NovelToon NovelToon
Mu Yao: Hidup Kembali Di Dunia Yang Berbeda

Mu Yao: Hidup Kembali Di Dunia Yang Berbeda

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi
Popularitas:9.1k
Nilai: 5
Nama Author: Seira A.S

Mu Yao, seorang prajurit pasukan khusus, mengalami kecelakaan pesawat saat menjalankan misi. Secara tak terduga, ia menjelajah ruang dan waktu. Dari seorang yatim piatu tanpa ayah dan ibu, ia berubah menjadi anak yang disayangi oleh kedua orang tuanya. Ia bahkan memiliki seorang adik laki-laki yang sangat menyayanginya dan selalu mengikutinya ke mana pun pergi.

Mu Yao kecil secara tidak sengaja menyelamatkan seorang anak laki-laki yang terluka parah selama perjalanan berburu. Sejak saat itu, kehidupan barunya yang mendebarkan dan penuh kebahagiaan pun dimulai!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seira A.S, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 15 : Naik Gunung Bareng Ayah

Setelah dua kali turun salju berturut-turut, akhirnya langit di Desa Xiao Nan kembali cerah. Matahari pagi pun muncul, membawa kehangatan dan semangat baru ke desa kecil yang sunyi ini.

Beberapa hari ini, Mu Yao hanya berdiam diri di rumah dan rasanya sudah gatal banget pengin keluar. Dari dulu dia memang tipe orang yang nggak betah diam. Begitu lihat matahari bersinar, dia langsung bangun dan merengek ke ibunya supaya cepat masak sarapan, biar bisa buru-buru naik gunung berburu.

Di musim dingin kayak gini, biasanya warga desa cuma makan dua kali sehari. Meski bangun pagi, mereka nggak langsung masak karena takut nanti sore keburu lapar sebelum waktu makan.

Liu Shi, ibunya, melihat putrinya sudah bersiap-siap mau ke gunung lagi, langsung merasa khawatir, “Yao Yao, saljunya sih memang udah berhenti, tapi udaranya masih dingin banget, jalan ke gunung juga pasti susah dilalui. Sekarang kita udah nggak kekurangan makanan lagi, gimana kalau nunggu lewat Tahun Baru dulu baru kamu naik gunung lagi?”

Sekarang, keluarga Mu memang udah mulai mengandalkan Mu Yao. Bisa dibilang, dia sekarang jadi tulang punggung keluarga. Urusan makan, pakai, semua udah nggak perlu ayah dan ibunya repot-repotin lagi, tinggal kerja aja cukup. Lagi pula, di rumah juga nggak ada kerjaan berat.

Sambil ganti baju, Mu Yao menjawab, “Ibu, meski di luar dingin, tapi kalau kita banyak gerak juga bakal hangat sendiri kok. Lagian aku pakai jaket tebal buatan Ibu, jadi nggak masalah. Walaupun kita sekarang udah nggak kekurangan, tapi simpanan uang kita belum banyak. Kalau aku bisa sering ke gunung, kita bisa cepet-cepet bangun rumah baru, ya kan? Tenang aja, Bu, aku kuat kok!”

Ayahnya, Mu Cheng, ikut bicara, “Anakku, sekarang badan Ayah udah pulih. Hari ini Ayah ikut kamu naik gunung. Meski Ayah nggak hebat-hebat amat, tapi tenaga Ayah masih ada. Bisa bantu bawa lebih banyak barang, kamu juga jadi nggak terlalu capek.”

Kata-katanya masuk akal. Melihat kemampuan Mu Yao berburu dan melatih adiknya Wu Xiao bela diri, Mu Cheng merasa kemampuannya malah kalah jauh. Tapi bagaimanapun juga, sehebat apapun putrinya, dia tetap anak kecil. Mana mungkin dia tenang membiarkan anaknya sendirian ke gunung sekarang? Dulu karena sakit, dia nggak bisa ikut. Sekarang tubuhnya udah sehat, masak iya masih biarin anak cewek sendirian ngadepin bahaya?

Liu Shi tadinya mau protes, "Emang pinggang kamu udah kuat?" Tapi begitu ingat perlakuan lembut suaminya akhir-akhir ini, wajahnya langsung memerah. Takut anaknya sadar, dia buru-buru kabur ke dapur. Mu Yao nggak terlalu memperhatikan ekspresi ibunya, bahkan kalaupun sadar, dia mungkin cuma akan merasa senang karena hubungan orang tuanya makin akur.

Setelah sarapan, Mu Yao dan ayahnya pun mulai mendaki gunung. Jalannya memang susah, ditambah lagi salju yang tebal bikin langkah jadi makin berat. Butuh hampir satu jam buat bisa sampai ke dalam hutan. Musim dingin kayak gini memang jarang ada orang desa yang naik gunung berburu, apalagi habis turun salju tebal. Tapi Mu Yao justru yakin hari ini bakalan dapat hasil bagus.

Mu Cheng sendiri pernah beberapa kali masuk ke hutan ini, tapi nggak pernah dapat buruan besar. Melihat anaknya tampak akrab dengan medan di sini, dia pun berpikir pasti anaknya sering ke tempat ini. Jadi dia tinggal ikut dari belakang dan pastikan nggak terjadi apa-apa.

Meski cuma setengah layak disebut pemburu veteran, keahlian memanah Mu Cheng masih paling jago se-desa. Padahal dulu dia bahkan nggak ngerti cara pakai busur. Hari ini dia juga bawa busurnya, walaupun cuma punya lima enam anak panah. Soalnya kalau panah yang ditembakkan nggak kena target, kadang susah banget nyarinya lagi. Tapi daripada nggak bawa sama sekali, mending dikit-dikit aja dulu. Dia juga bawa pisau tua yang bagian ujungnya agak rusak, tapi udah diasah jadi masih bisa dipakai walau bentuknya jelek.

Mu Cheng biasanya berburu pakai panah dan tenaga, soal gerakan lincah, refleks, dan pendengaran jelas kalah jauh dari Mu Yao. Buktinya baru jalan sebentar, Mu Yao langsung dengar ada suara binatang menginjak salju sekitar 100 meter di depan mereka. Dia cepat-cepat tarik ayahnya buat sembunyi di balik pohon pinus besar. Untung ibu mereka udah jahitin ujung celana mereka ke bagian atas sepatu, jadi salju nggak masuk dan kaki tetap hangat. Mereka juga nggak mau pakai sepatu baru, takut rusak kena semak, jadi yang dipakai sepatu lama aja.

Mu Cheng nggak tanya macam-macam, begitu berdiri tegak langsung siaga dengan panah di busur. Setelah beberapa menit, dia baru bisa dengar suara dari depan. Saat mengintip, dia lihat kepala besar seekor babi hutan muncul. Dulu dia pernah buru babi juga, tapi itu masih anakan, paling beratnya 100 kilo. Tapi yang ini, ukurannya mungkin tiga kali lipat! Dia sendiri nggak yakin bisa tembak mati dalam satu kali serangan. Tapi… tenang aja, masih ada anak ceweknya! Eh, tunggu… kok malah merasa bergantung sama anak sendiri? Kalau orang tahu, muka tua dia bakal ditaruh di mana? Tapi ya sudahlah, kalau anaknya hebat, sebagai ayah dia juga bangga dong!

Melihat ayahnya udah gatel banget pengin manah, Mu Yao langsung ngerti. Ini sama aja kayak orang kecanduan main mahjong, liat meja langsung pengin main. Jadi dia biarin ayahnya yang coba dulu, sambil tetap siaga dengan cambuk panjangnya, waspada kalau-kalau ada hal tak terduga.

Begitu babi hutan masuk jangkauan, Mu Cheng tarik busurnya, mengincar leher sebelah kanan. Anak panah melesat—kena sih, tapi cuma nyangkut doang, nggak nembus! Mungkin karena udah lama nggak berburu atau karena kulit babi ini tebal banget. Pokoknya, panahnya jatuh ke salju.

Babi itu awalnya nggak sadar ada orang. Dia cuma cari makan. Tapi tiba-tiba lehernya kena panah, ya walau nggak sakit, tapi itu tetap dianggap serangan! Langsung aja si babi marah dan lari ke arah mereka.

Mu Cheng buru-buru ambil panah kedua dan tembak lagi, tapi sialnya malah meleset, cuma lewat di atas kepala babi. Si babi makin ngamuk, bulunya sampai berdiri semua. Kayaknya dia mikir, “Apa-apaan ini? Lo kira gue tikus sakit?!” Kali ini dia lari lebih cepat!

Mu Cheng juga bingung, biasanya tembakan kedua minimal bikin luka lah. Tapi ini malah makin parah. Dia buru-buru ambil panah ketiga, belum sempat dipasang ke busur, udah direbut Mu Yao.

“Ayah, biar aku aja!”

Mu Yao sebenarnya juga jago manah, cuma jarang dipakai. Dia bahkan nggak keliatan niat ngincar, langsung tarik dan… wusss! Panah itu nancep tepat di mata kiri si babi! Meski kulit babi tebal, tapi matanya tetap lemah. Babi itu langsung ngeluh keras, belum sempat selesai ngeluh, Mu Yao udah kirim panah kedua—dan kali ini, langsung ke mulutnya! Panah itu menembus dari mulut sampai ke belakang leher. Si babi pun tumbang dan nggak bergerak lagi.

Mu Yao dan ayahnya mendekat, memastikan si babi benar-benar mati. Mu Cheng lalu mencari dua panah yang tadi meleset—untung masih bisa ditemukan. Saat dia coba ambil panah dari mulut si babi, dia sampai bengong. Panah itu benar-benar nembus dari mulut sampai tembus leher belakang! Dia kagum banget. Anak perempuannya ini... nggak main-main!

Mu Yao langsung menghentikan ayahnya, “Ayah, panahnya nanti aja diambil pas udah sampai rumah. Kalau sekarang dicabut, nanti darahnya keluar banyak dan malah menarik binatang buas lain.”

Sebenarnya kemungkinan muncul hewan buas di sekitar sini kecil, tapi tetap harus hati-hati. Mu Yao sendiri sih nggak takut, tapi kalau sampai ayahnya kenapa-kenapa, dia pasti nyesel. Lagi pula dapat satu babi segede ini udah cukup banget. Jangan serakah.

Mu Cheng langsung tepuk paha, “Iya ya, kok bisa lupa hal sepenting itu?” Mu Yao menutup bekas darah di salju pakai salju bersih supaya nggak terlalu bau amis. Lalu, dia keluarkan tali dari ransel dan bikin simpul hidup di kepala babi.

“Ayah, kita tarik pakai tali aja. Jadi nggak terlalu capek. Lagian saljunya tebal, jadi nggak bakal bikin dagingnya rusak.”

Mu Cheng setuju banget. Mereka pun masing-masing pegang satu ujung tali dan mulai turun gunung.

Dalam perjalanan pulang, mereka pilih jalan yang lebih lebar dan mudah dilewati. Setelah jalan cukup lama, mereka sampai di lereng gunung yang terlindung dari angin. Di sana ada beberapa pohon hijau, termasuk pinus yang dikenali Mu Yao. Tempat itu bentuknya agak melengkung, mirip gua kecil alami. Salju di tanah juga tipis, bahkan kelihatan warna hijau dari bawahnya. Di gunung yang nggak terlalu dingin ini, pemandangan hijau begini wajar banget.

Karena ayahnya udah kelihatan capek, Mu Yao mutusin buat istirahat dulu sebentar. Mu Cheng mau bersihin tempat duduk buat anaknya, tapi baru aja liat, eh si anak malah duduk langsung di atas badan babi hutan itu!

1
Aisyah Suyuti
baguss
Seira A.S: makasih kak
total 1 replies
The first child
semangat terus nulisnya thor..
Seira A.S: makasih kak
total 1 replies
Andira Rahmawati
lanjut thorr...semangat....
Seira A.S: insyaallah kak
total 1 replies
Andira Rahmawati
coba punya ruang dimensi atai sistem..
Seira A.S: gak punya kak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!