Shinkai. Sosok lelaki berusia 25 tahun. Ia tinggal di sebuah rumah sewa yang terletak tepat di sebelah toko bunga tempat ia berada saat ini. Toko bunga itu sendiri merupakan milik dari seorang wanita single parent yang biasa dipanggil bu Dyn dan memiliki seorang anak laki-laki berusia 12 tahun. Adapun keponakannya, tinggal bersamanya yang seringkali diganggu oleh Shinkai itu bernama Aimee. Ia setahun lebih tua dibanding Shinkai. Karena bertetangga dan sering membantu bu Dyn. Shinkai sangat dekat dengan keluarga itu. Bahkan sudah seperti keluarga sendiri.
Novel ini memiliki genre action komedi yang memadukan adegan lucu yang bikin tertawa lepas, serta adegan seru yang menegangkan dari aksi para tokoh. Adapun part tertentu yang membuat air mata mengalir deras. Novel ini akan mengaduk perasaan pembaca karena ceritanya yang menarik.
Yuk, baca kisah lengkap Shinkai dengan aksi kerennya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chira Amaive, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 15
Aku hidup dengan keluarga yang jauh dari kata harmonis. Keributan di tiap detiknya. Selalu menemani. Selalu menggeluti. Di sebuah kota yang terkenal dengan keahlian bisnis. Banyak penduduk yang menjalani bisnis hingga ke mancanegara. Bahkan tidak jarang juga yang menetap entah di belahan bumi mana. Hingga penduduk asli mulai berkurang. Lambat laun, kota itu ditinggali banyak pendatang. Banyak dari pendatang itu memanfaatkan keahlian dari orang-orang kami dengan berkedok kerjasama. Padahal, tidak sedikit dari mereka yang berniat mengambil keuntungan hanya untuk dirinya sendiri. Termasuk ayahku. Pria yang sejak kelahiranku memang berubah menjadi sosok kasar dan pemarah karena masalah bisnisnya. Pendatang itu menawarkan kerja sama. Hingga sejak itu, aku yang memang kehilangan peran sang ayah. Kehilangan dirinya lebih jauh lagi. Keluarganya hanya sampah.
Usiaku beranjak 11 tahun. Ibuku gila. Aku tak sanggup menyaksikan penderitaannya lebih jauh lagi. Lebih menyedihkannya, ia tampak lebih menderita saat aku berada di dekatnya. Berbeda dengan kakakku. Ibuku selalu mencarinya. Namun, kakakku sudah tak sanggup menghadapi masalah keluarga yang tak berujung itu. ia pergi entah ke mana dan tak pernah kembali entah sampai kapan. Selama itu, aku selalu berusaha meluluhkan hati ibu agar ia mau menerimaku sebagai pengganti kakakku. Namun, itu benar-benar mustahil. Ia selalu meraung sambil memandangku penuh kebencian. Mungkin karena wajahku sangat mirip dengan ayahku.
5 bulan kemudian, aku menyerah. Aku menyerahkan penuh ibuku pada rumah sakit jiwa. Lantas, aku memilih pergi. lalu tinggal di rumah pamanku yang kejam. Ya, kejam. Namun, itu masih kabar baik. Karena ia tidak seburuk ayahku. Pamanku hanya akan memaksa anak kecil sepertiku bekerja keras dan tidak akan mendapat jatah makan jika tidak melakukan kerja keras walau satu hari. Itu bukan masalah. Perlakuan paman justru menempa ototku di usia belia.
Suatu hari, usiaku beranjak 12 tahun. Aku sedang mengambil air di sungai menggunakan dua ember. Tepat saat air jernih itu aku sentuh, itu membuatku teringat ibu dan kakakku. Sewaktu kami masih bisa tertawa bersama. Sekalipun tanpa kehadiran pria kurang ajar itu.
Angin kencang menyibak tirai. Berhasil memutus nostalgia pahit Shinkai tentang kehidupannya.
Shinkai beranjak dari ranjangnya. Kemudian menyalakan saklar lampu sebelum berjalan menuju jendela. Ia melihat pemandangan malam yang menampakkan pepohonan yang menari-nari. Juga lampu-lampu tetangga. Langit kosong tanpa aksesorisnya. Malam itu, Shinkai merasa kesepian.
Namun, tak lama setelah itu. Saat jendela kamar akan ditutup. Shinkai melihat sesuatu seperti senjata yang belakangan ini terus dijumpainya. Senjata klan Amev.
“TIDAKKKKK!”
Tanpa berlama-lama, Shinkai melesat ke arah pintu dan langsung keluar untuk menuju ke arah sumber suara.
Langkah cepatnya sambil menatap sekitar. May terlihat sedang mengucek mata dari dinding kaca. Di rumah sebelahnya. Dari sanalah suara jeritan itu berasal.
“Aimee?” Shinkai mendapati Aimee tengah duduk lemas di ruang tengah. Kaki gadis itu berdarah.
“Shin!?” ucapnya lemas.
Malam ini, Aimee hanya sendiri di rumah itu karena bu Dyn dan Neptune sedang menginap di rumah pelanggannya yang ingin dibantu merawat tanamannya yang hampir layu.
Raut wajah jengkel langsung tersulam pada Shinkai, “Kali ini apa lagi, hah? Bayangan pohon? Kayu? Karung? Monyet? Selalu saja. Mana bayangan menyeramkannya?”
Napas Aimee tersengal. Ia benar-benar seperti orang baru merasakan kejadian yang benar-benar menyeramkan hingga trauma. Lain halnya dengan Shinkai yang sudah muak dengan gadis dewasa yang sangat takut hantu itu.
Lengang sejenak. Aimee tak jua menjawab. Hanya terdengar suara napas ngos-ngosan. Shinkai merasa bersalah sudah berlaku kasar. Padahal ia tahu bahwa Aimee adalah orang yang penakut.
Sambil menunggu jawaban, Shinkai mengambilkan beberapa lembar tisu dan mengelap darah pada kaki Aimee.
“Jangan lupa melihat benda di sekitarmu. Sekalipun kamu sangat ketakutan. Lihatlah, kau jadi terluka seperti ini,” ujar Shinkai.
Terlihat sesuatu yang aneh ketika Shinkai mengelap darah. Pada tisu itu, tidak hanya darah yang terangkat. Namun juga sebuah kelopak bunga soka. Seketika itu, ia mengepalkan tangannya. Lagi, teror itu belum berakhir.
“Bagaimana kau mendapat luka ini?”
“Aku menginjak pecahan vas bunga yang aku jatuhkan. Lagi-lagi hasil kerja kerasku rusak.”
“Jadi, kamu tidak melihat bayangan aneh?”
Aimee menggeleng.
“Lelah sekali aku memperjuangkan semua ini. Aku bisa gila, Shin.”
“Tidak. kau memang gila dari lahir.”
Tidak pernah ada bunga soka di rumah itu. sejak tragedi Darah Soka 7 tahun yang lalu. Bu Dyn benar-benar sudah tidak lagi sudi melihat bunga itu. tampak sangat janggal jika Shinkai menemukan bunga soka pada darah di kaki Aimee. Apakah Aimee diam-diam menyimpan bunga itu? Atau bunga itu terbang oleh angin kencang? Atau barangkali memang bagian dari teror. Ditambah jejak senjata klan Amev yang tergeletak. Barangkali terjatuh dari saku peneror.
“Tuan Shinkai. Kenapa kau berada di sini?” May tiba-tiba muncul. Mata gadis itu masih terlihat mengantuk.
“Ya, kau sendiri mendengar suara jeritan orang gila ini.”
“Bukankah itu hal biasa? Kak Aimee memang selalu tersakiti oleh karyanya.”
“Hei, jangan meremehkanku!” tegas Aimee.
Tampak seperti ada bekas darah di pipi May. Shinkai melihatnya sambil menyipitkan mata karena tengah berpikir. Apakah itu seharusnya hal aneh? Mungkinkah darah seperti itu bekas nyamuk?
“Hei, lelaki busuk. Kenapa kau melihat May seperti itu? menjijikkan.”
“Dari mana kau dapat darah itu?” Shinkai bertanya.
May berbalik badan karena di belakangnya terdapat cermin.
“Tadi sore aku membantu tetangga mencabut bulu ayam. Sepertinya darah menyiprat.”
“Berarti kau tidak mandi?”
“Aku lebih suka makan udang besar.”
“Bukan itu jawabannya!”
Mulai dari sana, Shinkai melanjutkan kecurigaan pada May. Senjata tergeletak. May yang berdiri di balik dinding kaca sambil mengucek mata, hingga bercak darah di pipinya. Namun, Shinkai tidak punya petunjuk untuk memastikan apapun.
“Shin, tunggu!” cegah Aimee.
“Apa?” tanya Shinkai singkat tanpa berbalik hadap.
“Sebenarnya, aku mendengar suara langkah seseorang dari luar. Itulah mengapa aku menjatuhkan vas bunga,” ungkap Aimee.
“Lalu?”
Aimee terdiam. Kedua tangannya terkepal. Malu mengakui ketakutannya.
“Ah, seharusnya bu Dyn dan Neptune memang tidak boleh membiarkanmu sendiri. May yang cebol saja tidak pernah menjerit sepertimu.”
Semburan aroma parfum jeruk dikerahkan oleh May. Tanpa berlama-lama langsung membuat Shinkai mual.
“Kau masih masa pertumbuhan,” jelas Shinkai sebelum terjadi serangan parfum jeruk berikutnya.
“Tolong, untuk kali ini saja. Temani aku, Shin!” pinta Aimee dengan membuang seperangkat perasaan gengsi.
“Ah, merepotkan. Masuklah ke kamarmu. Aku akan mengunci rumahku dulu. May, tolong temani dia sampai aku kembali. Atau kau boleh turut menemaninya tidur di sini.”
Shinkai tidak mau mengambil risiko dengan membiarkan May sendiri yang menemani Aimee. Semakin lama, gadis kecil itu semakin memiliki gelagat yang aneh dan misterius.