mau makan lagi," gumam Indira pelan yang hanya terdengar oleh dirinya sendiri.
"Kayak biasa ya, Pak," ujar Rada.
Sekali lagi kening Indira mengkerut. Kenapa Rada tampak sudah terbiasa membeli martabak di pedagang itu? Akan tetapi, rasa penasaran itu hanya ia pendam karena malas bertanya.
Indira hanya duduk di samping Rada, di atas kursi plastik yang disediakan setiap pedagang di sana. Bosan sekali rasanya karena ia menunggu cukup lama. Hingga setelah pesanan selesai dan diserahkan pada sang suami, matanya seketika membola.
"Rada, kamu mau ngapain beli makanan sebanyak itu?" tanyanya dengan ekspresi terkejut.
Bayangkan saja, kini di depannya terdapat plastik super besar yang berisi puluhan porsi martabak. Untuk apa, coba?
"Shuutt ...." Rada meminta sang istri untuk memelankan suara. "Aku udah biasa beli di sini, Sayang."
"Ya tapi buat apa? Gimana cara makanya?"
Rada tak menjawab. Ia segera menarik lembut tangan Indira untuk masuk ke dalam mobil setelah membayar pesanannya. Kemudian, kembali membawa roda empat itu melaju membelah jalanan malam.
"Kamu belum jawab pertanyaanku, Rad!"
"Sabar ...."
Rada hanya merespon santai. Sesaat kemudian, ia menghentikan laju mobilnya di pinggir jalan.
"Tolong buka kaca mobilnya, Sayang," suruhnya.
"Kaca ini?" Indira menunjuk jendela mobil di sampingnya.
"Iya."
"Buat apa?"
"Buka aja dulu," jawab Rada santai. Tangannya tengah berusaha memindahkan plastik martabak ke pangkuan.
Indira masih bingung. Meski begitu, ia tetap membuka kaca jendela mobilnya sesuai perintah Rada. Namun, apa yang terjadi selanjutnya sungguh membuat ia membeku seketika.
Banyak anak-anak, remaja, hingga orang dewasa berpakaian lusuh yang mendekati kaca jendelanya sembari mengulurkan tangan.
"Tolong kasih martabak ini sama mereka, Sayang. Tiap orang 1 kotak," pinta Rada.
Indira masih membeku. Namun, ia segera tersadar saat sang suami menyenggol pelan lengannya. Perlahan ia mengambil satu per satu kotak martabak dari dalam plastik dan menyerahkan pada mereka.
"Makasih, Kakak Cantik. Kakak Cantik ini pasti pacarnya Kakak Ganteng, ya? Biasanya Kakak Ganteng kalau ke sini suka sendirian. Aku seneng sekarang Kakak Ganteng ada temennya."
Tunggu! Jadi, selama ini Rada sudah terbiasa berbagi pada mereka?
"Bukan pacar, ini istri Kakak," jelas Rada yang membuat Indira seketika menoleh padanya.
Wanita itu terdiam, tenggelam dalam hal yang baru saja ia ketahui tentang sang suami.
'Ternyata kamu jauh lebih baik dari yang aku kira, Rad. Aku bangga meski di satu sisi belum bisa terima kamu sepenuhnya.'
mau berpaa kali pun mah gasken kan halal'