Saat gerbang Nether kembali terbuka, Kate Velnaria seorang Ksatria Cahaya terkuat Overworld, kehilangan segalanya. Kekuatan Arcanenya hancur di tangan Damian, pangeran dari kegelapan. Ia kembali dalam keadaan hidup-hidup, tetapi dunia yang dulu dikenalnya perlahan berubah menjadi asing. Arcane-nya menghilang, dan dalam bayang-bayang malam Damian selalu muncul. Bukan untuk membunuh, tetapi untuk memilikinya.
Ada sesuatu dalam diri Kate yang membangkitkan obsesi sang pangeran, sebuah rahasia yang bahkan dirinya sendiri tidak memahaminya. Di antara dunia yang retak, peperangan yang mengintai, dan bisikan kekuatan asing di dalam dirinya, Kate mulai mempertanyakan siapa dirinya sesungguhnya dan mengapa hatinya bergetar setiap kali Damian mendekat.
Masa lalu yang terkubur mulai menyeruak, membawa aroma darah, cinta, dan pengkhianatan. Saat kebenaran terungkap, Kate harus memilih antara melawan takdir yang membelenggunya atau menyerahkan dirinya pada kegelapan yang memanggil dengan manis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aria Monteza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15. Nama suci
Hari libur datang membawa hawa hangat yang menyenangkan. Langit Ceaseton biru cerah, dan angin berembus lembut dari arah timur, mengiringi langkah Kate yang menyusuri jalanan berbatu di kota seorang diri. Ia sengaja meminta izin keluar tanpa pendamping. Bukan untuk bersenang-senang, tapi demi satu tujuan mencari jawaban.
Perpustakaan besar di dekat balai kota menjulang megah dengan arsitektur khas kerajaan, pilar-pilar tinggi dan kaca patri yang memantulkan cahaya pagi. Di sinilah harapan Kate tertambat. Ia berharap, di balik ribuan halaman dan jilid tua, ada secercah petunjuk tentang cincin misterius di jarinya. Cincin yang hanya bisa dilihat oleh Orion, dan yang anehnya memancarkan kabut tipis yang menyusup ke dalam tubuhnya sendiri.
Setelah berjam-jam menyisir rak demi rak, dari bagian relik kuno, sihir darah, hingga catatan prajurit Nether, hasilnya nihil. Tak satu pun buku menyebutkan tentang cincin seperti miliknya.
Kate menghela napas panjang, menutup buku terakhir dengan perasaan berat. Matanya yang lelah mengarah ke jendela tinggi, tempat sinar matahari mulai bergeser ke barat. Hari mulai sore, dan ia belum mendapatkan apa pun. Hampa.
Keluar dari perpustakaan, langkah Kate terasa ringan meski hatinya tak sejalan. Tak tahu arah, ia berjalan begitu saja menyusuri jalanan kota. Ceaseton sore itu ramai, aroma roti manis dan panggangan daging memenuhi udara. Para pedagang meneriakkan dagangan mereka, anak-anak berlarian, dan para pelukis jalanan menggambarkan potret pengunjung dengan cepat di atas kanvas kecil.
Kate berhenti sejenak di sebuah kios pernak-pernik kecil. Kipas-kipas tangan bermotif indah bergantungan di sisi tenda. Tangannya mengangkat satu kipas berwarna biru laut dengan bordiran benang emas. Saat ia membaliknya, suara tawa gadis-gadis di sebelahnya menarik perhatian.
“Katanya bangsawan itu berasal dari selatan. Orang kaya raya, bahkan menyumbangkan seratus keping emas untuk rumah sakit desa!”
“Aku dengar dia tampan sekali. Orangnya tinggi, rambutnya hitam pekat dan matanya begitu menyihir!”
“Benar! Dan baik hati pula. Kau tahu, kemarin dia memberikan kalung safir pada seorang anak jalanan!”
Kate tak bisa menahan rasa ingin tahu. Ia menoleh sedikit tanpa benar-benar menunjukkan ketertarikan, tetapi cukup dekat untuk menangkap percakapan mereka.
“Siapa nama bangsawan itu?” tanya salah satu dari mereka.
“Oh, katanya… Damien. Atau… Damian? Entahlah. Tapi nama itu terdengar mewah, kan?”
Jantung Kate berdegup kencang. Ia nyaris menjatuhkan kipas yang dipegangnya.
Damian?
Tak mungkin. Tidak di Ceaseton, bukan di kota ini. Tapi jika benar, maka semua kebaikan yang dilakukan pria itu pastinya hanyalah kedok. Sebuah topeng untuk menutupi sesuatu yang jauh lebih gelap.
Kate buru-buru membayar kipas itu dan meninggalkan kios. Langkahnya cepat, hampir setengah berlari. Hatinya berdegup tidak karuan, campuran antara kecemasan dan kemarahan yang belum terjelaskan. Ia tahu Damian tak akan tinggal diam selamanya, tapi ia tidak menyangka pria itu bisa sedekat ini.
Langkah Kate menyusuri jalan kota Ceaseton terasa ringan, berbeda dengan pikirannya yang justru semakin berat. Suara tawa para gadis dan nama Damian yang tadi terucap begitu jelas, masih bergema di kepalanya. Ia mencoba menyangkal, mencoba berpikir bahwa itu hanya kebetulan nama yang sama. Tapi ia tahu terlalu banyak hal di dunia ini yang tidak berjalan karena kebetulan. Terutama jika menyangkut Damian.
Dengan tangan menggenggam erat kipas yang baru dibelinya, Kate melangkah tanpa arah. Pandangannya tak lagi fokus pada toko-toko di sepanjang jalan. Ia bahkan tak menyadari ketika melewati toko baju favoritnya atau kios bunga yang biasa ia singgahi. Hatinya resah. Apa Damian benar-benar sudah sejauh ini masuk ke wilayah Ceaseton? Jika ya, untuk apa? Apa tujuannya?
"Kate!!"
Suara keras memecah lamunannya. Ia menghentikan langkah, menoleh dengan cepat dengan rasa waspada melonjak naik di dadanya. Namun bukan ancaman yang ia temukan, melainkan sosok Danzzle yang tengah berdiri di seberang jalan, melambai penuh semangat. Kate mengerjap. Sejenak bingung antara kenyataan dan pikirannya yang tadi masih berada dalam bayangan Damian.
"Bodoh sekali kau keluar sendirian!" seru Danzzle dengan wajah setengah jengkel, setengah lega.
Di belakangnya, berdiri Orion, Lyra, dan Jasper.
Kate membeku sejenak. Ia tidak menyangka akan bertemu mereka di tengah hiruk pikuk kota. Ia bahkan tidak tahu harus merasa lega atau cemas dengan kehadiran mereka. Terutama setelah pikirannya dipenuhi ketakutan yang tak bisa ia jelaskan.
Orion melangkah lebih dulu mendekatinya. Tatapannya tajam seperti biasa, dan ada kekhawatiran di baliknya.
"Kenapa kau tidak bilang kalau mau pergi ke kota?" tanya Orion pelan, dengan nada yang menyiratkan teguran.
Kate menghindari tatapan Orion dan hanya menunduk pelan. "Aku hanya ingin mencari sesuatu, tak ada hal penting."
"Kau pikir mencari sesuatu itu alasan yang cukup untuk membuat kami mencarimu ke seantero kota?" sahut Danzzle, memotong. "Setelah apa yang terjadi padamu kemarin, seharusnya kau tahu istirahat lebih penting."
Jasper mendekat dan menepuk pundak Danzzle. "Tenang, setidaknya kita menemukannya sebelum dia tersesat di antara pedagang baju dan makanan manis."
Lyra yang berdiri sedikit di belakang mereka semua, hanya menatap Kate datar. Tak ada senyum. Tak ada sapaan. Hanya dingin seperti biasa. Sadar bahwa suasana bisa menjadi lebih canggung, Danzzle langsung mengalihkan topik.
"Sudah sore dan aku lapar. Kita ke Brambel's Tavern saja, ya? Tempat makan itu terkenal dengan roti panggang dagingnya terbaik di kota."
Jasper berseru setuju. "Dan porsi makanannya besar! Aku sudah lama ingin ke sana lagi!"
Kate tersenyum tipis, meski pikirannya belum tenang. Ia akhirnya mengangguk kecil. "Baiklah aku ikut."
Danzzle berjalan di sampingnya, sesekali bercerita tentang toko-toko yang mereka lewati. Jasper terus berceloteh tentang rencana makanannya, sementara Lyra tetap diam dan hanya menatap jalan. Di sisi kiri, Orion diam tapi langkahnya selalu dekat. Kate mencuri pandang padanya sekali dan menemukan pria itu tengah menatapnya sejenak, sebelum buru-buru mengalihkan pandangan.
Sebuah kedai berbentuk bundar dengan jendela kaca besar dan wangi bumbu yang semerbak menyambut mereka di ujung jalan. Plang kayu bertuliskan Brambel's Tavern tergantung anggun di atas pintu masuk. Kedai itu cukup ramai, tapi suasananya hangat dan nyaman.
Mereka duduk di meja panjang dekat jendela. Saat pesanan mereka roti panggang berlapis daging, sup rempah, dan jus buah segar datang, Kate mulai sedikit melupakan kegelisahan yang menyelimutinya sejak tadi. Namun di sela-sela obrolan, tawa, dan piring yang beradu, pikirannya tetap kembali pada Damian. Ia tak ingin mengganggu suasana dengan kekhawatiran. Tapi jauh di dalam hati, ia tahu. Ini bukan hanya kebetulan.
Suasana di dalam Brambel’s Tavern terasa hangat dan nyaman. Cahaya lampu gantung yang temaram menciptakan bayangan lembut di dinding batu, dan aroma daging panggang bercampur rempah memenuhi udara. Di meja panjang dekat jendela, kelima rekan itu duduk menikmati makanan mereka dengan lahap.
Kate sesekali tersenyum kecil melihat Jasper yang begitu menikmati rotinya dengan semangat, sementara Danzzle tak henti memuji rasa sup rempah yang menurutnya bisa menghidupkan kembali semangat sesosok mayat sekalipun.
Percakapan ringan mengalir, mulai dari cerita latihan yang melelahkan, pertarungan kecil dengan senjata tumpul, hingga para pedagang di kota yang lihai menawarkan barang. Semua terasa ringan sampai Danzzle tiba-tiba mencondongkan tubuhnya ke arah Kate dengan tatapan penuh rasa ingin tahu.
“Ngomong-ngomong, Kate,” kata Danzzle sambil mengunyah perlahan, “aku baru sadar, kita belum pernah mendengar nama sucimu.”
Kate yang tengah mengangkat cangkir supnya terhenti sejenak. Tatapannya bergerak ke arah Danzzle, lalu pada yang lain yang kini juga mulai menoleh ke arahnya dengan minat yang sama.
“Kami semua punya nama suci. Kau tahu nama yang diberikan saat kita disambut secara resmi ke dunia ini oleh kuil cahaya. Aku Danzzle Thorne, diberi nama suci Velion, sang Penuntun Penyembuh,” lanjut Danzzle, masih dengan nada santai.
Jasper mengangkat tangannya cepat. “Aku! Aku Radal, sang Penjaga Tangguh.” Ia tampak bangga.
“Seris, sang Pelindung Bayangan.” Lyra meski tak terlalu antusias, tetap menjawab.
Orion menatap Kate dalam-dalam sejenak sebelum berkata, “Aku Eryon, sang Cahaya Penebus.”
Kini semua mata tertuju pada Kate.
“Apa nama sucimu, Kate?” tanya Danzzle, kali ini dengan nada lebih lembut.
Hening mengisi meja sesaat. Kate meletakkan cangkir supnya perlahan, lalu menyandarkan punggung pada sandaran kursi. Tatapannya sedikit kosong, dingin, dan tidak terganggu oleh keheranan teman-temannya.
“Aku tidak punya nama suci,” jawab Kate datar.
“Eh? Bagaimana mungkin?” tanya Jasper membelalak.
Bahkan Lyra yang biasanya tak peduli pun menunjukkan reaksi kaget meski samar.
“Kenapa tidak?” sahut Orion menyipitkan mata, mencondongkan tubuhnya sedikit.
Kate menatapnya balik. Tidak ada kemarahan. Tidak ada kesedihan. Hanya keteguhan yang sunyi.
“Karena aku tidak percaya pada Dewa Agung. Bagiku menyebut namaNya dan menggantungkan harapan padanya hanya memberi harapan kosong,” ucap Kate akhirnya.
Danzzle terdiam. Jasper tampak kebingungan. Lyra mengernyit pelan. Orion tidak berkata apa-apa, menunggu Kate melanjutkan.
“Kalau Dewa Agung benar-benar ada. Mengapa overworld dibiarkan hancur selama ini? Mengapa desa-desa dibakar? Anak-anak dibantai? Dan makhluk nether…” Kate menggenggam erat sendok di tangannya. “bebas berkeliaran dan menghisap kehidupan dari bumi kita?”
Suasana meja menjadi hening. Hanya suara obrolan dari meja lain yang samar terdengar.
“Aku percaya pada orang-orang yang memilih untuk berdiri dan melindungi. Seperti Leon atau bahkan kalian, tapi tidak pada sesuatu yang tak pernah menampakkan wujudnya, bahkan ketika dunia sekarat,” lanjut Kate dengan suara lebih tenang.
Orion akhirnya bersuara, nada suaranya pelan, penuh pertimbangan. “Tapi bukan berarti semua hal yang tak terlihat, tidak nyata.”
Kate menoleh, menatapnya lurus. “Mungkin. Tapi aku tak ingin hidup menggantungkan harapan pada sesuatu yang tak bisa kupegang.”
“Kalau begitu, kau akan jadi orang pertama yang kutemui yang melawan kegelapan tanpa membawa nama suci,” ucap Danzzle menghela napas pelan, lalu tersenyum.
“Bukankah itu yang sudah kulakukan sejak dulu? Bertarung tanpa nama, tanpa doa.” Kate tersenyum samar.
Jasper mengangkat gelasnya. “Yah, selama kau tetap bisa melindungi Overworld sebagai Ksatria Cahaya, aku tak peduli kau punya nama suci atau tidak!”
Tawa kecil pecah, mencairkan suasana. Bahkan Lyra mengalihkan tatapan dari Kate, seolah enggan mengakuinya, tapi tak bisa membantah bahwa jawaban Kate membuatnya terkesan meski sedikit bingung.
Orion hanya memandangi Kate lama, seakan mencoba menembus semua lapisan yang menyelimuti gadis itu.
“Kau mungkin tak punya nama suci, Kate. Tapi yang terpenting, kita semua akan berjuang bersama,” kata Orion akhirnya.
Kate tersenyum kecil untuk pertama kalinya sejak siang. Dan di momen itu, tanpa mereka sadari. Di antara cahaya lilin dan aroma kayu yang terbakar di tungku, sebuah kehangatan kecil tumbuh tidak berasal dari dewa mana pun. Namun dari ikatan yang perlahan menguatkan mereka dengan atau tanpa nama suci.
***
Di sudut dalam dari kedai Brambel’s Tavern, di balik pilar batu dan tirai rumbai yang memisahkan area VIP, dua sosok duduk tenang. Penampilan mereka tak berbeda dari para bangawan biasa, pakaian mewah, rambut tertata rapi, dan aura yang memancarkan kewibawaan.
Salah satu dari mereka, pria berambut gelap dengan mata berwarna abu-abu yang menusuk, duduk tanpa banyak bergerak. Di hadapannya, tangan kanannya dengan bekas luka panjang di wajah, menyentuh pinggir gelas anggur yang masih penuh.
Mereka telah duduk di sana sejak Damian mengikuti langkah Kate yang menyusuri kota tanpa arah. Saat gadis itu masuk ke kedai bersama rekan-rekannya, Damian memilih meja yang cukup jauh, tetapi tetap bisa mendengar pembicaraan mereka. Dengan sihir ilusi suara tingkat tinggi, suara dari meja Kate mengalir lembut ke telinga mereka.
Saat nama-nama suci disebutkan satu per satu oleh para rekan Kate, ekspresi Damian tetap tenang. Namun ketika giliran Kate yang berbicara.
“Aku tidak punya nama suci.”
Terdengar jelas dan dingin. Damian membeku. Jemarinya yang menggenggam gelas perlahan mengencang dan…
Crak!
Gelas kristal di tangannya pecah, pecahan kecilnya melukai jari-jarinya. Tapi ia tetap bergeming, bahkan tidak mengeluh. Setetes darah menetes di atas meja kayu, mengalir di antara serpihan kaca. Damian menatap kosong ke arah gelas yang pecah itu.
“Bagaimana bisa… kau tidak mengambil nama suci itu…” Damian bergumam dengan suara rendah. Wajahnya tetap datar, meski matanya menyimpan gejolak yang tak bisa ditutupi.
Tangan kanannya, Morren, meletakkan gelas anggurnya tanpa suara. Ia menatap Damian, lalu berkata dengan nada datar, “Jika Nona Kate sekarang tidak memiliki nama suci, artinya dia tidak terikat pada hukum reinkarnasi.”
Damian perlahan mengangkat wajahnya.
“Dan jika suatu hari dia mati, dia tidak akan kembali. Tidak akan lahir kembali. Ia akan lenyap. Selamanya,” lanjut Morren.
Untuk sesaat, tak ada suara selain dengungan obrolan pengunjung kedai lain. Lalu Damian tertawa kecil.
Tawa yang dingin. Pendek. Dan menyimpan rasa takut yang tak biasa keluar dari dirinya.
“Hahaha… lenyap selamanya,” bisik Damian.
Suara tawanya lebih seperti gumaman patah hati yang menekan kenyataan, yang tak bisa ia terima. Matanya kembali menatap ke meja tempat Kate duduk. Gadis itu tertawa kecil bersama teman-temannya, tanpa menyadari bahwa seseorang dari masa lalu tengah mengawasinya dengan hasrat yang tak dapat didefinisikan.
“Kalau begitu, aku tidak punya pilihan selain memastikan dia tetap hidup sampai waktunya tiba.” Damian akhirnya bersuara lirih
Morren menyipitkan mata. “Dan jika dia mati sebelum kekuatan itu bangkit sepenuhnya?”
“Aku tidak akan membiarkannya mati,” kata Damian menggertakkan giginya., nadanya tegas dan mengandung ancaman. “Tak satu pun dari mereka boleh gagal menjaganya. Bahkan dirinya sendiri.”
Ia berdiri perlahan, memungut jubahnya, dan menatap keluar jendela kecil kedai yang mengarah ke jalan.
“Aku sudah terlalu dekat untuk kehilangan dia lagi.”
“Apa kita akan menampakkan diri?” tanya Morren mengikuti Damian berdiri.
“Belum. Biarkan dia menikmati kebebasannya sedikit lebih lama,” jawab Damian.
Ia melangkah keluar dari area duduknya, kembali menyatu dengan bayangan di antara keramaian kota Ceaseton. Namun sejak saat itu, satu hal telah berubah dalam dirinya. Ketakutan bukan akan peperangan, bukan akan kematian, tapi ketakutan bahwa satu-satunya jiwa yang ingin ia miliki selamanya, bisa lenyap tanpa jejak, dan tak bisa ia kembalikan bahkan dengan seluruh kekuatan Nether.