Pak jono seorang pedagang gorengan yang bangkrut akibat pandemi.
menerima tawaran kerja sebagai nelayan dengan gaji besar,Namun nasib buruk menimpanya ketika kapalnya meledak di kawasan ranjau laut.
Mereka Terombang-ambing di lautan, lalu ia dan beberapa awak kapal terdampar di pulau terpencil yang dihuni suku kanibal.
Tanpa skill dan kemampuan bertahan hidup,Pak Jono harus berusaha menghadapi kelaparan, penyakit,dan ancaman suku pemakan manusia....Akankah ia dan kawan-kawannya selamat? atau justru menjadi santapan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ilalangbuana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
sejarah kelam lembah kematian
Hujan masih mengguyur deras dari balik kanopi pepohonan raksasa yang melingkupi lembah itu. Lembah yang semula dianggap sebagai tempat perlindungan terakhir.
kini berubah menjadi ruang sunyi yang menyimpan sejarah kelam.
Pak Jono duduk mematung di balik batu besar, tubuhnya berbalut kain lusuh dan sisa-sisa dedaunan kering.
Hanya napasnya yang terdengar berat, diselingi lirih doa yang terus ia ulang meski suaranya nyaris tenggelam dalam deru angin dan gemuruh langit.
Beberapa langkah darinya, tubuh Gilang terbujur kaku.
Lehernya tertekuk tidak wajar, dan mata kirinya terbuka separuh, menatap kosong ke arah langit yang suram.
Di sekitar tubuh Gilang, jejak-jejak pahatan aneh terlihat mencakar-cakar permukaan tanah, membentuk lingkaran dengan simbol tak dikenal. Darah yang belum lama mengering menempel di sela-sela ukiran itu.
Dan di bagian tengah tempat tubuh Gilang terbaring nampak sebuah altar batu yang selama ini tertutup lumut dan tanah.
Pak Rahmat berdiri terpaku di depan altar itu.
Kedua tangannya menggenggam kepala, tubuhnya gemetar.
Ia tak lagi berkata-kata sejak menjumpai Gilang dalam posisi seperti itu semalam.
Mulanya ia mengira Gilang tidur karena kelelahan. Namun ketika fajar menyingsing, ia melihat wajah pucat Gilang, bibir membiru, dan tubuhnya yang dingin.
Tapi yang paling membuatnya terpukul adalah bahwa sebelum tidur, Gilang sempat bercerita soal mimpi buruknya tentang "penyerahan diri" di tengah-tengah api dan bisikan perempuan yang memanggilnya dengan nama kecilnya,nama yang tak pernah ia ceritakan pada siapapun.
"Ini...ini bukan kematian yang normal, Pak Jono..."
lirih Pak Rahmat, akhirnya bersuara. Pandangannya kosong.
"Dia seperti… dipanggil sesuatu. Dan kita biarkan dia sendirian."
Pak Jono menggigit bibir bawahnya, menahan rasa sesal yang tiba-tiba menyusup ke hatinya.
Ia merasa bersalah.
Malam itu, ia memang membiarkan Gilang berjaga sendiri.
Ia sendiri terlalu lelah, terlalu pasrah, terlalu acuh. Bahkan saat Gilang berbisik padanya tentang "mimpi dipanggil", ia hanya menganggapnya sebagai keluhan biasa. Kini...ia menyesal.
Beberapa anggota suku yang masih tersisa mulai bergerak menjauhi altar.
Sebagian menangis, sebagian lainnya memilih diam dalam ketakutan.
Seorang pria tua dari suku itu kemudian memanggil Pak Jono dan Pak Rahmat ke tepi lembah, tepat di mana bekas dinding batu setinggi lima meter menjulang.
Dengan bahasa campuran isyarat dan potongan kata yang mereka pahami, pria tua itu menunjuk ke dinding batu tersebut.
Di sanalah terdapat pahatan kuno.
gambar-gambar manusia yang diikat dan dikelilingi makhluk aneh bertanduk, bertaring, dan bersayap.
Di bagian bawah dinding, terlihat tulang-tulang manusia tersusun rapi. Sebagian kecil telah ditumbuhi lumut dan belatung. Ada tengkorak, tulang rusuk, dan tulang paha yang masih utuh.
Pak Jono mundur satu langkah, wajahnya pucat pasi. “Ini...altar persembahan,”
desisnya.
Pria tua itu mengangguk perlahan.
Dengan jari kurusnya, ia menunjuk ke langit yang mulai redup, lalu ke altar batu.
Lalu ia menggambar sebuah lingkaran dengan telunjuknya di tanah dan meletakkan batu di tengahnya.
Ia menirukan seseorang yang diseret, diikat, dan dijatuhkan di tengah lingkaran itu.
Simbol kuno persembahan manusia untuk makhluk tak terlihat.
Pak Rahmat menahan napas.
Dadanya terasa sesak.
Ia mulai berkeringat, meski hawa lembah semakin dingin menusuk tulang.
Kilatan petir menyambar di kejauhan, dan seketika itu juga terdengar suara lengkingan dari dalam hutan.
Suara yang seperti lolongan tapi diselingi suara tertawa kecil perempuan.
Wajah Pak Rahmat berubah.
Matanya membelalak, napasnya memburu.
Ia memegang kepalanya lagi, lebih kuat dari sebelumnya.
"Dia masih memanggilku...," bisiknya.
Pak Jono mencengkeram bahu sahabatnya.
"Kep..kappten Rahmat, sadarlah. Itu bukan suara manusia! Kita harus pergi dari sini. Ini lembah kematian. Gilang sudah...!"
"Saya...saya harus tinggal."
Pak Rahmat menepis tangan Pak Jono.
"Saya juga harus menggantikan Gilang. Dia....dia dipanggil karena saya tidak mendengarkannya malam itu. Saya harus jadi penebusnya."
“Dasar gila kau!”
bentak Pak Jono.
"Jangan tambah korban lagi! Lihat ini!"
Ia menunjuk ke tulang-tulang berserakan.
"Sudah berapa banyak yang mati di sini?! Cukup Gilang!"
“Justru karena itu! Dia mati sia-sia kalau kita tak menebus kesalahannya!”
Pak Rahmat mendorong Pak Jono dan berlari menuju altar.
Dengan cepat, dua orang suku menahannya dan menariknya mundur.
Namun dari sorot matanya, terlihat jelas bahwa ada sesuatu yang berubah.
Ia bukan lagi Pak Rahmat yang rasional. Ia seperti... dimasuki sesuatu.
Pak Jono menyadari bahwa mungkin, lembah ini tak hanya membunuh secara fisik. Ia juga menghancurkan jiwa.
Hujan semakin deras.
Suara lolongan dan tangisan terdengar makin jelas dari dalam lembah.
Dan dari kejauhan, suara-suara derap kaki mulai terdengar.
Bukan binatang. Bukan juga suku pantai.
Pak Jono menatap ke atas pohon-pohon besar di sekeliling mereka.
Matanya menangkap sosok-sosok berwujud bayangan, melompat-lompat di antara batang-batang pohon, seperti sedang mmenerkam... atau menunggu waktu untuk menerkam.
Hujan mengguyur makin deras, seperti langit pun turut berduka atas kematian Gilang.
Tubuhnya masih tergeletak di atas altar batu, membatu dalam kehampaan.
Tak satu pun dari mereka berani memindahkannya. Mereka percaya, jika tubuh itu disentuh sebelum waktunya, maka kutukan akan berpindah.
Atau lebih buruk, akan membangkitkan amarah dari makhluk yang sudah lama tertidur di bawah tanah lembah itu.
Pak Jono menatap Pak Rahmat yang kini duduk memeluk lutut.
Wajahnya sayu, tubuhnya menggigil, bukan hanya karena dingin, tapi karena pikirannya yang mulai tercerabut dari kenyataan.
Sejak pagi tadi, ia terus menggumamkan doa-doa tanpa arah, kadang mengulang nama Gilang, kadang menyebut nama putranya yang sudah meninggal bertahun-tahun lalu.
Salah satu pria tua dari suku mendekat, membawa seikat tumbuhan herbal dan sebuah mangkuk berisi cairan hitam pekat. Ia meletakkan keduanya di dekat Pak Rahmat, lalu bicara pada Pak Jono dalam bahasa patah-patah yang pelan.
“Jika ia terus tinggal di lembah ini..rohnya bisa dibelah dua. Setengah di dunia, setengah di bawah tanah. Tidak bisa pulang.”
Pak Jono menelan ludah.
“Apa maksudmu... di bawah tanah?”
Pria itu tidak menjawab dengan kata-kata. Ia hanya menunjuk ke lantai lembah, lalu mengepalkan tangan dan menekannya ke tanah. Lambang penindasan. Lambang pengurungan. Lambang makhluk yang selama berabad-abad menghisap jiwa orang-orang tersesat.
"Jiwa yang terjebak di sini tidak pernah pergi. Mereka tinggal di balik tanah, membisik, meracuni, dan menunggu tubuh baru untuk ditempati."
Seketika, Pak Jono mengingat kembali suara-suara lirih di malam hari yang terdengar seperti tangisan… atau permohonan. Ia teringat desiran angin yang tak biasa, yang menggiring mimpi buruk menjadi nyata.
Di atas, kabut tebal turun cepat, menyelimuti seluruh lembah. Pemandangan hanya tersisa beberapa meter ke depan. Sosok-sosok gelap yang tadinya mengintai di pepohonan mulai menghilang, seolah mundur ke balik dimensi lain. Tapi bukan berarti bahaya telah berlalu.
Pak Jono memutuskan untuk mengubur Gilang secara layak. Dengan bantuan tiga orang dari suku, mereka menggali tanah di ujung lembah. Setiap cangkul yang masuk ke tanah terasa berat, bukan karena keras, tapi karena... perasaan. Seperti ada yang menarik tangan mereka dari dalam bumi, seolah melarang mereka merusak tanah ini. Tapi mereka terus menggali.
Sementara itu, Pak Rahmat tetap tak bergerak. Ia kini menatap kosong ke langit.
"Gilang," bisiknya.
"Kau seperti anakku."
Pak Jono mendengar lirih itu, dan hatinya tersayat.
Proses penguburan berlangsung sunyi. Tubuh Gilang dibungkus daun pisang dan anyaman ilalang suku. Diletakkan perlahan ke dalam lubang, disiram dengan cairan herbal, lalu ditimbun tanah. Tidak ada upacara. Hanya doa pelan dari pria tua yang menggenggam tulang kecil,tulang jari yang mereka temukan tak jauh dari altar.
Setelah semua selesai, Pak Jono duduk bersila di dekat makam Gilang. Matanya menatap tanah basah itu lama. Tak ada kata-kata yang keluar. Hanya diam. Tapi diam yang penuh gejolak.
Malam datang lebih cepat dari biasanya. Kabut belum juga naik. Petir kadang menyambar, tanpa disusul hujan. Kilatan cahayanya mengungkapkan sosok-sosok aneh di kejauhan
tangan tanpa tubuh yang merayap, mata merah di celah pohon, dan lidah panjang melambai-lambai dari balik akar gantung. Semua itu muncul sekejap saat kilat menyala, lalu menghilang dalam gelap.
Pak Rahmat, yang semula diam, tiba-tiba bangkit. Wajahnya pucat, tapi matanya kosong. Ia berjalan menuju altar, memeluknya, lalu bicara seperti sedang bercengkerama dengan seseorang.
"Kau kembali, ya? Gilang, kau mau aku ikut?" katanya lembut, senyumnya ganjil.
Pak Jono menyusul, mencengkeram bahu Pak Rahmat. "Sudah, Pak. Ini bukan Gilang. Ini bukan siapa-siapa. Ini hanya permainan lembah."
Pak Rahmat menoleh pelan.
“Kalau begitu, biarkan aku main sebentar saja. Aku rindu anakku...”
Tangisnya pecah. Tangis itu membuat Pak Jono ikut tersedu. Ia peluk sahabatnya erat, membiarkannya menangis di dada.
Hening.
Di balik kabut, terdengar nyanyian perempuan,pelan, seperti lagu pengantar tidur. Bahasa yang tidak mereka kenal, tapi nadanya menyedihkan, penuh rindu, dan membawa duka mendalam.
Pak Jono mengangkat kepala, menatap ke arah suara itu. Tapi tak ada siapa pun. Hanya angin yang menyusup ke sela pohon.
“Pak Jono...” lirih Pak Rahmat kemudian, suara serak.
“Hm?”
“Kalau aku hilang...tolong jangan cari aku. Kadang...ada jiwa yang lebih damai di tempat gelap....”
Pak Jono tercekat. Ia menatap mata sahabatnya dalam-dalam.
“Jangan bicara begitu. Kita masih bisa keluar dari sini. Kita masih hidup.”
Pak Rahmat tersenyum kecil. “Hidup...tapi untuk apa, kalau semua yang kita sayangi sudah jadi tanah?”
Pak Jono hanya terpaku dan tidak bisa menjawab.