"Revano! Papa minta kamu menghadap sekarang!"
Sang empu yang dipanggil namanya masih setia melangkahkan kakinya keluar dari gedung megah bak istana dengan santai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sari Rusida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9
Satu minggu berlalu setelah kejadian di Kafe Melati. Risya tidak pernah keluar dari kamarnya, tidak berselera menyentuh makanannya, bahkan untuk sekedar membersihkan diri pun ia enggan.
Kamar gadis sembilan belas tahun itu terlihat berantakan. Bekas tisu berserakan di mana-mana, selimutnya berserakan dan menyatu dengan sprai yang berguling di lantai. Gadis itu terlihat menyedihkan, sekarang tengah duduk meringkuk sambil memeluk lutut di sudut ranjang.
Tok! Tok! Tok!
Risya seakan tuli dengan ketukan pintu itu. Matanya terus terpejam dengan terus memeluk lututnya dan membenamkan wajahnya di sana.
Tok! Tok! Tok!
Ketukan yang tidak biasa. Orang yang akan memasuki kamar itu biasanya mengetuk pintu dengan diikuti suara.
Seperti, 'Risya, aku masuk, ya?' Itu biasanya Dita.
'Sayang, kamu baik-baik aja, 'kan?' Itu sudah jelas Mamanya.
'Risya, jangan bertindak bodoh hanya karena lelaki seperti Alex.' Kalimat itu jelas Papanya yang berucap.
Tapi kali ini? Kenapa tidak ada suara seseorang saat mengetuknya? Atau kalau mungkin, kan bisa langsung masuk ke dalam tanpa suara ketukan atau pun suara ucapan. Kalau itu biasanya adik Risya, Navis namanya.
Dug! Dug! Dug!
Suara kali ini lebih ke gedoran, bukan ketukan. Risya pun masih terlihat enggan membuka pintunya. Jangankan membuka, turun dari ranjangnya saja dia malas.
Ceklek!
Pintu terbuka, tidak terkunci. Seseorang yang memasuki kamar Risya terlihat menghembuskan nafas kasar sambil mengusap kasar rambutnya.
Ranjang Risya bergerak. Biasanya Risya akan mendengar seseorang berucap kala merasakan pergerakan ranjangnya. Baik itu dari Dita, Mamanya, Papanya, bahkan Navis sekali pun. Lalu, siapa yang menaik ranjangnya itu?
Risya merasakan kepalanya diusap. Gadis itu akhirnya mendongakkan kepalanya. Mata sembab dan pipi yang bertambah tirus menjadi objek pertama Revano kala menatap Risya.
Revano menarik kepala Risya dan membenamkan di dadanya, mengusap pelan punggung dan kepala gadis itu dengan kedua tangannya.
"Jangan dipendam sendiri. Apa guna orang di sekitar Anda ketika Anda dalam kondisi terpuruk?" Suara Revano masih terdengar dingin dan datar, namun itu mampu mengoyak pertahanan Risya untuk tidak mengeluarkan bulir bening.
Entah karena apa, mata Risya terasa memanas. Satu persatu bulir itu meluncur melalu pipi tirusnya, berlomba-lomba keluar dari kelopak mata yang terlihat sembab.
"Keluarkan. Itu bisa membuat rasa sesak Anda berkurang," Revano bergumam dengan tangan masih mengusap punggung dan kepala Risya. Suara tangis Risya bertambah besar, Revano membiarkan itu.
Beberapa saat kemudian Risya menarik kepalanya dari dekapan Revano. Dia mengusap sisa air mata di wajahnya menggunakan piyama tidur masih melekat di tubuhnya.
Revano berdiri dari duduknya. "Cepat mandi dan segera turun. Dalam waktu tiga puluh menit Anda belum menampakkan batang hidung di bawah, saya sendiri yang akan menyeret Anda ke kamar mandi."
Mata sembab Risya membola. Berani-beraninya lelaki di depannya ini mengancam dalam keadaan dia yang masih tidak memungkinkan untuk diajak bercanda. Tapi, memangnya Revano bercanda?
Risya hendak protes, namun tubuh tegap itu sudah lebih dulu menghilang dari balik daun pintu. Risya menghapus jejak air mata di wajahnya dengan kasar. Setelah itu ia segera berjalan ke kamar mandi dengan gontai. Mau bagaimana pun, ia tidak mau ancaman itu berubah menjadi kenyataan.
Beberapa saat kemudian Risya turun dengan penampilan lebih bagus. Baju kaos dengan bawahan kulot plisket menjadikan penampilan Risya lebih terlihat sederhana.
Tanpa menunggu lebih lama, Revano langsung menarik tangan Risya menuju meja makan. Risya tidak berniat memberontak, malas dalam diri gadis itu lebih mendominasi daripada egonya.
"Makan!"
Revano menarik kursi di meja makan yang di depannya sudah berada sepiring nasi dengan temannya. Risya mendorong piringnya. Dia belum selera makan.
"Apa perlu saya menyuapi Anda?" tanya Revano dengan nada dingin.
Risya menoleh malas, namun tidak berniat memegang sendok di atas piring itu. Revano menghembuskan nafas pelan. Kalau bukan karena perintah Putra, ia mungkin tidak berada di sini sekarang.
Revano segera duduk di sebelah Risya dan mengambil alih piring itu ke hadapannya. Sesendok nasi dengan lauknya sudah berada di depan bibir Risya. Sang empu terlihat masih enggan membuka mulutnya.
"Buka mulutmu atau aku yang membukanya sendiri!" Revano sudah terlanjur jengkel. Gadis di depannya ini membuat mood siangnya berantakan. Sampai posisinya sebagai bodyguard pun ia lupa.
Risya kembali meneteskan bulir bening kala mendengar ucapan Revano. Bukan ucapannya, sih, tapi nadanya yang terkesan tinggi. Ketahuilah, gadis di depan Revano ini memiliki sisi berbeda dalam dirinya. Dan saat ini, sisi hello kitty tengah bertahta di hati Risya, membuat gadis itu gampang mellow.
Revano meletakkan sendok kembali di tempatnya. Baiklah. Risya memang harus dibujuk secara lembut. Revano akan mencoba cara saat membujuk Reyna saat adiknya itu sedang merajuk.
Revano menghapus sisa air mata yang baru meluncur ke pipi Risya. Menarik pelan dagu gadis yang berstatus Nona-nya itu agar menghadapnya. Kemudian menatap manik hitam milik Risya lamat-lamat.
Huft ....
"Hisssh ..." Risya mengerjapkan matanya kala udara dari mulut Revano menghembus ke matanya. Revano tersenyum tipis, kemudian kembali mengambil sendok yang masih terisi nasi dengan lauknya.
"Aaa ..." Kali ini suara Revano terdengar sangat lembut. Bahkan Risya baru pertama kali mendengar Revano bersuara selembut itu. Biasanya hanya datar dan dingin.
Reflek saja, Risya mengikuti perintah Revano, membuka mulutnya. Satu suapan berhasil masuk ke dalam mulut Risya. Gadis itu mengunyahnya pelan dengan tatapan masih fokus ke Revano.
Sampai nasi di piring itu tandas, kedua makhluk itu masih diam seribu bahasa. Revano jelas karena tidak ingin berbicara, sedangkan Risya jelas karena masih bingung. Bingung kenapa ia menuruti perintah Revano. Padahal Dita dan kedua orangtuanya sudah membujuk ia seminggu terakhir.
Setelah memberikan air minum untuk Risya, Revano meminta Risya mengikuti langkahnya. Revano ingin membawa Risya kesuatu tempat.
"Kamu mau bawa aku ke mana?" Mood Risya yang sedikit membaik membuat gadis itu tidak segan bertanya.
"Suatu tempat."
"Iya, tapi di mana?" tanya Risya terus mengikuti Revano.
"Di bumi."
"Aku nggak niat nebak tempat itu ada di pluto, ya?" Gadis itu mulai kehilangan moodnya kembali.
"Tempat di mana Anda bisa tenang."
Risya tidak menjawab. Langkah keduanya mulai meninggalkan halaman rumah Risya. Mereka berdua berdiri di pinggir jalan. Revano segera menghentikan taxi kala melihat ada yang melintas.
"Mau ke mana, sih? Tempatnya jauh, ya?" tanya Risya sambil menggeser duduknya lebih ke ujung agar Revano bisa duduk di sebelahnya.
"Dekat."
Risya merenggut. Selalu saja setiap bicara dengan Revano jawaban yang diterimanya begitu singkat. Kalau bisa satu kata, ya hanya satu kata itu yang terucap. Memangnya tidak bisa dibikin kalimat? Risya membatin.
Tiga puluh menit kemudian mobil taxi berhenti. Risya sempat berfikir, kenapa tidak menggunakan mobil Papanya saja? Kan lebih hemat, tidak perlu membayar jasa taxi.
Tanpa berucap, Revano segera berjalan meninggalkan Risya yang masih di trotoar pinggir jalan. Revano terus berjalan hingga sampai di pinggir danau.
"Waw!" Risya berdecak kagum. Danau ini menghadap ke arah barat. Di pinggirnya terdapat pohon besar yang terlihat rimbun, menyejukkan.
Revano berjalan menuju satu-satunya pohon besar yang ada di pohon itu. Risya kembali membatin, 'Bukannya di mana-mana banyak tempat duduk? Kenapa dia memilih di bawah pohon?'
Tanpa berucap, Risya mengikuti langkah Revano. Kembali Risya dibuat terkejut oleh Revano. Di depan pohon rimbun ini juga terdapat tempat duduknya. Namun, bukan itu yang membuat Risya terkejut. Tapi sesuatu yang berada di tempat duduk itu.
"Bubu ...!"
Risya langsung berlari mendekati kursi panjang yang bisa diduduki dia orang itu. Di atasnya sudah terdapat boneka panda milik Risya yang terbawa ke Jakarta.
"K-kamu dari mana ketemu Bubu? Kok Bubu bisa di sini?" tanya Risya sedikit terbata.
Revano tidak menjawab. Lelaki itu memilih duduk di sebelah Risya yang tengah memeluk boneka panda besar yang besarnya hampir mengalahi sang pemilik.
'Untung Reyna berinisiatif menyimpan boneka ini,' batin Revano.
••••
Bersambung