Demi melunasi utang ayahnya yang menumpuk, Rumi rela menikah kontrak dengan Radit, duda kaya raya yang kehilangan istrinya tiga tahun silam karena perceraian.
Bagi mereka, pernikahan ini tak lebih dari sekadar kesepatakan. Rumi demi menyelamatkan keluarganya, Radit demi menenangkan ibunya yang terus mendesak soal pernikahan ulang. Tak ada cinta, hanya kewajiban.
Namun seiring waktu, Rumi mulai bisa melihat sisi lain dari Radit. Pria yang terluka, masih dibayang-bayangi masa lalu, tapi perlahan mulai membuka hati.
Saat benih cinta tumbuh di antara keterpaksaan, keduanya dihadapkan pada kenyataan pahit, semua ini hanyalah kontrak. Dan saat hati mulai memiliki rumah, mereka harus memilih. Tetap pada janji atau pergi sebelum rasa itu tumbuh semakin dalam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NurAzizah504, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15. Tes Kehamilan
Matahari pagi menyelinap lembut melalui celah tirai kamar yang masih tertutup sebagian. Udara sejuk dan aroma kopi dari pelayan hotel yang baru saja mengantarkan sarapan mengisi ruangan. Di atas ranjang yang luas, Rumi membuka matanya perlahan. Pandangannya langsung tertuju pada sosok Radit yang masih tertidur di sampingnya.
Wajah suaminya terlihat begitu tenang, napasnya teratur, dan satu lengannya masih melingkar santai di pinggang Rumi. Melihat itu, Rumi tersenyum kecil, lalu mendekat dan mengecup kening Radit dengan lembut.
"Mas," bisiknya manja, "udah pagi."
Radit bergumam pelan sebelum membuka matanya perlahan. Senyum tipis langsung terukir di wajahnya begitu melihat Rumi begitu dekat. Ia menarik Rumi ke pelukannya sebentar dan berucap dengan suara serak karena baru bangun, "Selamat pagi, istriku yang cantik."
Rumi hanya terkekeh kecil sambil menyembunyikan wajahnya di dada Radit. Keduanya menikmati momen itu dalam diam, sebelum akhirnya memutuskan bangun dan bersiap sarapan di balkon kamar.
Suasana terasa begitu damai. Pagi yang indah, udara yang bersih, dan aroma kopi hangat menyatu sempurna dengan kehangatan mereka berdua. Namun, momen itu berubah drastis saat suara dering ponsel Radit memecah keheningan.
Radit menoleh ke arah meja, meraih ponselnya. Wajahnya langsung mengernyit ketika melihat nama Bi Mirna, pengurus rumah tangga yang tinggal bersama Mama-nya, terpampang di layar.
Ia mengangkat panggilan itu segera.
"Iya, Bi Mirna? Ada apa?" tanyanya, suaranya langsung berubah tegang.
Rumi memperhatikan ekspresi suaminya yang semakin serius. Radit bangkit dari kursinya, berjalan beberapa langkah menjauh dan mengangguk pelan.
"Astaghfirullah .... Sekarang Mama di mana? Rumah sakit mana, Bi? .... Iya, iya. Saya ke sana sekarang."
Setelah menutup telepon, Radit menarik napas dalam-dalam. Matanya bertemu dengan tatapan cemas Rumi yang sudah berdiri, menunggu penjelasan.
"Mama pingsan tadi pagi. Tekanan darahnya turun drastis. Sekarang sedang dirawat di rumah sakit," ucap Radit dengan nada berat.
Tanpa banyak bicara, Rumi mengangguk. Ia langsung menggenggam tangan Radit dan berkata pelan namun mantap, "Ayo kita ke sana sekarang."
Dalam perjalanan menuju rumah sakit, suasana di dalam mobil terasa begitu hening. Rumi duduk tenang di kursinya, tapi tangannya tetap menggenggam tangan Radit yang satu lagi. Ia tahu, Radit sedang berusaha keras menyembunyikan kekhawatirannya.
"Mas," ujar Rumi akhirnya, pelan, "Mama pasti nggak papa. Mungkin cuma kecapean."
Radit hanya mengangguk, namun sorot matanya tetap fokus ke jalan.
"Kita doakan yang terbaik, ya," sambung Rumi, memeluk lengan Radit sambil menyandarkan kepalanya di bahunya.
Untuk sesaat, Radit membalas genggaman tangan istrinya dan menoleh sekilas, membalas sentuhan itu dengan senyuman kecil. Meski hanya sesaat, kehangatan yang Rumi berikan cukup untuk membuat hatinya sedikit lebih tenang.
Dan di saat mobil melaju menuju rumah sakit, di benak keduanya hanya ada satu harapan, semoga Bu Widya baik-baik saja.
Radit dan Rumi bergegas menapaki lorong rumah sakit yang lengang. Langkah kaki mereka berpacu dengan detak jantung yang tak tenang. Setelah bertanya pada perawat di meja informasi, mereka langsung menuju kamar rawat VIP tempat Bu Widya dirawat.
Begitu pintu kamar dibuka, aroma antiseptik segera menyergap indera penciuman. Di atas ranjang, Bu Widya terbaring dengan infus di tangan. Wajahnya tampak pucat namun tetap menyimpan gurat ketegasan yang khas. Bi Mirna duduk di sisi ranjang, segera berdiri dan memberi jalan saat Radit dan Rumi masuk.
"Mama ...." panggil Radit dengan suara cemas. Ia mendekat, menggenggam tangan ibunya perlahan. "Kenapa nggak bilang Mama sakit?"
Bu Widya membuka mata perlahan. Tatapannya langsung tertuju pada Radit, lalu bergeser singkat ke arah Rumi. Dingin. Seperti biasa.
"Mama cuma sedikit pusing, jangan dibesar-besarkan," jawabnya pelan tapi tetap ketus. "Kamu ini, Radit. Panik seperti anak kecil saja."
Radit membuang napas, sementara Rumi hanya menunduk sopan. Ia tahu diri. Hubungannya dengan ibu mertua memang tak pernah hangat sejak awal.
Rumi mendekat, berdiri di sisi Radit. "Maaf, Ma. Kami langsung ke sini setelah tahu," ucapnya lembut.
Bu Widya menatapnya lama. Lalu bertanya, "Kamu memanggil saya Mama?"
Rumi tersentak pelan, menunduk dalam diam. Radit menoleh ke ibunya, berusaha meredam ketegangan.
"Ma, jangan begitu. Rumi mengkhawatirkan keadaan Mama."
"Mama hanya bicara yang seharusnya," potong Bu Widya cepat. "Kamu hanya akan saya anggap sebagai menantu, jika kamu bisa memberikan saya cucu."
Radit terdiam. Ia tahu ke mana arah pembicaraan ibunya. Dan benar saja ....
"Kamu ini anak Mama satu-satunya, Dit. Harusnya sudah punya anak. Jangan sampai pernikahan ini hanya membuang waktumu."
Rumi mencengkeram jemari tangannya sendiri, menahan perih. Kalimat itu menusuknya lebih dalam daripada yang lain. Ia tersenyum kecil, paksa.
"Kami sedang berusaha. Kedepannya akan memeriksakan diri juga," ucapnya tenang.
Bu Widya menaikkan alis. "Berarti memang ada masalah, ya, sampai-sampai harus memeriksakan diri segala?"
Kalimat itu terdengar seperti tuduhan. Dan yang ditatapnya jelas-jelas adalah Rumi.
Radit berdiri, bersuara tegas. "Itu bukan urusan siapa yang salah, Ma. Kami akan mengusahakannya. Tapi tolong, jangan menyudutkan Rumi seperti ini."
Bu Widya menoleh ke arah Radit, matanya tajam tapi lemah karena sakit. "Kamu terlalu lembek kalau menyangkut dia."
"Karena Rumi istriku," tegas Radit. "Dan yang aku butuhkan sekarang adalah doa dari Mama, bukan tekanan."
Hening sejenak.
Bu Widya memalingkan wajah ke arah jendela. "Mama ingin cucu, Radit. Kalau kamu memang serius dengan perempuan ini, maka buktikan. Jangan buat Mama menyesal sudah membiarkan kalian menikah."
Kalimat terakhir itu jelas-jelas ditujukan pada Rumi. Tapi kali ini, Rumi tak menunduk. Ia menatap lurus ibu mertuanya, dan dengan suara yang lembut tapi tegas, ia berkata, "Kami akan buktikan itu, Bu. Tapi bukan karena tekanan, melainkan karena kami memang menginginkannya."
Bu Widya menatap balik, lama, seperti menilai. Tapi tak ada tanggapan. Ia hanya memejamkan matanya perlahan, memilih untuk diam.
Radit menyentuh bahu istrinya, memberikan dukungan diam-diam. Rumi tahu, badai kecil ini belum akan selesai. Tapi ia juga tahu, ia tidak sendiri.
Setelah menghabiskan waktu beberapa jam menemani sang mama, Radit dan Rumi akhirnya menuju lantai tiga rumah sakit—bagian kebidanan dan kandungan. Radit menggenggam tangan Rumi erat saat mereka memasuki ruang tunggu. Beberapa pasangan lain juga tampak menanti giliran. Wajah-wajah penuh harap menyelimuti ruangan itu, membuat Rumi mendadak gugup.
"Tenang, ya," bisik Radit, menyadari kegelisahan istrinya. "Apapun hasilnya, kita hadapi bersama."
Rumi mengangguk pelan, lalu menyandarkan kepala ke bahu Radit. Tak lama kemudian, nama mereka dipanggil.
Ruang praktik Dr. Amalia terasa hangat dan nyaman, tak seperti ruang rumah sakit biasanya. Dindingnya berhiaskan lukisan bunga, dengan aroma lembut lavender menguar dari alat pengharum ruangan.
Setelah perkenalan singkat dan pemeriksaan awal, dokter menjelaskan beberapa hal dengan tenang. Radit dan Rumi saling menatap ketika sang dokter membuka map hasil pemeriksaan.
"Dari hasil pemeriksaan dan tes hormon yang dilakukan, kondisi Bapak Radit sangat baik," ucap Dokter Amalia sambil tersenyum. Ia lalu menggeser pandangan ke Rumi. Senyumnya perlahan memudar menjadi nada bicara yang lebih hati-hati.
"Untuk Ibu Rumi, ada sedikit gangguan hormonal. Tidak parah, tapi cukup mempengaruhi proses pematangan sel telur. Ini yang menyebabkan kemungkinan untuk hamil jadi sedikit lebih sulit."
Rumi terdiam. Radit menggenggam tangannya lebih erat.
"Bukan berarti tidak bisa sama sekali, ya," lanjut sang dokter dengan lembut. "Tapi memang akan butuh waktu, dan mungkin perawatan tambahan. Ada opsi pengobatan hormonal, pola makan yang diperbaiki, dan pengaturan stres juga sangat penting."
Rumi mengangguk perlahan. Matanya mulai basah, meskipun ia berusaha tersenyum. "Berarti ... saya yang bermasalah, ya, Dok?"
Dokter Amalia menggeleng cepat. "Saya tidak suka menyebutnya seperti itu. Ini bukan tentang siapa yang salah, tapi bagaimana kita bersama-sama berusaha. Dan kalian sudah mengambil langkah yang tepat dengan memeriksakan diri."
Radit menoleh ke Rumi, dan dengan suara pelan tapi pasti ia berkata, "Kalau kita harus berjuang lebih lama, aku nggak keberatan. Yang penting kamu tetap sehat, dan kita sama-sama. Gitu aja cukup buat aku."
Rumi menatap suaminya dalam-dalam. Wajah Radit tak menunjukkan sedikit pun kekecewaan, hanya ketulusan. Ia menahan napas sejenak sebelum akhirnya membalas genggamannya.
"Makasih, ya ..." gumamnya pelan.
"Setelah ini kita jadwalkan kontrol lanjutan, ya, Bu Rumi," kata dokter, memecah keheningan. "Kita susun langkah-langkahnya pelan-pelan. Jangan terlalu membebani diri. Banyak pasangan yang berhasil setelah beberapa bulan terapi ringan."
Rumi mengangguk. Wajahnya mulai tenang. Ia merasa dikuatkan—oleh sang dokter, tapi lebih-lebih oleh lelaki di sampingnya yang tak melepaskan genggaman barang sedetik pun.