Xandrian Elvaro, pria berusia 30 tahun, dikenal sebagai pewaris dingin dan kejam dari keluarga Elvaro Group. Sepeninggal ayahnya, ia dihadapkan pada permintaan terakhir yang mengejutkan: menikahi adik tirinya sendiri, Nadiara Elvano, demi menyelamatkan reputasi keluarga dari skandal berdarah.
Nadiara, 20 tahun, gadis rapuh yang terpaksa kembali dari London karena surat wasiat itu. Ia menyimpan luka masa lalu bukan hanya karena ditinggal ibunya, tetapi karena Xandrian sendiri pernah menolaknya mentah-mentah saat ia masih remaja.
Pernikahan mereka dingin, dipenuhi benteng emosi yang rapuh. Tapi kebersamaan memaksa mereka membuka luka demi luka, hingga ketertarikan tak terbendung meledak dalam hubungan yang salah namun mengikat. Ketika cinta mulai tumbuh dari keterpaksaan, rahasia kelam masa lalu mulai terkuak termasuk kenyataan bahwa Nadiara bukan hanya adik tiri biasa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lina Hwang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pelukan Tanpa Alasan
Hujan turun sejak sore. Rintiknya menghantam kaca jendela seperti nada-nada sunyi yang tak pernah disuarakan. Langit begitu kelabu, seakan menggambarkan isi kepala Nadiara yang semakin kacau. Ia duduk di sofa ruang tengah, membungkus dirinya dengan selimut tipis, menatap kosong ke arah televisi yang menyala tanpa suara. Tayangan film keluarga yang seharusnya hangat, justru membuat dadanya makin sesak.
Di dalam rumah besar itu, ia merasa asing lagi. Semua hal yang seharusnya menenangkan kini terasa dingin. Bahkan pelayan rumah mulai bersikap canggung tak seintim dulu. Tatapan mereka gestur mereka seolah membentuk dinding antara dirinya dan dunia luar.
Skandal itu belum meledak, namun tekanan sudah menjerat. Sebuah artikel gosip online menyebutkan rumor tentang pewaris muda yang menikah secara diam-diam dengan seorang wanita yang dikaitkan sebagai "adik tiri". Tidak menyebut nama, tapi cukup untuk membuat semua orang di sekitarnya mulai berbisik pelan.
Langkah kaki terdengar mendekat. Xandrian masuk ke ruang tengah dengan langkah tenang, namun sorot matanya menyimpan ribuan beban. Ia membawa dua cangkir cokelat hangat minuman kesukaan Nadiara saat hujan.
Ia menaruh salah satunya di atas meja, lalu duduk di sebelah Nadiara. Aroma cokelat yang manis bercampur dengan wangi tubuhnya yang hangat menyusup pelan ke udara.
"Kamu kedinginan?" tanyanya pelan, nyaris seperti bisikan.
Nadiara tidak menjawab langsung. Ia hanya menggeleng pelan, lalu menjawab tanpa menatapnya "Tidak. Aku hanya bingung."
Hening mengisi ruang itu selama beberapa detik. Suara hujan menjadi latar belakang yang konstan, seperti irama yang menenangkan sekaligus menyakitkan.
Xandrian tidak berkata apa-apa lagi. Ia hanya bergerak perlahan, dan tanpa memberi aba-aba, menarik tubuh Nadiara ke dalam pelukannya. Ia merengkuhnya dengan erat, seolah takut kalau gadis itu akan menghilang begitu saja jika dilepaskan.
Tubuh Nadiara awalnya kaku, tapi perlahan-lahan ia membiarkan dirinya tenggelam dalam pelukan itu. Kepalanya bersandar di dada Xandrian. Suara detak jantung pria itu terdengar jelas di telinganya cepat, gugup, dan penuh perasaan.
Tangannya yang bebas meremas baju Xandrian tanpa sadar, seperti anak kecil yang mencari perlindungan di tengah badai. Ia tidak bertanya kenapa. Ia hanya membiarkan semuanya terjadi.
"Kenapa kamu memelukku?" tanyanya kemudian dengan suara serak.
Xandrian menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, "Karena aku butuh tahu kamu masih di sini. Masih memilihku, meski semuanya jadi kacau."
Kalimat itu membuat dada Nadiara perih. Ia menutup mata, menahan air mata yang sudah menggenang di pelupuk.
"Aku tidak ke mana-mana," bisiknya. "Aku hanya... butuh alasan untuk tetap kuat. Dunia terasa menyesakkan. Mereka tak mengerti... mungkin takkan pernah mengerti."
Xandrian mengecup pelan ubun-ubunnya. Sebuah tindakan kecil, tapi penuh rasa. “Kalau begitu, biarkan aku jadi alasannya. Aku janji.”
Nadiara tersenyum tipis. Senyum yang pahit, tapi tulus. Ia ingin mempercayai janji itu, walau bayangan ketidakpastian selalu membayang.
Pelukan itu bertahan lama. Tak ada gairah, tak ada nafsu. Hanya dua orang yang saling mencoba bertahan di tengah dunia yang terlalu keras. Mereka hanya diam, merasakan keberadaan satu sama lain sebagai pengingat bahwa mereka belum sendiri.
“Xandrian...” ucap Nadiara pelan, masih bersandar di dadanya. “Jika suatu hari dunia memaksa kita menyerah, apa yang akan kau lakukan?”
Xandrian tidak langsung menjawab. Matanya menatap langit-langit ruangan, seolah mencari jawaban di antara bayang lampu dan bayang hidupnya.
“Aku akan melawan. Meskipun sendirian. Tapi kalau aku punya kamu... aku bisa melawan lebih lama.”
Nadiara menahan napasnya. Jawaban itu mungkin bukan janji seumur hidup. Tapi cukup untuk hari ini. Dan kadang, hari ini saja sudah sangat berharga.
Hujan di luar belum reda, tapi hati mereka mulai mencair. Sedikit demi sedikit.
Kadang, cinta tidak butuh banyak suara. Tidak perlu penjelasan panjang atau janji-janji besar. Cukup satu pelukan yang tak ingin dilepaskan. Cukup satu detik yang mengatakan, “Kita masih di sini.”
Dan malam itu, dalam kesunyian yang mengelilingi mereka, Nadiara dan Xandrian menemukan kekuatan baru. Bukan dari dunia luar. Tapi dari satu sama lain.