Dua puluh tahun setelah melarikan diri dari masa lalunya, Ayla hidup damai sebagai penyintas dan penggerak di pusat perlindungan perempuan. Hingga sebuah seminar mempertemukannya kembali dengan Bayu—mantan yang terjebak dalam pernikahan tanpa cinta.
Satu malam, satu kesalahan, dan Ayla pergi tanpa jejak. Tapi kepergiannya membawa benih kehidupan. Dilema mengungkungnya: mempertahankan bayi itu atau tidak, apalagi dengan keyakinan bahwa ia mengidap penyakit genetik langka.
Namun kenyataan berkata lain—Ayla sehat. Dan ia memilih jadi ibu tunggal.
Sementara itu, Bayu terus mencari. Di sisi lain, sang istri merahasiakan siapa sebenarnya yang pernah menyelamatkan nyawa ayah Bayu—seseorang yang mungkin bisa mengguncang semua yang telah ia perjuangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15. Calon Mantan Mertua
Bayu menatap gelasnya yang tinggal separuh, lalu mengalihkan pandangan ke arah Boni. Matanya berkilat, bukan karena amarah, melainkan tekad yang baru saja tumbuh dari reruntuhan dirinya.
"Aku sudah ajukan gugatan cerai, Bon."
Boni mendongak pelan, alisnya mengernyit.
"Kau serius?"
Bayu mengangguk. Kali ini matanya menatap langsung ke mata sahabatnya, tak berkedip.
"Setelah semuanya selesai... aku akan kejar dia. Laras... Ayla atau siapapun namanya." Napasnya berat. "Meski harus ke neraka sekalipun."
Boni terdiam, matanya menelaah wajah sahabatnya yang selama ini dikenalnya sebagai pria yang kaku, penuh perhitungan, tak pernah gegabah.
"Aku sudah lelah hidup begini. Memikirkan reputasi, harga diri, pencitraan, bisnis, politik keluarga—semuanya... kosong, Bon. Semua itu gak pernah bikin aku bahagia. Justru aku kehilangan orang yang paling aku cintai gara-gara semua itu."
Bayu menunduk sejenak, lalu meneguk sisa minumannya hingga tandas. Suara gelas yang diletakkan di atas meja terdengar nyaring di telinga Boni, seolah menjadi penanda keputusan besar yang tak bisa dibatalkan.
Ia bangkit dari kursinya. Tak menoleh lagi.
"Kali ini aku gak peduli apa kata dunia. Aku cuma ingin... bahagia."
Dan dengan langkah pasti, Bayu berjalan meninggalkan bar, meninggalkan dunia yang selama ini menahannya dalam sangkar tak terlihat. Musik berdentum, lampu-lampu neon berkelebat di wajahnya saat ia melangkah melewati kerumunan, menuju pintu keluar. Menuju hidup yang belum tentu lebih baik, tapi pasti lebih jujur.
Boni tak bergerak dari tempat duduknya. Lama ia menatap ke arah pintu yang tadi dilalui Bayu, hingga hilang dari pandangan.
Bayu yang ia kenal selama dua puluh lima tahun terakhir bukan pria seperti tadi. Bayu selalu tenang, penuh strategi, hidup dengan reputasi yang tak ternoda. Tapi malam ini... Boni baru melihat sisi lain dari Bayu—seorang lelaki yang akhirnya jujur pada luka dan cintanya sendiri.
Ia menghela napas kasar, lalu menunduk dalam.
"Semoga keputusanmu kali ini membawa kebahagiaan, Bay... bukan kehancuran yang lebih dalam."
Boni mengusap wajahnya sendiri. Hatinya tak tenang, tapi juga tak bisa menyangkal satu hal:
Terkadang... kita memang tak akan pernah bahagia jika terus memikirkan kata orang dan berjalan di jalan yang dianggap orang banyak benar.
---
Pintu utama rumah Shailendra terbuka pelan, menyisakan suara derit halus yang menggema di antara marmer dingin dan cahaya lampu kristal yang menyilaukan. Bayu melangkah masuk ke rumah megah itu—rumah yang selalu terasa dingin meski dindingnya dibalut hangatnya kemewahan. Di ambang tangga, Shailendra berdiri, tangan di saku, tatapannya tajam menyambut langkah putranya.
"Kau yakin ingin menceraikan Ellen?" suara Shailendra terdengar tenang, tapi nada itu mengandung tekanan yang nyaris mengiris.
Bayu berhenti tepat di bawah anak tangga pertama. Ia menatap ayahnya dengan sorot mata yang tak gentar, seolah pertanyaan itu telah ia siapkan jawabannya sejak lama.
"Dia memang menyelamatkan nyawa Papa," ucap Bayu tenang, "dan dia telah mendampingiku dua dekade lebih... Tapi aku tak bisa terus hidup karena balas budi, bisnis, atau pencitraan. Aku akan pertahankan perusahaan semampuku. Tapi aku tak akan bertahan dalam pernikahan yang tak pernah memberiku bahagia."
Shailendra turun satu anak tangga, menatap tajam seperti elang yang marah.
"Kau sudah gila, Bayu. Kita hidup di lingkungan sosial, bukan di hutan. Semua yang kita bangun akan hancur jika kau bertindak egois seperti ini."
Bayu tertawa—pendek, sumbang, penuh luka.
"Egois?" Ia melangkah lebih dekat, hanya berjarak satu langkah dari ayahnya. "Apa Papa gak sadar siapa yang egois sebenarnya? Papa. Papa yang menekan, mengancam, dan mengekang hidupku demi mempertahankan kerajaan bisnis ini. Papa tak pernah peduli aku bahagia atau tidak. Yang Papa pedulikan hanya reputasi, nama besar, dan tampilan keluarga ideal."
Shailendra membuka mulutnya, tapi tak ada kata yang keluar.
Bayu melanjutkan, suaranya dingin dan berat.
"Oh, aku lupa. Sejak awal, Papa memang tak pernah benar-benar peduli padaku. Aku hanya alat. Bidak. Tapi sekarang, Papa harus tahu satu hal..." Bayu mendekat sedikit, hingga suara terakhirnya hanya terdengar untuk ayahnya. "Papa tidak akan pernah bisa menekan, mengancam, apalagi menyakiti orang yang aku cintai. Kalau Papa nekat... aku bersumpah, aku akan menghancurkan semua yang Papa banggakan selama ini. Satu per satu."
Ia memutar tubuhnya dan melangkah pergi, meninggalkan bayangan besar sang ayah yang tetap berdiri di tangga, mematung.
Langkah-langkah Bayu menggema di lorong panjang, namun yang lebih nyaring adalah suara diam Shailendra yang tak bisa berkata apa-apa. Ia membuang napas kasar, wajahnya menegang.
Putranya... sudah tak bisa lagi ia kendalikan.
Dan untuk pertama kalinya, Shailendra merasa takut—bukan karena kehilangan reputasi, tapi karena kehilangan satu-satunya keluarganya yang ia sebut "anak".
---
Langit sore menggantung kelabu di luar jendela kaca gedung tinggi itu. Di dalam ruangan bergaya minimalis yang terkesan dingin dan steril, Bayu duduk di belakang meja kerja besar, membolak-balik berkas di tangannya tanpa sedikit pun menoleh pada tamunya.
Arwin berdiri tegak di depan meja, mengenakan jas abu-abu elegan yang tak bisa menyembunyikan kerutan khawatir di wajahnya. Suasana di ruangan itu begitu sunyi hingga suara detik jam terdengar seperti palu godam memukul kepalanya.
“Bayu,” suara Arwin akhirnya pecah, penuh tekanan yang ia tahan sejak tadi, “aku minta kau pertimbangkan lagi keputusanmu menceraikan Ellen.”
Bayu meletakkan berkas di tangannya, mendongak perlahan dengan senyum kecil yang lebih terasa sebagai ejekan.
“Pertimbangkan?” suaranya datar. “Kenapa? Karena kerja sama perusahaan kita?”
Arwin mengangguk. “Bukan hanya itu. Ellen telah mendampingimu lebih dari dua dekade, Bayu. Ia tetap bertahan meski kau dingin padanya. Setidaknya, beri dia sedikit penghargaan. Apa tak ada sedikit pun rasa kasihan dalam hatimu?”
Bayu menyandarkan tubuhnya ke kursi, menyilangkan tangan. Tatapannya menusuk.
“Kerja sama bisnis tak ada hubungannya dengan pernikahan kami, Pak Arwin. Itu urusan profesional. Dan soal Ellen… dari awal saya sudah bilang: saya tidak mencintainya.”
Ia menghela napas, seakan bosan mengulang kenyataan yang seharusnya sudah lama dimengerti.
“Saya tidak pernah menjanjikan kebahagiaan. Saya tidak pernah memaksa dia bertahan. Dia yang memilih bertahan—karena nama saya, karena status sebagai istri Abimanyu Shailendra. Dan jangan lupakan satu hal penting...” Ia mencondongkan tubuh ke depan, menatap Arwin dengan tajam, “Perusahaan kalian tidak akan sebesar sekarang kalau bukan karena saya.”
Arwin mengatupkan rahangnya. Suara Bayu bagaikan cambuk yang menyayat harga dirinya.
“Ellen telah menyelamatkan nyawa ayahmu. Seharusnya kau lebih menghargai itu,” balas Arwin, nada suaranya mulai meninggi.
Bayu terkekeh pendek. Tawa kecil itu terdengar pahit, mengejek, menusuk.
“Lucu. Setiap kali kalian bicara soal Ellen, kalian selalu membawa-bawa jasa itu.” Ia bangkit dari kursinya, berdiri menghadap Arwin. “Kalian terus mengungkitnya. Dan itu justru membuat saya percaya... bahwa kalian tidak pernah benar-benar tulus.”
“Bayu—”
“Ellen menyelamatkan nyawa papa bukan karena cinta... tapi karena ia butuh alasan kuat untuk terus berada di sisiku, bukan?” Bayu menatapnya lekat. “Kalau yang terbaring sekarat di rumah sakit waktu itu bukan Shailendra, tapi orang biasa—apa Ellen akan melakukan hal yang sama? Saya ragu.”
Suasana menegang. Arwin menggenggam tangan di sisi tubuhnya, menahan diri agar tidak meledak.
“Kalau kalian merasa punya hutang budi, silakan tagih ke papa saya. Jangan ke saya. Saya bukan alat balas jasa. Dan saya tidak akan mengubah keputusan saya hanya karena kalian menjual cerita heroik yang rasanya sudah basi.”
Bayu kembali duduk, memutar kursinya menghadap jendela.
“Saya sibuk. Kalau tak ada lagi yang ingin calon mantan mertua saya sampaikan, silakan keluar dari ruangan saya.”
Keheningan menggantung.
Arwin menatap punggung Bayu yang kini membelakanginya, seolah pria itu sudah mencabut semua harapan yang pernah ia tanam.
Wajah Arwin memucat. Rahangnya mengeras. Ia ingin berkata banyak hal—tentang pengorbanan, tentang harga diri, tentang dua puluh tahun yang terbuang. Tapi semua kata itu terasa lumpuh di tenggorokannya.
Akhirnya, ia hanya bisa menatap Bayu dengan mata yang menyimpan campuran amarah dan luka.
“Kau akan menyesal, Bayu,” katanya lirih namun dingin. “Tidak semua hal bisa kau beli dengan nama besar.”
Bayu tidak menjawab.
Arwin pun melangkah keluar, membiarkan pintu tertutup pelan di belakangnya—dan membiarkan kehancuran yang baru saja dimulai bergema di balik dinding kaca yang sunyi.
...🍁💦🍁...
.
To be continued
jangan takut Ayla semoga ayah Bayu mau menerima kamu dan cucunya.
semangat kak ditunggu kelanjutannya makin seru nih,aku suka aku sukaaaaa