Di tepi Hutan Perak, pemuda desa bernama Liang Feng tanpa sengaja melepaskan Tianlong Mark yang merupakan tanda darah naga Kuno, ketika ia menyelamatkan roh rubah sakti bernama Bai Xue. Bersama, mereka dihadapkan pada ancaman bangkitnya Gerbang Utama, celah yang menghubungkan dunia manusia dan alam roh.
Dibimbing oleh sang bijak Nenek Li, Liang Feng dan Bai Xue menapaki perjalanan berbahaya seperti menetralkan Cawan Arus Roh di Celah Pertapa, mendaki lereng curam ke reruntuhan Kuil Naga, dan berjuang melawan roh "Koru" yang menghalangi segel suci.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hinjeki No Yuri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Persiapan Sesajen di Sungai Bayangan untuk Membangunkan Roh Kura-Kura
Malam itu, gerhana bulan melayang dengan sinar redup di langit Desa Bayangan. Awan tipis bergerak pelan, menyelimuti bulan seperti tirai terbelenggu. Cahaya bulan yang tersisa memantul di permukaan Sungai Bayangan, menciptakan kilau temaram yang menyerupai permata basah di antara arus sungai yang pelan yang mengalir seperti napas makhluk purba.
Liang Feng berdiri di tepian sungai, matanya menatap lurus ke kejernihan air yang memantulkan bayangan langit malam di atasnya. Di sampingnya, Bai Xue, siluman rubah perak yang menjadi sahabat sekaligus penjaganya, berdiri dengan tenang. Di belakang mereka, dua pertapa muda berpakaian jubah abu-abu pucat memanggul keranjang anyaman. Di dalamnya terdapat sesajen penting yang akan digunakan untuk membangunkan Roh Kura-Kura, penjaga tertua yang tertidur di dasar sungai.
Liang Feng menerima keranjang itu dari salah satu pertapa dengan anggukan kecil. Ia membuka tutupnya dan memeriksa isinya, buah teratai ungu dengan kelopak yang memancarkan cahaya samar, tujuh koin perunggu bertatahkan lambang naga air, dan sekerat kain sutra putih yang dilukis dengan tinta mantra pelindung. Semua bahan ini telah dipersiapkan dengan hati-hati sejak seminggu yang lalu oleh Nenek Li, yang merupakan tetua dari Desa tempatnya tinggal.
“Nenek Li mengajarkan, semua bahan harus disusun sesuai urutan tujuh arah mata angin,” bisik Liang Feng kepada Bai Xue, matanya menatap keranjang dengan penuh kehati-hatian. “Barat laut untuk permintaan keselamatan, utara untuk kekuatan, timur laut untuk kejernihan roh… sampai kembali ke barat.”
Bai Xue menunduk kecil, menyerap makna setiap kata. Bulu halus di lehernya tampak bergetar pelan, menyiratkan kesiapan yang diam-diam tumbuh dari dalam dirinya. “Aku akan menyalakan aura perak saat kamu menabur koin.” ujarnya lirih. “Agar energi kura-kura tertarik dan tahu kita datang bukan untuk mengganggunya.”
Liang Feng mengangguk. Tanpa membuang banyak waktu, ia mulai menancapkan tujuh koin perunggu ke tanah berpasir di tepi sungai. Setiap koin ditanam mengikuti garis imajiner tujuh arah mata angin. Ia berjalan perlahan, penuh dengan kehati-hatian, seperti seorang pelukis yang sedang membuat lingkaran suci di atas kanvas dunia.
Setiap kali koin ditanam, Liang Feng melantunkan sebaris mantra dalam suara rendah namun penuh gema, seolah menyatu dengan suara sungai.
“Jagat alir, penuhi undangan,
Kura-kura abadi, bangkit di samudran.”
Suara mantranya bergema lembut di antara desir angin malam dan suara gemericik air. Dua pertapa muda bergerak dengan cekatan, menaburkan kelopak teratai ungu di antara posisi koin, menciptakan lingkaran ungu lembut yang terapung di permukaan air. Warna ungu itu menyatu dengan cahaya bulan dan aura suasana malam, seperti jalinan jaring yang menangkap kekuatan dunia roh.
Di titik tengah lingkaran, Liang Feng meletakkan sekerat kain sutra yang telah dilukis dengan mantra pelindung. Ia mengeluarkan sebuah vial kecil dari balik jubahnya yang berisi setetes air embun purnama yang dikumpulkan saat gerhana pertama muncul. Ramuan itu, konon, memiliki kekuatan memanggil roh dari kedalaman jika digunakan dengan tulus dan niat suci.
Dengan perlahan, ia menuangkan setetes air embun itu ke kain sutra. Kilauan kecil muncul sesaat, seperti bintang yang jatuh di atas sutra putih. Kemudian, ia menunduk, menyentuhkan ujung pedang naga yang ia bawa ke kain tersebut. Sebuah getaran ringan merambat dari logam ke air, dari air ke udara, dan dari udara ke dalam dunia roh.
“Sekarang, Bai Xue.” bisik Liang Feng tanpa menoleh.
Bai Xue membuka matanya perlahan. Kedua matanya kini memancarkan cahaya perak yang lembut dan dari tubuhnya mulai keluar aura perak yang berdenyut, seperti riak cahaya yang menari-nari di atas permukaan air. Ia melangkah maju, berdiri di belakang Liang Feng, lalu mengangkat tangannya.
Aura perak itu melesat perlahan ke atas lingkaran sesajen, menyelimuti kelopak teratai dan koin perunggu. Kelopak-kelopak itu mulai berpendar dengan terang yang anehnya hal itu tidak menyilaukan, tapi menyentuh hati. Koin-koin perunggu bergetar halus, seolah merespons panggilan yang telah lama dinantikan.
Tiba-tiba, permukaan air Sungai Bayangan bergelombang. Bukan karena angin, tapi seperti ada sesuatu dari dalam yang mendorong ke atas. Suara gemuruh halus terdengar, menimbulkan getaran di pasir tempat mereka berdiri. Bayangan samar bergerak di bawah air, membentuk siluet raksasa yang mendekat ke permukaan.
Liang Feng spontan menggenggam tangan Bai Xue dan memusatkan Tianlong Mark yang terukir di telapak pedangnya. Matanya terpejam sejenak, lalu ia mengingat petuah Nenek Li
“Tahan kesunyian, sambut bisikan dasar bumi.”
Dari tengah lingkaran sesajen, air menyembur pelan, dimana hal itu bukan seperti air mancur, melainkan seperti kepala seekor makhluk besar yang muncul perlahan dari tidur panjangnya. Sosok itu adalah kura-kura raksasa, cangkangnya penuh dengan relief bait mantra yang tampak bersinar samar-samar. Matanya besar, tenang dan memancarkan kedalaman waktu yang tak terbayangkan.
Ia menatap sesajen yang telah disusun. Kemudian, dari dalam tenggorokannya, terdengar suara gemuruh lembut yang terdengar seperti gonggongan purba. Suara itu tidak memekakkan telinga, tapi menembus hati, menimbulkan getaran yang membuat lutut hampir goyah.
Liang Feng membungkuk dengan penuh hormat, pedangnya terangkat setengah ke atas sebagai tanda persembahan. Bai Xue tetap menyalurkan aura peraknya untuk menjaga kestabilan cahaya yang menyelimuti lingkaran.
Kura-kura itu menundukkan kepalanya, memperlihatkan lehernya yang panjang dan berkerut seperti akar-akar pohon tua. Sesaat kemudian, kelopak teratai mengembang sempurna, seolah bunga itu terlahir kembali dalam versi tertingginya. Koin-koin perunggu pun terangkat pelan, menari-nari mengelilingi cangkang raksasa seperti benda-benda langit dalam orbit mistis.
Kain sutra mulai mengeluarkan wangi asing, seperti aroma asin yang bercampur dengan aroma bunga laut, tanda kehadiran roh purba dari samudra. Getaran itu menjalar ke seluruh aliran Sungai Bayangan, membuat air di sekitar desa berpendar pelan.
Saat gema terakhir dari mantra Liang Feng menghilang di udara, sosok kura-kura mulai muncul, perlahan memperhatikan wujudnya ke dasar sungai. Tidak ada riak keras, hanya lingkaran kecil air yang terombang-ambing kembali seperti terjadi gempa bumi didasar sungai.
Liang Feng menarik napas panjang, lalu meneguk sisa embun purnama dari ujung pedangnya, sebagaimana yang diajarkan dalam ritual penyegelan.
“Ritual berhasil.” gumamnya lirih, namun penuh rasa syukur dan lega.
Bai Xue mengepakkan ekornya, aura peraknya kini memudar perlahan, meninggalkan kehangatan lembut di udara. “Roh Kura-Kura terbangun.” ucapnya, suaranya terdengar berbeda dan lebih dalam, seolah dirinya pun disentuh oleh kekuatan kuno itu. “Petunjuk selanjutnya menanti di inti gua bawah tanah. Kita harus bersiap.”