'Ketika dunia menolak keberadaannya, Bumi sendiri memilih dia sebagai kaki tangannya'
---
Raka Adiputra hanyalah remaja yatim piatu yang lahir di tengah kerasnya jalanan Jakarta. Dihantam kemiskinan, ditelan ketidakadilan, dan diludahi oleh sistem yang rusak-hidupnya adalah potret kegagalan manusia.
Hingga suatu hari, petir menyambar tubuhnya dan suara purba dari inti bumi berbicara:
"Manusia telah menjadi parasit. Bersihkan mereka."
Dari anak jalanan yang tak dianggap, Raka berubah menjadi senjata kehancuran yang tak bisa dihentikan-algojo yang ditunjuk oleh planet itu sendiri untuk mengakhiri umat manusia.
Kini, kota demi kota menjadi medan perang. Tapi ini bukan tentang balas dendam semata. Ini tentang keadilan bagi planet yang telah mereka rusak.
Apakah Raka benar-benar pahlawan... atau awal dari akhir dunia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aziraa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 11: Paris, Kota Cahaya yang Terpadamkan
--- Dunia yang Terguncang
Matahari terbit di balik awan debu dan abu yang menyelubungi bekas kepulauan Nusantara, melukis langit dengan warna merah darah yang mengerikan. Dari ketinggian tiga puluh ribu meter, Raka dan Eva melayang dalam keheningan yang mengerikan, mengamati pemandangan apokaliptik yang telah mereka ciptakan. Di bawah sana, Indonesia—sebuah bangsa dengan hampir tiga ratus juta jiwa—kini tak lebih dari reruntuhan yang mengepul, lautan lumpur vulkanik, dan tanah yang ambles membentuk kawah-kawah raksasa. Sebuah kuburan massal yang membentang dari Sabang hingga Merauke.
Dampak kehancuran merambat keluar dari Asia Tenggara seperti gelombang kejut yang tak terbendung. Di Kuala Lumpur, gedung-gedung pencakar langit Petronas Towers masih gemetar pasca-gempa berkekuatan 9.2 skala Richter, retakan-retakan menjalar di dinding kaca seperti jaring laba-laba raksasa. Air tsunami yang berwarna hitam pekat mulai surut dari jalanan, meninggalkan bangkai mobil, puing bangunan, dan ribuan jasad yang tersangkut di antara reruntuhan. Bandara internasional lumpuh total, dengan pesawat-pesawat terbalik seperti mainan anak-anak yang dibuang sembarangan.
Di Singapura, Marina Bay Sands miring berbahaya, sebagian struktur bawahnya ambles ke dalam tanah yang telah mengalami likuifaksi. Changi Airport, kebanggaan Asia Tenggara, kini tenggelam di bawah lumpur dan air laut yang bercampur abu vulkanik. Pesawat-pesawat Boeing dan Airbus tergeletak seperti bangkai paus di landasan yang retak, sementara menara kontrolnya roboh menimpa terminal utama.
Di Darwin, Australia, langit berwarna oranye pekat seperti planet Mars akibat abu vulkanik yang terbawa angin dari Indonesia. Kota pelabuhan ini lumpuh total, dengan warga yang mengenakan masker darurat berlarian mencari tempat berlindung. Rumah sakit kewalahan menangani pasien dengan gangguan pernapasan akut, sementara bandara domestik ditutup karena visibilitas nol.
Jauh di seberang benua, New York City mengalami kepanikan massal yang belum pernah terjadi dalam sejarah modern. Times Square, yang biasanya ramai dengan turis dan lampu neon, kini dipenuhi kerumunan orang yang menatap layar raksasa dengan wajah pucat. Bursa saham di Wall Street anjlok hingga minus 40% dalam satu hari—keruntuhan terparah sejak 1929. Bank-bank mulai membatasi penarikan tunai, memicu antrean panjang yang berujung pada kerusuhan kecil di beberapa sudut kota.
"Ini bukan hanya krisis ekonomi," bisik seorang analis keuangan senior di Goldman Sachs, tangannya gemetar saat menatap grafik yang terus merosot. "Ini keruntuhan sistemik. Jika seseorang bisa menghancurkan seluruh negara dalam hitungan jam, maka tidak ada investasi yang aman. Tidak ada yang aman."
Di London, antrean di supermarket Tesco dan Sainsbury's membentang hingga berblok-blok. Rak-rak kosong, barang kaleng dan air mineral habis dalam hitungan jam. Warga berbondong-bondong menguras ATM, memicu kelangkaan tunai. Perdana Menteri Inggris mengadakan rapat darurat dengan kabinet, namun yang mereka hasilkan hanya kebingungan dan saling tuduh.
"Ini serangan terkoordinasi," suara Menteri Pertahanan terdengar tegang dalam rapat tertutup di Downing Street. "Pola kehancurannya terlalu presisi. Erupsi vulkanik simultan di seluruh kepulauan, gempa beruntun yang mengikuti garis patahan dengan sempurna, tsunami yang melingkupi dengan timing yang mustahil untuk bencana alam. Ini adalah demonstrasi kekuatan dari entitas yang tidak kita pahami."
Di Beijing, Presiden China mengadakan rapat darurat dengan Politbiro. Ruang konferensi yang megah itu kini dipenuhi suasana mencekam. "Jika Indonesia—dengan sistem pertahanan dan intelijen yang cukup baik—bisa dihancurkan tanpa peringatan, bagaimana dengan kita?" tanya seorang anggota Politbiro. "Kita harus segera mengidentifikasi ancaman ini dan merespons sebelum terlambat."
Namun yang mereka tidak sadari, sistem intelijen mereka telah diracuni dari dalam. Para agen yang telah Raka kompromikan kini menyebarkan informasi palsu, menciptakan paranoid yang lebih dalam di antara para pemimpin dunia.
Di Pentagon, suasana perang dingin kembali terasa. Jenderal-jenderal senior menatap peta dunia dengan wajah pucat, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi. Satelit militer Amerika menunjukkan gambar-gambar yang mengerikan dari Indonesia—tanah yang ambles membentuk jurang sedalam ratusan meter, lautan api yang menyala di bekas kota-kota besar, dan awan abu vulkanik yang menutupi area seluas Texas.
"Ini bukan senjata nuklir, bukan senjata biologi, bukan juga senjata kimia," seorang ahli strategi militer menggelengkan kepala. "Ini adalah manipulasi alam itu sendiri. Siapa pun yang memiliki teknologi ini bisa menghancurkan peradaban manusia tanpa meninggalkan jejak radioaktif atau kontaminasi yang bisa kita lacak."
Presiden Amerika Serikat dipaksa masuk ke bunker bawah tanah di bawah Gedung Putih, sementara DEFCON dinaikkan ke level 2—satu tingkat di bawah perang nuklir. Namun yang membuat frustrasi, tidak ada musuh yang bisa mereka identifikasi. Tidak ada negara yang mengklaim serangan. Tidak ada tuntutan politik. Hanya kehancuran murni yang datang tanpa peringatan.
---
"Mereka telah melihat," bisik Eva, suaranya tenang namun mengandung kepuasan yang mengerikan. Ia menunjuk ke arah barat, ke arah benua Eropa yang mulai diterangi cahaya fajar. Dari ketinggian ini, benua tua itu tampak seperti permadani kuno yang terbentang—kota-kota bersejarah dengan cahaya lampu yang berkilauan, jejak peradaban yang telah berdiri selama ribuan tahun. "Mereka telah merasakan ketakutan yang sesungguhnya. Sekarang saatnya menunjukkan siapa yang berkuasa."
Raka mengangguk, merasakan bisikan Bumi yang semakin kuat dalam benaknya—sebuah nyanyian purba yang menuntut pembersihan. Suara itu bukan lagi bisikan, melainkan teriakan yang menggelegar dalam jiwanya. *Bersihkan mereka. Musnahkan parasit-parasit itu. Kembalikan keseimbangan.*
Raka tidak merasakan empati untuk kepanikan yang melanda dunia. Hanya tujuan yang semakin jelas. Manusia adalah kanker. Mereka harus dimusnahkan agar Bumi bisa bernapas lagi.
"Eropa adalah target selanjutnya," Eva mengumumkan, matanya berkilat dengan antisipasi yang mengerikan. "Mereka adalah benua tua dengan sejarah penindasan dan eksploitasi global. Paris, London, Berlin—kota-kota yang dibangun dengan kekayaan yang dirampas dari seluruh dunia. Mereka akan merasakan balasannya."
Eva mengulurkan tangannya, dan jet pribadi yang mereka tumpangi mulai berubah bentuk. Permukaan metalik berkilau mulai mengalir seperti merkuri, membentuk sayap yang lebih aerodinamis dan mesin yang memancarkan energi biru terang. Ini bukan lagi teknologi manusia biasa—ini adalah manifestasi dari kekuatan yang melampaui pemahaman sains modern.
"Kita mulai dari Paris," Eva melanjutkan, senyum tipis tersungging di bibirnya. "Kota Cahaya. Simbol romantisme dan kemewahan yang dibangun di atas tulang-belulang korban kolonialisme. Mereka akan menjadi yang pertama merasakan kegelapan yang sesungguhnya."
---
Fajar Kehancuran di Kota Cahaya
Jet pribadi Eva melaju menembus atmosfer dengan kecepatan yang melampaui jet tempur tercepat, menciptakan gelombang sonik yang mengguncang udara di sepanjang jalur penerbangan mereka. Dari ketinggian stratosfer, mereka melintasi benua Eurasia dalam hitungan menit, melewati padang salju Siberia, pegunungan Ural, dan dataran Eropa Timur yang tertutup kabut pagi.
Raka menatap ke bawah, mengamati perubahan lanskap. Di belakang mereka, asap dan abu dari kehancuran Indonesia masih terlihat di cakrawala timur—sebuah noda gelap yang mengingatkan pada apa yang telah mereka lakukan. Di depan, Eropa tampak begitu damai, begitu tidak menyadari malapetaka yang mendekat.
Dari ketinggian ini, Eropa tampak seperti mosaik sejarah yang indah—kota-kota medieval dengan katedral gotik yang menjulang, kastil-kastil yang bertengger di atas bukit, dan sungai-sungai yang berkelok seperti ular perak. Namun di mata Raka, pemandangan itu berubah menjadi sesuatu yang berbeda. Ia melihat jejak-jejak keserakahan: pelabuhan-pelabuhan yang pernah mengirim kapal-kapal budak, istana-istana yang dibangun dengan emas dari Amerika Selatan, museum-museum yang penuh dengan artefak yang dicuri dari Afrika dan Asia.
"Lihat bagaimana mereka hidup dalam kemewahan," bisik Eva, seolah membaca pikiran Raka. "Setiap batu di katedral-katedral mereka dibayar dengan darah para budak. Setiap lukisan di museum mereka dibeli dengan emas yang dirampas. Mereka menyebut diri mereka beradab, tetapi peradaban mereka dibangun di atas penderitaan."
Raka merasakan amarah yang semakin menggebu. Bukan hanya amarah pribadi atas penderitaannya sendiri, tetapi amarah kolektif dari semua korban yang pernah dieksploitasi oleh sistem kolonial Eropa. Ia bisa merasakan jeritan para budak yang diangkut dalam kapal, tangisan anak-anak yang dipisahkan dari orang tua mereka, dan dendam para pekerja paksa di perkebunan dan tambang.
"Mereka akan merasakan apa yang mereka berikan kepada dunia," gumam Raka, tangannya mulai bergetar karena energi primordial yang mengalir dalam tubuhnya. "Keputusasaan, kehancuran, dan kematian."
Paris mulai terlihat di cakrawala—sebuah kota yang menyebar di tepi Sungai Seine, dengan Menara Eiffel menjulang seperti jarum raksasa yang menusuk langit. Matahari pagi memantulkan cahaya emas di atap-atap zinc dan kaca jendela-jendela Haussmanian, menciptakan pemandangan yang memesona. Kota itu berdesir dengan kehidupan—jutaan orang yang memulai hari mereka, tidak menyadari bahwa ini mungkin hari terakhir mereka.
"Paris," Eva mengucapkan nama itu seperti mantra kutukan. "Kota yang mengklaim diri sebagai pusat peradaban dan pencerahan. Mereka lupa bahwa pencerahan mereka dibayar dengan kegelapan yang mereka sebarkan ke seluruh dunia."
Raka mengulurkan kedua tangannya, energi primordial mulai mengalir dari dalam tubuhnya. Kali ini, tidak ada lagi keraguan atau pertimbangan moral. Ia telah melihat bagaimana kehancuran total Indonesia mengguncang dunia, membuat para pemimpin dunia berlutut dalam ketakutan. Paris akan menjadi pengingat yang lebih dekat dan lebih personal—sebuah pesan yang tidak bisa diabaikan.
---
Di Paris, pagi itu adalah pagi yang biasa. Matahari merayap naik di atas cakrawala timur, menyinari kota dengan cahaya keemasan yang lembut. Di sekitar Menara Eiffel, turis-turis pagi hari mulai berkerumun, mengambil foto-foto dengan latar belakang ikon paling terkenal di dunia. Kafe-kafe di Champs-Élysées mulai membuka, aroma croissant dan kopi yang baru diseduh menyebar di udara pagi yang sejuk.
Genevieve Moreau, seorang mahasiswa seni berusia 23 tahun, sedang duduk di sebuah kafe kecil di Latin Quarter, membaca buku tentang sejarah seni Renaissance sambil menikmati café au lait-nya. Ia telah menghabiskan sebagian besar hidupnya di Paris, dan setiap sudut kota ini terasa seperti perpanjangan dari jiwanya. Setiap bangunan tua, setiap patung di alun-alun, setiap lukisan di Louvre adalah bagian dari identitas yang membuatnya merasa hidup.
Langit di atas Paris masih biru jernih, hanya dihiasi beberapa awan putih yang bergerak perlahan. Angin pagi bertiup lembut, menggerakkan daun-daun platanus di sepanjang boulevard. Semuanya normal. Semuanya damai.
Namun tiba-tiba, angin berhenti.
Genevieve mendongak dari bukunya, merasakan keheningan yang aneh. Burung-burung berhenti berkicau. Lalu lintas di jalan seolah terhenti dalam waktu. Bahkan percakapan di kafe-kafe di sekitarnya menjadi bisikan yang samar.
Lalu langit mulai berubah.
Awan-awan putih yang semula bergerak perlahan tiba-tiba berputar seperti pusaran air yang mengalir ke saluran pembuangan. Warnanya berubah dari putih bersih menjadi abu-abu gelap, lalu ungu tua, dan akhirnya hitam pekat seperti aspal. Pusaran awan itu bergerak semakin cepat, membentuk spiral raksasa di atas kota dengan pusat yang mengerikan—sebuah mata badai yang berdiameter puluhan kilometer.
Udara mulai bergetar. Bukan getaran biasa, tetapi resonansi yang aneh, seperti suara bass yang sangat rendah hingga lebih dirasakan daripada didengar. Gelas-gelas di atas meja kafe mulai bergetar, menciptakan bunyi dentingan yang tidak harmonis.
Genevieve merasakan rambut di tengkuknya berdiri tegak. Muatan listrik statis di udara begitu kuat hingga ia bisa merasakan kulit kelingking di lengannya. Orang-orang di sekitarnya mulai saling menatap dengan ekspresi bingung dan cemas.
"Qu'est-ce qui se passe?" bisik seorang pria tua di meja sebelah, matanya menatap ke atas dengan was-was.
Lalu hujan es mulai turun.
Bukan hujan es biasa yang sesekali terjadi di musim semi. Ini adalah bongkahan-bongkahan es sebesar bola golf, bahkan ada yang sebesar bola tenis, jatuh dari ketinggian ribuan meter dengan kecepatan terminal yang mematikan. Suara pertama yang terdengar adalah 'thunk' keras saat sebuah bongkahan es menghantam atap mobil Peugeot di seberang jalan, menciptakan penyok besar di kap mesin.
Kemudian hujan es itu berubah menjadi bombardir.
Bongkahan-bongkahan es jatuh seperti peluru dari surga, menghantam segala sesuatu dengan kekuatan yang menghancurkan. Kaca-kaca mobil pecah berkeping-keping, atap genteng hancur dengan suara gemeretak yang mengerikan, dan orang-orang di jalanan berlarian mencari perlindungan sambil menjerit ketakutan.
Sebuah bongkahan es seukuran batu bata menghantam jendela kafe tempat Genevieve duduk. Kaca tebal itu pecah menjadi ribuan serpihan, tersebar di atas meja dan lantai seperti berlian yang berkilauan. Ia merangkak di bawah meja, jantungnya berdegup kencang, sementara suara hantaman es di atap café terdengar seperti tembakan senapan mesin yang tak henti-hentinya.
Namun hujan es hanyalah pembuka.
Dari pusaran awan hitam yang berputar ganas di atas Paris, kilatan-kilatan petir mulai menyambar. Bukan petir biasa yang menyambar secara acak, tetapi tombak-tombak cahaya yang dikendalikan dengan presisi mematikan, menyasar setiap bangunan ikonik dengan akurasi yang mustahil.
CRASH! Sambaran pertama menghantam puncak Menara Eiffel. Cahaya biru-putih yang membutakan mata menyorot selama beberapa detik, diikuti oleh ledakan yang memekakkan telinga. Bagian atas menara—yang terbuat dari besi yang telah berdiri selama lebih dari seabad—mulai meleleh dan terdistorsi seperti lilin di bawah api.
CRASH! Sambaran kedua menghantam kubah Panthéon, menghancurkan strukturnya yang klasik menjadi puing-puing batu dan debu.
CRASH! Arc de Triomphe, simbol kemenangan Napoleon, retak dari atas hingga bawah seperti telur yang pecah, lalu runtuh dalam gemuruh yang menggelegar.
Genevieve, yang masih bersembunyi di bawah meja, merasakan air mata mengalir di pipinya. Ia tidak menangis karena takut—ia menangis karena melihat jiwanya, identitasnya, kota yang ia cintai, hancur di hadapan matanya dalam hitungan menit.
"Ini tidak mungkin," bisiknya, suaranya hilang di tengah gemuruh petir dan hujan es yang tak henti-hentinya. "Ini... ini bukan bencana alam."
Tanah mulai bergetar. Tidak seperti gempa biasa yang dimulai perlahan lalu mencapai puncak, getaran ini langsung kuat dan terkoordinasi. Jalanan aspal mulai retak dengan pola yang aneh—bukan retakan acak seperti gempa biasa, tetapi garis-garis geometris yang membentuk lingkaran konsentris dengan pusat di jantung kota.
Place de la Concorde, alun-alun bersejarah tempat guillotine pernah memenggal kepala Marie Antoinette, tiba-tiba terbelah menjadi dua. Retakan raksasa sepanjang ratusan meter dan sedalam puluhan meter membuka seperti mulut bumi yang haus darah. Obelisk Luxor, monumen berusia 3.000 tahun yang dibawa dari Mesir, terjungkal ke dalam jurang yang baru terbentuk.
Di Louvre, piramida kaca karya I.M. Pei mulai bergetar hebat. Kaca-kacanya pecah satu per satu, jatuh seperti hujan kristal yang mematikan ke lantai museum di bawahnya. Di dalam museum, lukisan-lukisan tak ternilai—Mona Lisa, Venus de Milo, Winged Victory of Samothrace—terguncang dari dinding dan podium mereka.
Sungai Seine, yang biasanya mengalir tenang melewati jantung kota, tiba-tiba bergelombang seperti laut dalam badai. Air coklat berlumpur naik hingga meluap ke quai-quai bersejarah, menyeret mobil-mobil dan menelan taman-taman di sepanjang tepi sungai.
Raka melayang di ketinggian, mengamati kekacauan yang ia ciptakan dengan kepuasan yang dingin. Ia tidak hanya menyebabkan kehancuran fisik—ia juga menyerap gelombang kepanikan yang menyebar di antara jutaan penduduk Paris. Ketakutan murni, kebingungan total, jeritan yang tak terkoordinasi. Ia mengubah emosi-emosi itu menjadi bahan bakar untuk amarahnya, sebuah siklus destruktif yang semakin menguat.
"Kalian membangun monumen untuk kesombongan kalian," suara Raka bergema dari langit, tidak terdengar oleh telinga manusia, namun terasa dalam setiap getaran yang menghancurkan. "Kalian menciptakan museum untuk menampilkan hasil jarahan kalian. Sekarang, semuanya akan kembali menjadi debu."
Dengan gerakan tangannya, Raka memanipulasi tekanan udara di sekitar Katedral Notre Dame. Bangunan gotik yang telah berdiri selama 800 tahun itu mulai bergetar dari dalam. Batu-batu berusia berabad-abad mulai terlepas dari struktur utama, jatuh seperti hujan meteor ke halaman katedral. Rose window yang indah, mahakarya seni kaca patri abad pertengahan, pecah berkeping-keping dengan suara seperti lonceng yang retak.
Kemudian, dengan satu gerakan final, Raka menekan udara di sekitar katedral dengan kekuatan yang luar biasa. Notre Dame—simbol iman, seni, dan sejarah Prancis—runtuh dalam ledakan debu dan puing yang menggelegar. Menara-menara kembarnya ambruk seperti raksasa yang tersungkur, menghancurkan bangunan-bangunan di sekitarnya.
---
*Sudut Pandang Genevieve*
Genevieve merangkak keluar dari kafe yang kini setengah hancur, atap bagian belakangnya roboh ditimpa balok-balok kayu dan serpihan kaca. Jalanan Paris yang biasanya ramai dengan turis dan warga lokal kini berubah menjadi medan perang. Mobil-mobil terbalik dan terbakar, pohon-pohon tumbang menutupi jalan, dan puing-puing bangunan berserakan di mana-mana.
Yang lebih mengerikan adalah orang-orang. Ribuan warga Paris berlarian tanpa arah, wajah mereka penuh dengan ketakutan dan kebingungan yang tak terbayangkan. Seorang ibu menggendong anaknya yang berlumuran darah, berlari sambil menangis histeris. Seorang pria tua terduduk di tengah jalan, menatap kosong ke arah Menara Eiffel yang kini tinggal separuh, bagian atasnya meleleh dan bengkok seperti logam yang dipanaskan.
Genevieve melihat ke atas, ke arah langit. Pusaran awan badai masih berputar seperti tornado raksasa, dan dari pusaran itu, kilatan petir terus menyambar setiap sudut kota dengan kekuatan yang menghancurkan. Ini bukan fenomena alam. Ini adalah sesuatu yang jauh lebih mengerikan—sebuah kekuatan yang sengaja, yang disadari, yang ingin menghancurkan segala yang indah dan bermakna.
"Pourquoi?" ia berteriak ke langit, suaranya hilang di tengah gemuruh petir dan jeritan orang-orang di sekitarnya. "Pourquoi nous?"
Ia mencoba berjalan menuju apartemennya di Montmartre, tetapi jalan-jalan yang biasa ia lalui kini tidak bisa dikenali. Pont Neuf, jembatan tertua di Paris, retak di tengah-tengahnya dan sebagian sudah runtuh ke dalam Seine. Boulevard Saint-Germain terbelah oleh retakan raksasa yang mengeluarkan uap panas dari dalam tanah.
Saat ia melewati reruntuhan sebuah toko buku tua yang sering ia kunjungi, Genevieve terhenti. Buku-buku berserakan di jalanan, halaman-halamannya beterbangan seperti burung yang terluka. Ia mengambil sebuah buku yang masih utuh—sebuah katalog pameran lukisan Impressionis. Sampulnya menampilkan lukisan Monet tentang Katedral Rouen yang indah, berseri dalam cahaya matahari.
Ia menatap lukisan itu, lalu mengangkat kepalanya untuk melihat kenyataan di sekitarnya. Tidak ada lagi keindahan. Tidak ada lagi seni. Tidak ada lagi cahaya. Hanya kehancuran yang mutlak dan kegelapan yang mencekam.
"Mereka menghancurkan jiwa kita," bisiknya, suaranya serak karena menghirup debu dan asap. "Mereka tidak hanya menghancurkan bangunan. Mereka menghancurkan siapa kita."
---
Dunia dalam Kepanikan Total
Di London, studio Sky News yang biasanya tertib dan profesional kini dipenuhi kekacauan. Reporter Emily Clark, yang dikenal karena ketenangannya dalam situasi krisis, kini berdiri di depan kamera dengan tangan gemetar dan suara yang bergetar.
"Kami... kami mendapatkan laporan yang mengerikan dari Paris," ia berkata, mencoba mempertahankan profesionalisme meski matanya penuh dengan ketakutan. Di belakangnya, layar raksasa menampilkan gambar-gambar satelit yang mengerikan dari Paris—Menara Eiffel yang hancur setengah, Louvre yang atapnya roboh, dan Notre Dame yang tinggal puing-puing.
"Seluruh kota sedang dilanda... kami tidak tahu harus menyebutnya apa. Badai petir yang belum pernah terjadi sebelumnya, gempa bumi dengan pola yang tidak wajar, dan hujan es raksasa yang menghancurkan segala sesuatu. Komunikasi dengan Paris terputus hampir total, namun gambar satelit menunjukkan kehancuran yang..." ia berhenti, menelan ludah dengan susah payah, "...yang mustahil untuk dijelaskan dengan fenomena alam."
"Ini terjadi kurang dari 24 jam setelah kehancuran total Indonesia. Dunia bertanya-tanya... apa yang sedang terjadi? Siapa yang memiliki kekuatan seperti ini? Dan yang paling menakutkan... di mana mereka akan menyerang selanjutnya?"
Di Berlin, Kolonel Hans Richter menatap layar monitor di pusat komando militer NATO dengan mata yang membelalak ngeri. Peta Eropa di layar berkedip-kedip dengan titik merah di Paris, indikator kehancuran massal yang terus bertambah setiap detik.
"Mein Gott," bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar. "Paris... sama persis dengan Jakarta, dengan seluruh Indonesia. Skala yang sama, pola yang sama, presisi yang sama. Ini bukan bencana alam. Ini adalah..."
Ia berhenti, tidak berani melanjutkan kalimatnya. Tetapi semua orang di ruangan itu tahu apa yang ia pikirkan. Ini adalah demonstrasi kekuatan dari sesuatu atau seseorang yang melampaui pemahaman manusia. Sebuah ancaman eksistensial yang bisa menghapus peradaban manusia dari muka bumi.
Kolonel Richter mencoba menghubungi markas pertahanan Prancis, namun semua jalur komunikasi terputus. Sistem satelit militer menunjukkan area Paris tertutup oleh awan badai yang tidak normal, mengganggu semua sinyal elektronik.
"Siapa pun yang melakukan ini," ia berkata kepada para perwira di sekelilingnya, "mereka tidak hanya memiliki senjata pemusnah massal. Mereka memiliki kendali atas alam itu sendiri. Dan jika mereka bisa menghancurkan Paris dalam hitungan jam, maka tidak ada kota di Eropa yang aman."
Di seluruh dunia, pemimpin-pemimpin negara mulai mengadakan rapat darurat. Presiden Amerika Serikat, yang sudah berada di bunker bawah tanah sejak kehancuran Indonesia, kini mempertimbangkan untuk mengaktifkan protokol kontinuitas pemerintahan—rencana darurat untuk memindahkan pemerintahan ke lokasi yang lebih aman.
"Dua negara besar telah dihancurkan dalam waktu kurang dari 24 jam," kata Menteri Pertahanan Amerika dalam rapat tertutup. "Indonesia dan sekarang Prancis. Pola serangan menunjukkan bahwa ini bukan aksi teroris biasa atau bahkan serangan negara musuh. Ini adalah sesuatu yang benar-benar baru. Sesuatu yang melampaui akal sehat.