Kelly tak pernah menyangka pertemuannya dengan pria asing bernama Maarten akan membuka kembali hatinya yang lama tertutup. Dari tawa kecil di stasiun hingga percakapan hangat di pagi kota Jakarta, mereka saling menemukan kenyamanan yang tulus.
Namun ketika semuanya mulai terasa benar, Maarten harus kembali ke Belgia untuk pekerjaannya. Tak ada janji, hanya jarak dan kenangan.
Apakah cinta mereka cukup kuat untuk melawan waktu dan jarak?
Atau pertemuan itu hanya ditakdirkan sebagai pelajaran tentang melepaskan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kelly Astriky, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Eps. 15 Tumbuh
Malam semakin larut, tapi kami belum ingin beranjak. Suara kendaraan mulai jarang terdengar, dan lampu-lampu jalan mulai redup satu per satu. Tapi kami masih duduk di sana, di bangku kayu sederhana, seolah dunia hanya milik berdua malam itu.
Martin mengeluarkan ponselnya, membuka galeri, lalu menunjukkan beberapa fotonya kepadaku.
"Lihat ini," katanya dengan antusias.
"Ini waktu aku di Pulau Komodo…"
Aku menatap layar ponselnya. Air lautnya biru jernih, pasirnya berwarna merah muda, dan senyumnya di foto itu… begitu hidup.
"Kamu seneng banget ya ke tempat kayak gitu?" tanyaku pelan.
Dia mengangguk cepat, matanya berbinar.
"Iya. Aku suka tempat baru. Aku suka hal baru. Rasanya kayak… membuka pintu yang selama ini tertutup."
Lalu dia menoleh padaku.
"Kelly, kamu pernah snorkling?"
Aku tertawa pelan.
"Enggak. Aku takut. Aku bahkan gak bisa renang"
Martin tersenyum, tapi tidak mengejek.
Nada suaranya justru lembut dan serius.
"Aku pengen kamu coba suatu hari nanti."
Aku mengernyit.
"Snorkling? Aku? Di laut?"
"Ya," jawabnya tegas.
"Aku pengen kamu kenal dunia yang belum pernah kamu sentuh. Aku pengen kamu lihat betapa luas dan indahnya hidup ini, Kelly."
Dia menggenggam tanganku pelan.
"Karena aku lihat kamu… seperti kepompong yang siap jadi kupu-kupu. Kamu cuma butuh sedikit keberanian untuk keluar dari zona nyamanmu."
Aku terdiam. Kata-katanya masuk ke dalam dadaku seperti embun yang turun pelan-pelan. Hangat. Tapi juga membangunkan.
"Aku nggak tahu, Martin. Aku takut kecewa. Takut gagal. Takut tenggelam."
Maarten menatapku lama, lalu menjawab dengan suara yang nyaris seperti bisikan.
"Kalau kamu takut tenggelam, aku akan berenang di sampingmu. Aku nggak akan tinggalin kamu sendiri. Tapi kamu harus mau… membuka sayapmu."
Aku menunduk, tersenyum kecil.
Ada ketakutan, iya. Tapi juga ada rasa percaya.
Aku menatap salah satu foto laut biru yang ditunjukkan Maarten. Ombaknya tenang. Langitnya terang. Tapi yang ada di pikiranku justru satu hal:
“Martin…”
Aku menoleh pelan, suaraku nyaris seperti bisikan.
“Aku bukan orang yang suka banyak difoto.”
Dia menatapku, sedikit bingung.
“Kenapa?”
Aku mengangkat bahu.
“Nggak tahu. Mungkin karena aku nggak terlalu suka jadi pusat perhatian. Kalau aku jalan ke alam, aku lebih suka duduk diam, nikmatin angin, suara burung, arus ombak …Kayak… biarin semuanya masuk ke hati, tanpa perlu bukti dalam kamera.”
Martin mengangguk perlahan.
Bukan karena dia setuju sepenuhnya, tapi karena dia mencoba memahami.
“Kamu pemalu ya?” tanyanya kemudian.
Aku mengangguk.
“Iya. Aku orangnya tertutup. Kadang terlalu hati-hati. Bahkan dulu… aku sering nahan diri untuk bilang apa yang aku rasain.”
Martin tersenyum kecil.
“Aku bisa lihat itu dari caramu duduk, dari caramu menatap.”
Lalu dia mendekat sedikit, nadanya lebih hangat.
“Tapi kamu tahu nggak? Kamu nggak perlu berubah jadi orang lain, Kelly. Kamu nggak harus jadi cewek yang heboh, atau yang suka foto-foto setiap menit.”
“Tapi…”
Dia jeda sejenak.
“Kalau kamu mau… aku bisa bantu kamu buka diri sedikit demi sedikit. Bukan untuk dunia. Tapi untuk kamu sendiri.”
Aku menatapnya dalam.
“Kamu mau ubah aku?”
“Bukan ubah,” jawabnya pelan.
“Cuma… ngebantu kamu melihat dirimu yang lain. Sisi kamu yang mungkin belum sempat kamu kenal.”
Aku menarik napas pelan. Kata-katanya tidak menggurui. Justru menenangkan.
“Kamu tahu,” lanjutnya, “kadang kita butuh orang lain buat kasih kita cermin. Bukan supaya kita malu, tapi supaya kita sadar kalau kita sebenarnya jauh lebih indah dari apa yang kita pikirkan.”
Aku tersenyum. Bukan karena dia manis, tapi karena untuk pertama kalinya, ada yang ingin aku tumbuh, bukan demi dia, bukan demi siapapun, tapi demi aku.
Maarten masih menatapku dengan senyuman kecil. Ia menaruh ponselnya di meja, lalu menggenggam tanganku dengan lembut.
"Kelly…" katanya pelan,
"Aku tahu kamu orang yang hati-hati. Kamu pemalu, kamu sering menahan banyak hal dalam dirimu sendiri. Tapi......."
Dia menatap mataku dalam-dalam, suaranya hangat dan tenang.
"Jangan biarkan rasa takut itu mengurung kamu terlalu lama."
Aku diam, mendengarkannya dengan tenang.
"Dunia terlalu luas untuk hanya ditonton dari balik jendela. Kadang, kita memang harus keluar. Nyebur sedikit. Luka sedikit. Tapi dari situ kita tumbuh."
Aku menarik napas pelan. Jantungku seperti disentuh perlahan.
"Tapi kalau aku gagal, atau aku terlihat bodoh?" tanyaku lirih.
"Aku nggak suka kalau orang menertawaiku..."
Martin menggeleng lembut.
"Mencoba itu bukan soal sukses atau gagal. Itu soal kamu ngasih kesempatan ke diri kamu sendiri buat tahu rasanya hidup tanpa takut terus-menerus. Kamu nggak harus jago. Kamu nggak harus sempurna. Tapi kamu harus mulai."
Aku menunduk sejenak, jari-jariku menggenggam gelas kopi yang mulai dingin.
"Dan kalau aku takut?"
Martin menyentuh ujung jariku pelan.
"Maka kamu bisa takut sambil tetap berjalan. Dan aku akan jalan di sebelah kamu."
Aku menatap wajahnya, tak ada tekanan di sana. Tak ada paksaan. Hanya ajakan tulus dari seseorang yang ingin melihatku berani.
Martin memutar tubuhnya sedikit, menatapku lebih dekat. Wajahnya serius, tapi penuh kelembutan. Dia nggak bicara buru-buru, seolah setiap kata dipilih hati-hati agar tidak melukai apa pun yang rapuh di dalam diriku.
"Kelly," bisiknya pelan,
"aku tahu kamu belum siap untuk banyak hal. Dan itu gak apa-apa. Aku gak akan memaksa kamu berubah dalam semalam. Tapi aku ingin kamu tahu satu hal..."
Dia menggenggam tanganku lebih erat.
"Aku lihat ada banyak hal indah dalam dirimu, yang mungkin kamu sendiri belum pernah lihat."
Aku tertunduk, merasa ada sesuatu di dada yang hangat dan berat dalam waktu yang bersamaan.
"Kamu bilang kamu pemalu," lanjutnya,
"tapi aku lihat keberanian dalam cara kamu tetap datang ketemu aku, bahkan setelah hari yang melelahkan.
Kamu bilang kamu takut terlihat bodoh, tapi kamu tetap duduk di sebelahku, mendengarkan dengan penuh rasa ingin tahu."
Dia diam sebentar, matanya mencari mataku.
"Dan itu cukup, Kelly."
Aku menelan ludah pelan. Perasaanku campur aduk. Tapi semua yang dia ucapkan terasa benar.
Martin lalu menarik napas dalam-dalam dan berkata,
"Kalau kamu percaya sama aku, izinkan aku jadi orang yang nemenin kamu pelan-pelan keluar dari zona nyamanmu. Gak perlu terburu-buru, gak usah sempurna. Yang penting, kamu mau coba."
Martin menatapku dalam diam. Senyumnya tenang, tapi ada sesuatu di matanya yang tidak bisa kusebutkan… seperti seseorang yang sudah menyimpan sebuah rencana kecil di dalam hatinya.
“Suatu hari…” katanya pelan,
“aku ingin ajak kamu ke sebuah tempat.”
Aku mengerutkan kening.
“Tempat seperti apa?”
Dia mengangkat bahu kecil, masih tersenyum.
“Tempat yang belum pernah kamu bayangkan sebelumnya. Bisa jadi desa kecil di kaki gunung. Atau kota asing di ujung peta. Mungkin hutan tropis, atau danau dengan cermin langit.”
Aku tertawa kecil.
“Kedengarannya seperti mimpi.”
“Iya..... Tapi mimpi itu indah kalau dibagi. Aku ingin kamu melihat dunia seperti yang aku lihat. Dengan hati terbuka. Dengan langkah yang tidak ragu.”
Aku mengangguk pelan, belum yakin bisa, tapi juga tidak ingin menolaknya mentah-mentah.
Martin melanjutkan dengan nada suara yang lebih dalam.
“Kelly, kamu punya sesuatu dalam dirimu yang istimewa… tapi selama ini kamu terlalu sibuk bertahan, sampai kamu lupa caranya hidup penuh. Aku nggak minta kamu langsung berubah jadi petualang.... Aku cuma pengen kamu buka mata… lihat dunia dari jendela yang lebih luas. Karena kamu pantas melihat hal-hal indah di luar sana.”
Aku terdiam. Kata-katanya terasa seperti pelukan untuk hati yang lelah.
Dan aku tahu, di titik ini… aku mulai mau mencoba. Bukan karena dia memaksa, tapi karena dia percaya aku bisa.
Dan malam itu aku sadar… mungkin memang aku harus belajar jadi kupu-kupu.
Karena ada seseorang yang tidak ingin aku tetap di tanah, sementara sayapku sudah siap terbang.