NovelToon NovelToon
Prahara Rumah Tangga Pelakor

Prahara Rumah Tangga Pelakor

Status: sedang berlangsung
Genre:Single Mom / Selingkuh / Mengubah Takdir
Popularitas:8.9k
Nilai: 5
Nama Author: misshel

Sania pernah dihancurkan sampai titik terendah hidupnya oleh Irfan dan kekasihnya, Nadine. Bahkan ia harus merangkak dari kelamnya perceraian menuju titik cahaya selama 10 tahun lamanya. Sania tidak pernah berniat mengusik kehidupan mantan suaminya tersebut sampai suatu saat dia mendapat surat dari pengadilan yang menyatakan bahwa hak asuh putri semata wayangnya akan dialihkan ke pihak ayah.

Sania yang sudah tenang dengan kehidupannya kini, merasa geram dan berniat mengacaukan kehidupan keluarga mantan suaminya. Selama ini dia sudah cukup sabar dengan beberapa tindakan merugikan yang tidak bisa Sania tuntut karena Sania tidak punya uang. Kini, Sania sudah berbeda, dia sudah memiliki segalanya bahkan membeli hidup mantan suaminya sekalipun ia mampu.
Dibantu oleh kenalan, Sania menyusun rencana untuk mengacaukan balik rumah tangga suaminya, setidaknya Nadine bisa merasakan bagaimana rasanya hidup penuh teror.
Ketika pelaku berlagak jadi korban, cerita kehidupan ini semakin menarik.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon misshel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sesal Yang Terlambat

Sania merasakan dunianya cerah usai mendung pekat melingkupi kepalanya beberapa saat lalu. Ia bahkan sampai berdiri dan matanya berkaca-kaca saking lega dan terharu akan pertolongan Tuhan kali ini.

Maxwell masuk menyeret seorang pria yang kepalanya di tutup kain hitam, kedua tangannya diikat dengan kabel ties. Tampak badannya sedikit berdarah dan terluka.

"Saksi kunci telah kami hadirkan, Yang Mulia!" Maxwell mendudukkan paksa pria itu di kursi terdakwa, berhadapan lurus dengan hakim yang kembali meletakkan palu.

"Siapa dia?" tanya hakim penasaran. Ia pikir ini akan mudah semudah gugatan hak asuh anak pada umumnya, tapi ternyata kasus ini menimbulkan efek domino yang cukup mengejutkan.

Maxwell melepaskan penutup muka pria itu, lalu menyuruhnya berbicara.

"Saya hanya disuruh Nyonya Brooch ... Nadine Brooch!"

"Bohong!" Nadine menggebrak meja keras-keras. "Saya tidak pernah bertemu bahkan tidak kenal siapa dia!"

Maxwell menarik sudut bibirnya sinis, kemudian mengambil ponsel pria itu yang sejak tadi diamankan olehnya, lalu menelpon nomor Nadine.

Dering ponsel berbunyi nyaring, berasal dari ponsel di depan Nadine.

Maxwell mendekat dan mengangkat ponsel itu sebelum Nadine sempat mengamankannya.

Max mengarahkan ponsel keduanya ke hakim lalu audiens, terakhir ke meja Alveron.

"Semua hanya soal waktu saja, Nyonya Brooch!" Max kembali tersenyum miring. "Pamanmu tidak lagi bisa membantu menyembunyikan kejahatanmu!"

Nadine gemetar di bibirnya yang kini memutih. "Yang Mulia, saya merasa diintimidasi oleh polisi itu! Sa-saya tidak tahu menahu siapa pria ini dan bagaimana nomornya bisa terhubung dengan saya!"

"Tenangkan diri anda, Nyonya ...." Hakim mengetuk palu karena Nadine berteriak histeris dan lepas kendali. "Lanjutkan, Tuan Max!"

"Tersangka adalah buron yang kami kejar hampir 9 tahun lamanya, Yang Mulia!" Max berjalan maju ke depan pria itu. "9 tahun lalu, seorang wanita melaporkan dugaan penculikan di area pasar rakyat antara Diora Street dan Harmoni apartemen. Namun, karena hari itu bukti satu-satunya dilenyapkan, kasus ini di tutup sepihak oleh atasan saya!"

Max menatap Nadine puas. "Meski begitu, saya masih berusaha mencari keadilan untuk wanita yang putrinya meregang nyawa karena penculikan ini. Bukti demi bukti, jejak demi jejak saya kumpulkan sampai saya berhasil membuat sketsa yang mirip dengan rekaman CCTV yang saya temukan beberapa bulan lalu."

Max menyerahkan sketsa wajah yang agak kusam. Hakim menilainya, kemudian mengangguk.

"Lanjutkan ...!"

"Saya rasa, ini hak Nyonya Sania untuk menjelaskan bagaimana awal cerita lebih detail." Max menyilakan Sania menceritakan kronologi awal teror itu dimulai.

Meski gugup dan tidak menyiapkan dengan persiapan penuh, Sania berdiri dan mendekati pria itu.

"Saya sendiri belum pernah melihat orang ini dari dekat, tapi dialah alasan kenapa saya menjauhkan diri dari lingkungan awal saya tinggal pasca bercerai." Sania menatap Nadine tajam. "Mungkin Yang Mulia bisa melihat beberapa surat teror itu menyatakan agar saya pergi sejauh mungkin dari hidup Tuan Irfan, lalu siapa lagi yang punya motif kuat selain Nyonya Nadine? Seakan berselingkuh dan bercerai saja tidak cukup baginya, dia mendorong saya sejauh yang dia bisa agar saya tidak mengganggu urusannya di masa depan!"

"Itu tidak benar, Yang Mulia!" Nadine berdiri spontan, "Kau—kau jangan asal bicara! Pria ini mungkin saja punya dendam sama kamu, Sania ... kamu jangan menuduhku sembarangan, seolah kamu penting bagi ku!"

Alveron sedang memeriksa catatannya terburu-buru, ini mungkin tidak ada dalam agendanya yang sangat pendek itu, jadi tidak sempat menahan Nadine yang kalap. Hanya yang Irfan merangkul Nadine agar tenang dan tidak menyela pengadilan.

"Saya hanya menjalankan perintah dan dibayar oleh Nadine untuk membuat surat teror untuk wanita bernama Sania. Menguntit kemanapun Sania dan anaknya yang masih bayi tinggal, dan terakhir saya menculik anak itu di sebuah rumah. Nadine menyuruh saya menculik tanpa persiapan apa-apa, jadi ketika anak itu kejang, saya mengembalikannya. Namun, karena semua orang sedang mencarinya, saya terpaksa membawanya ke menjauh di tengah hujan lebat hingga tiba di sebuah playgroup ... saya meletakkannya di sana!" Pria yang duduk di kursi terdakwa berbicara sedikit terbata. Sejenak ia melirik Sania dan agak takut ketika melewati Max.

"Saya menerima uang melalui rekening seseorang bernama Bob Berdy, sementara Nyonya Nadine memerintah saya melalui telepon! Dia mungkin tidak kenal saya, tapi siapa yang tidak kenal putri pengusaha Brooch itu? Dia dengan lantang menggunakan nama ayahnya untuk menakut-nakuti saya agar saya mau menuruti apa maunya!"

Max tersenyum puas. Kasus dingin satu lagi terbuka di tangannya. Kali ini, dia tidak perlu melakukan banyak hal, justru pria yang ia intai sejak 3 hari terakhir, melakukan kejahatan dan memudahkan Max untuk meringkusnya.

"Hari ini, saya disuruh membakar bukti yang tersisa di rumah Sania, di kawasan Diora Street!" Pria itu menjelaskan lagi. "Sekitar satu atau dua jam lalu."

Semua orang tercengang. Bahkan hakim sampai menggelengkan kepalanya.

"Sayangnya, Yang Mulia!" Sania menghadap hakim, menunjuk setumpuk dokumen yang di bawa Rey tadi. "Bukti itu sudah berada di tangan asisten saya, jadi sekalipun rumah saya di bakar, bukti itu tetap aman!"

Nadine menggebrak meja lagi. "Ini semua tidak benar! Saya tidak pernah melakukan yang mereka katakan! Sania tidak ada artinya bagi saya, jadi untuk apa saya melakukan hal bodoh yang bisa merusak citra saya di mata publik?"

"Saya memang tidak berarti, tapi anak saya sangat berarti bagi kamu, sampai-sampai sekarang kamu mengajukan gugatan hak asuh setelah sekian lama kalian berdua lepas tangan dan tidak peduli! Pertanyaan saya selanjutnya, untuk kau tukar dengan apa kehadiran anak saya di rumah anda?"

Bibir Nadine gemetar, tangannya juga ikut gemetar. Kepalanya mulai sadar kemana Sania akan membawanya jatuh. Tidak, semua ini tidak boleh berakhir di sini! Tidak!

Nadine menoleh ke arah Alveron, duduk perlahan dan mengabaikan semua orang. "Apa kita bisa mundur sekarang?"

Alveron menghela napas pelan lalu menggeleng. Sidang sudah berat sebelah karena mereka memiliki saksi yang sangat kuat, jadi pilihan terakhir adalah menyerah.

"Jadi, Yang Mulia, karena orang yang sudah melakukan teror ada di sini dan mengakui perbuatannya, bukankah alasan saya tidak membawa anak saya menemui ayahnya adalah hal yang wajar? Wajar seorang ibu melindungi anaknya yang nyaris mati dari istri barunya, dan sekarang, bukankah saya juga sedang melindungi anak saya dari kejahatan lain yang mungkin akan terjadi?"

Hakim di mejanya berdiskusi.

"Jika anda belum yakin dengan kengerian apa yang dialami bayi dua setengah tahun, saya bisa minta catatan medis di Moraine Hospital! Karena sejak hari itu, anak saya kerap sakit dan menjalani terapi untuk memulihkan trauma juga imunitas tubuh anak saya."

Hakim kembali mengangguk di balik meja. Mata di balik kaca mata itu seperti memberikan dukungan penuh pada Sania.

"Bayangkan apa yang saya lakukan di waktu-waktu itu untuk memperjuangkan hidup anak saya? Tanpa dukungan suami, baik materi maupun moral. Saya sendirian bersama anak saya, dan jalan-jalan di antara Venus Park hingga Diora Street!"

Lita Jordan tersenyum puas. Dia benar-benar tidak salah ketika akhirnya memihak Sania.

"Sehubungan dengan ini, saya akan mengundang Lita Jordan untuk bertemu anak saya selaku wakil dari persidangan untuk mendengarkan apa yang anak saya inginkan tanpa pengaruh sedikitpun dari saya!" Sania menatap ke arah Alveron dan rombongan termasuk Nadine dan Irfan yang kini tampak lesu.

"Kebetulan kemarin ayah kandung anak saya datang menemui kami," ucap Sania tiba-tiba. "Anak saya masih berbesar hati menerima dan menemui ayahnya untuk pertama kali dan dia bilang bersedia menemuinya, asal tidak tinggal bersamanya! Dengan syarat tertentu, pastinya! Anak saya bukan anak yang tidak tahu apa-apa, justru dia tahu segalanya."

Sania membungkuk pada hakim sebelum duduk di mejanya kembali.

Rob tersenyum puas. Sania secara tidak langsung menyerang Irfan di titik lemahnya. Seorang ibu yang mendidik anak dengan baik sehingga dia bisa mengerti bagaimana harus bersikap terhadap orang-orang yang pernah menyakitinya.

Hakim kemudian segera menyimpulkan putusan, usai pihak Nadine tidak melakukan pembelaan atas apa yang Sania katakan. Dengan kata lain, Nadine dan pihaknya menerima semua yang Sania katakan dan kalah dalam gugatan ini.

"Dengan adanya bukti yang kuat dari pihak tergugat, hak asuh anak tetap berada di pihak tergugat. Namun, ada beberapa poin yang harus kedua belah pihak sepakati mengenai kunjungan dan pendampingan secara rutin dari psikolog."

Palu hakim diketuk tiga kali, diikuti sorak dari Rey yang cukup membuat Nadine kesal.

"Sementara itu, kasus teror dan penculikan akan diusut tuntas oleh kepolisian. Kasus ini akan tetap bergulir dengan terduga pelaku utama adalah Nyonya Nadine Caroline Brooch!"

Ucapan hakim membuat Nadine murka. Ia berdiri tetapi karena sidang telah di tutup, tidak ada yang bisa ia lakukan selain pasrah ketika Max memanggil anak buahnya masuk dan membawanya ke mobil polisi. Meski meronta, Nadine tetaplah dibawa secara paksa.

Irfan yang masih mencerna keadaan yang terjadi, duduk diam di kursinya bersama Alveron yang juga tak percaya ia harus kalah dari wanita tanpa pengacara itu.

"Ini karena anda dan istri anda tidak transparan, Pak Irfan!"

Tidak ada respon berarti dari Irfan selain helaan napas yang begitu dalam.

"Percuma saya jauh-jauh menemui psikiater anda!" Alveron berdiri, sewot, dan masam, menatap Sania sejenak dan berlalu tanpa sepatah kata.

Sania tersenyum tipis karena tidak tahu harus bagaimana. Ia memang menang, tapi dari dulu dia sudah menang, sehingga ia tidak tahu harus merayakan apa-apa selain rasa syukur di dada yang terus bergema.

Namun Sania masih ada satu hal yang ingin disampaikan pada Irfan, jadi dia berjalan ke sana.

"Pergilah ke psikiater lagi, Pak Irfan! Anda lebih terlihat depresi karena istri anda daripada depresi karena rindu pada Mutiara!"

Irfan benar-benar jatuh. Padahal dia tidak ingin mengungkit apapun, dia tidak tahu apapun, tapi dia terlihat paling salah di mata Sania. Nadine memang selalu melangkah lebih dulu di depannya, sehingga dia tidak punya kesempatan mengambil keputusan. Dia kepala keluarga, tapi dia tidak pernah benar-benar di posisi itu.

Jika dipikir-pikir, cerewetnya Sania dulu adalah bentuk perhatian dan penghormatan baginya. Sania tidak ingin dirinya kenapa-napa, jadi sebisa mungkin mengingatkan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukannya.

Kini, puluhan tahun berlalu, Irfan benar-benar tahu bedanya. Meski amat sangat terlambat.

1
🅡🅞🅢🅔
Nadine, kamu pikir Sania masih sania yg dulu apa gimana?
🅡🅞🅢🅔
bilang aja elu gak ada apa2nya Nadine, hadeh🤣
🅡🅞🅢🅔
iyuuuuw🤣
🅡🅞🅢🅔
bjir, drama banget😀🤣
🅡🅞🅢🅔
sampe ke ginjal kali kak🤣🤣🤣
🅡🅞🅢🅔
lawaknyeee🤣🤣
🅡🅞🅢🅔
Ya ampun, ada gitu orang udah ditolak mentah2 masih aja ngeyel? mau jadi laki2 baik, tapi dia ayah yg gak punya pendirian. plin-plan

tp gk apa2 sih kl mau cerai juga, Nadine pasti nyesek🤣
🅡🅞🅢🅔
Aku rasa, Irfan udah muak sama bapaknya Nadine, kek apaan gitu, udah puluhan tahun gak dianggap,, br dianggap setelah mereka kena kasus, kan asem😌
Ratu Tety Haryati
Nah kan beneeer??? Hobi banget nih perempuan menghancurkan sesuatu...
Ratu Tety Haryati
Bukannya dihadapan Rob kemarin , Irfan beserta kopinya sudah ditolak, Sania mentah2 ya???
@💤ιиɑ͜͡✦⍣⃝కꫝ🎸🇵🇸
akal bulus Nadine berhasil gak yaa? 😁
🅡🅞🅢🅔: eaaaa, penasaran kek apa Sania akan menjatuhkan Nadine kali ini, Thor 🤣
@💤ιиɑ͜͡✦⍣⃝కꫝ🎸🇵🇸: oh, kasian... 🤭🤭🤭🤭🤭🤭🤭🤭
total 3 replies
YPermana
Irfan kamu terlalu haluuuu
@💤ιиɑ͜͡✦⍣⃝కꫝ🎸🇵🇸
penyesalanmu percuma Irfan. Nadine, jangan salahkan sania jika Irfan kembali mencintainya
Ratu Tety Haryati
Terima kasih Upnya, Akak Othor🥰🥰🙏
Sifat dasar Nadine suka menghancurkan. Bukan hanya benda, pernikahan orang lainpun dihancurkan.
Dan sekarang rumahtangganya mengalami prahara akibat ulahnya yang memuakkan.
@💤ιиɑ͜͡✦⍣⃝కꫝ🎸🇵🇸
panik nadia panik.
Ratu Tety Haryati
Selamat Rob.... Anda pria beruntung.
Ratu Tety Haryati
Tapi obsesi memiliki seseorang, dengan cara tak patut. Dan mempetahankan sampai harus seperti orang tak war*s
☠ᵏᵋᶜᶟ⏳⃟⃝㉉❤️⃟Wᵃfᴹᵉᶦᵈᵃ🌍ɢ⃟꙰Ⓜ️
yeeess akhirnya Sania milih rob,aku suka aku suka😀karna aku kurang suka sama max
YPermana
gercep rob.... sebelum sania berubah fikri 😁😁😁
@💤ιиɑ͜͡✦⍣⃝కꫝ🎸🇵🇸
Sania sudah memilih. pilihannya rob. disampaikan secara lugas, benar-benar wanita berkelas, tak perlu menunggu lelaki untuk mengungkapkan rasanya dulu..
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!