NovelToon NovelToon
Benih Pahit Berbuah Manis

Benih Pahit Berbuah Manis

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cinta setelah menikah / One Night Stand / Hamil di luar nikah / Cinta Seiring Waktu / Menikah Karena Anak
Popularitas:4k
Nilai: 5
Nama Author: Volis

Shanaira Monard tumbuh dalam keluarga kaya raya, namun cintanya tak pernah benar-benar tumbuh di sana. Dicintai oleh neneknya, tapi dibenci oleh ayah kandungnya, ia menjalani hidup dalam sepi dan tekanan. Ditengah itu ada Ethan, kekasih masa kecil yang menjadi penyemangatnya yang membuatnya tetap tersenyum. Saat calon suaminya, Ethan Renault malah menikahi adik tirinya di hari pernikahan mereka, dunia Shanaira runtuh. Lebih menyakitkan lagi, ia harus menghadapi kenyataan bahwa dirinya tengah mengandung anak dari malam satu-satunya yang tidak pernah ia rencanakan, bersama pria asing yang bahkan ia tak tahu siapa.

Pernikahannya dengan Ethan batal. Namanya tercoreng. Keluarganya murka. Tapi ketika Karenin, pria malam itu muncul dan menunjukkan tanggung jawab, Shanaira diberi pilihan untuk memulai kembali hidupnya. Bukan sebagai gadis yang dikasihani, tapi sebagai istri dari pria asing yang justru memberinya rasa aman.

Yuk ikuti kisah Shanaira memulai hidup baru ditengah luka lama!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Volis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 15. Pemeriksaan Kehamilan

Begitu memasuki ruang pendaftaran klinik ibu dan anak, aroma antiseptik langsung menyambut mereka. Suasana cukup ramai, dengan beberapa pasangan dan ibu hamil yang sudah menunggu. Shanaira melangkah perlahan, satu tangannya memegang perutnya yang masih datar, entah kenapa terasa gugup. Ini pertama kalinya ia datang untuk pemeriksaan kehamilan, dan semuanya terasa asing baginya.

“Shanaira, kamu duduk dulu saja,” ucap Karenin, suaranya tenang namun terdengar jelas di tengah keramaian. Ia menunjuk ke barisan kursi di area tunggu. “Biar aku yang urus pendaftarannya.”

Shanaira mengangguk pelan, tanpa banyak kata. Ia lalu berjalan ke deretan kursi dan memilih tempat yang sedikit di pojok, agar tak terlalu mencolok. Sementara itu, Karenin beranjak menuju loket pendaftaran.

Shanaira menatap sekeliling. Di sekitarnya, ada beberapa ibu hamil yang duduk sambil berbincang atau sibuk dengan ponsel masing-masing. Beberapa datang sendiri, tapi banyak juga yang ditemani suami mereka. Ada yang saling berpegangan tangan, ada yang dibawakan minuman oleh pasangannya. Pemandangan itu membuat dadanya terasa aneh, semacam kosong yang sulit dijelaskan.

Seorang wanita yang duduk tepat di sebelahnya tersenyum dan menatapnya ramah. Perut wanita itu terlihat sudah cukup besar, mungkin memasuki trimester ketiga.

"Suamimu yang tadi ya?" tanya wanita itu, nadanya ramah dan ringan.

Shanaira mengangguk pelan. “Iya…”

“Dia perhatian sekali ya. Langsung urus pendaftaran sendiri, nggak suruh kamu berdiri lama-lama.”

Shanaira mencoba tersenyum, meski hatinya masih terasa canggung. “Iya… dia memang begitu orangnya.”

“Aku ke sini sendirian. Suamiku kerja, katanya nggak bisa ninggalin kantor,” ujar wanita itu sambil mengelus perutnya. “Kadang pengin juga ditemani, tapi ya sudahlah.”

Shanaira menatap wanita itu, lalu kembali melirik ke arah Karenin yang masih berbicara dengan petugas di meja pendaftaran. Wajah pria itu tampak serius, sesekali ia mengangguk dan menyodorkan berkas yang sudah disiapkan.

“Mungkin… dia memang perhatian,” gumam Shanaira lebih kepada dirinya sendiri.

Wanita di sebelahnya tersenyum hangat. “Kamu beruntung. Dia kelihatan tulus.”

Shanaira tidak menjawab. Ia hanya menunduk sedikit, menyentuh perutnya sendiri. Rasanya aneh. Mereka memang menikah, tapi bukan karena cinta. Ia bahkan belum benar-benar mengenal Karenin. Dan semua ini, semua langkah yang sedang ia jalani, masih terasa seperti berjalan di kabut.

Tak lama kemudian, Karenin kembali. Ia menatap Shanaira sebentar, lalu duduk di sebelahnya.

“Sudah, tinggal tunggu dipanggil,” katanya.

Shanaira mengangguk, tanpa membalas dengan kata-kata. Ada keheningan sesaat di antara mereka, hanya diiringi suara-suara kecil di ruangan dan pengumuman yang kadang terdengar dari pengeras suara.

Namun di dalam hati, ada pertanyaan yang mulai tumbuh—tentang apa arti dari semua ini, dan ke mana arah hubungan mereka yang dimulai dari sebuah kenyataan pahit dan bukan cinta.

*****

“Ibu Shanaira Monard, silakan masuk ke ruang tiga,” suara dari pengeras terdengar di seluruh ruang tunggu.

Karenin segera menoleh dan berdiri. Ia menatap Shanaira yang masih tampak diam dengan tangan di pangkuan.

“Shanaira, sekarang giliran kamu,” ucap Karenin pelan. “Ayo, aku temani.”

Shanaira mengangguk, meski gerakannya kaku. Ini pertama kalinya ia memeriksakan kandungannya—dan ia belum siap. Perasaannya campur aduk, antara gugup, takut, dan… tidak percaya.

Mereka melangkah menuju ruang tiga, dan Karenin membukakan pintu untuknya. Seorang dokter wanita paruh baya dengan wajah tenang dan bersahabat menyambut mereka.

“Silakan masuk. Ibu Shanaira, ya?” tanya sang dokter.

“Iya, Dok,” jawabnya pelan.

“Dan ini… suami?”

Karenin hanya mengangguk kecil.

“Baik. Karena ini pemeriksaan pertama, kita akan mulai dengan USG untuk memastikan posisi dan usia kehamilan. Nggak perlu tegang, ya. Ini prosedur standar.”

Shanaira mencoba tersenyum, walau wajahnya tetap pucat. Ia naik ke tempat tidur periksa dengan jantung yang berdetak tak karuan. Bahkan ketika gel dingin mulai dioleskan di perutnya, tubuhnya masih menegang.

Layar monitor perlahan menampilkan gambar hitam-putih yang samar. Dokter mengarahkan alat dengan hati-hati.

“Nah, ini dia… kelihatannya usia kehamilan lima minggu. Kantung kehamilannya sudah terlihat, posisi bagus,” jelas sang dokter dengan lembut.

Shanaira menahan napas. Ia menatap titik kecil di layar itu—begitu mungil, bahkan tak berbentuk jelas, tapi nyata. Itu… anaknya.

Anak dari hubungan yang rumit. Anak dari pernikahan yang tak dilandasi cinta.

Karenin berdiri di sampingnya, menatap layar yang sama dengan ekspresi serius. Ia tidak bicara, tapi sorot matanya menunjukkan bahwa ia juga tengah mencerna sesuatu.

“Belum bisa kita dengar detak jantungnya, ya, karena usia kandungan masih sangat muda. Tapi sejauh ini, semua terlihat normal. Nanti saya berikan vitamin dan jadwal kontrol berikutnya,” jelas dokter sambil mengulurkan tisu untuk membersihkan perut Shanaira.

Setelah pemeriksaan selesai dan Shanaira kembali mengenakan bajunya, mereka berdua duduk di depan meja dokter. Suasana di ruangan itu terasa hangat dan tenang, hanya terdengar suara ketikan lembut dari keyboard komputer sang dokter.

Karenin menyandarkan punggungnya ke kursi, lalu bersuara, pelan tapi mantap, “Dok, apa saja yang perlu kami perhatikan? Maksud saya… untuk ibu hamil, terutama di awal-awal begini.”

Dokter tersenyum, memutar sedikit kursinya agar menghadap mereka berdua lebih langsung. “Pertanyaan bagus, Pak Karenin. Trimester pertama adalah masa yang cukup krusial karena janin sedang berkembang sangat pesat. Jadi, ada beberapa hal yang penting diperhatikan.”

Ia lalu mengangkat jarinya satu per satu. “Pertama, asupan gizi. Ibu harus makan makanan bergizi seimbang—karbohidrat, protein, sayuran hijau, buah, dan terutama yang kaya folat dan zat besi. Kedua, hindari stres berlebihan. Kesehatan mental ibu juga memengaruhi janin. Ketiga, istirahat yang cukup, jangan terlalu lelah.”

Shanaira mengangguk pelan, mencatat dalam hati. Ia masih terlihat canggung, tapi kini lebih fokus.

“Kalau mualnya parah, boleh konsultasi lagi nanti untuk atasi dengan obat yang aman. Dan tentu saja, hindari kafein berlebihan, rokok, alkohol, serta obat-obatan tanpa rekomendasi dokter,” lanjut sang dokter.

Karenin menatap Shanaira sejenak, lalu kembali pada sang dokter. “Untuk aktivitas… dia masih bisa kerja seperti biasa?”

“Selama tidak terlalu berat dan tidak membuatnya kelelahan, silakan. Tapi kalau ada keluhan seperti nyeri perut, pendarahan, atau mual muntah berlebihan, langsung istirahat dan datang ke dokter.”

“Baik, saya mengerti,” kata Karenin, suaranya lebih tenang kini. Ia menoleh pada Shanaira, ekspresinya sedikit melunak. “Kalau ada yang mengganggu, langsung bilang ke aku, ya?”

Shanaira tidak langsung menjawab. Tapi ia menatap Karenin, matanya sedikit membasah, lalu mengangguk kecil. “Iya…”

Dokter tersenyum melihat interaksi mereka. “Kalian pasangan baru ya? Awalnya pasti terasa canggung. Tapi kehadiran bayi biasanya mengubah banyak hal.”

Karenin hanya tersenyum samar. Sementara Shanaira menunduk, menyembunyikan rona yang sulit dijelaskan—antara takut, bingung, dan haru. Ia belum tahu ke mana arah semuanya ini.

Setelah keluar dari rumah sakit Karenin menghentikan sebuah taksi dan keduanya masuk ke dalam mobil diam-diam.

Suara mesin taksi menderu pelan di tengah lalu lintas kota yang mulai padat. Di kursi belakang, Shanaira duduk sambil menatap lembar hasil pemeriksaan di tangannya. Kertas itu sedikit bergetar, mengikuti getaran halus dari kendaraan yang melaju.

Di sudut atas kertas, tertulis jelas: Usia kehamilan: 5 minggu.

Angka itu seolah bergema dalam benaknya. Lima minggu. Begitu nyata sekarang. Bukan sekadar rasa mual atau perasaan tak menentu—ada kehidupan di dalam dirinya.

Ia menatap bulatan kecil hasil USG yang masih tercetak samar. Bayangan hitam-putih itu tak berbentuk, tapi cukup untuk membuat dadanya terasa penuh.

Karenin duduk di sebelahnya, diam. Tangannya bertumpu di lutut, menatap ke luar jendela. Seolah memberi ruang.

Setelah beberapa saat, suara lembut Shanaira memecah keheningan.

“Aku masih belum percaya.…” gumamnya tanpa menoleh.

Karenin mengalihkan pandangan padanya. “Tentang bayinya?”

Shanaira mengangguk pelan, matanya tetap tertuju pada lembar kertas itu. “Rasanya aneh. Baru lima minggu, tapi sudah cukup untuk mengubah semuanya.”

Karenin mengangguk, meski tak langsung membalas.

Beberapa detik hening lagi. Lalu Shanaira bertanya, suara lirih, “Kamu yakin… kita bisa menjalani ini?”

Karenin menoleh padanya, dan untuk pertama kalinya sejak keluar dari rumah sakit, matanya menatap Shanaira dengan lebih dalam. “Aku nggak tahu apa yang akan terjadi nanti. Tapi yang jelas… aku nggak akan lari.”

Shanaira tak menjawab. Ia hanya kembali menatap kertas itu, dan kali ini, kedua tangannya menggenggamnya lebih erat. Seolah berusaha menyakinkan dirinya sendiri bahwa ia tak lagi sendirian. Dia memiliki seorang bayi yang terhubung dengan darahnya.

1
Marifatul Marifatul
ko dikt
Marifatul Marifatul
lanjut lagi dooong
Miu Nih.
kayaknya Karenin baik nih. aku suka cowok grenflag... jgn patahkan ekspektasiku ya tor /Determined//Determined/
Miu Nih.
Hehe, bikin ethan mabuk aja kalo gituuu 😘😘
Miu Nih.
semoga Karenin baik 😌
Miu Nih.
wah, orang yang berpengaruh ini pastiny 🤩🤩
Miu Nih.
aaahh... kasihan banget shanaria... ethan juga kasihan 😭😭
Miu Nih.
iklin liwittt~ trabas aja, aku lanjut author 🤗🤗
Miu Nih.
ya wis lah, Claira sama ethan wae...
shanaria biar ketemu bapak dari adek bayi yang ada diperutnya 😌
Miu Nih.
Ha? ya ampun thor,, kisah kamu plot twist banget... cukaaa 🥶🥶
Miu Nih.
aaahh 😫😫 penyesalanku berakhir dengan penyesalan... kasihan shanaria ku, huhu...
Miu Nih.
aduh, bahaya nih
Miu Nih.
sip ini, semoga jadi cinta sejati /Determined//Determined/
Miu Nih.
Kamu pantas bahagia Shanaria,, nama kamu cantik banget 🥰🥰
Miu Nih.
Holla kak, aku mampir...

baca pelan2 ya sambil rebahan 🤭
salam kenal dari 'aku akan mencintaimu suamiku,' jangan lupa mampir 🤗
范妮
ak mampir kak..
jangan lupa mampir jg di Menaklukan hati mertua mksh
Marchel
kasian shan. semoga shan mendapatkan kebahagiaan yang sempurna
Marchel
Anak siapa itu shan?
Marchel
Kasian shan, di awal cerita harus menanggung bawang.. semoga shan bahagia ya dan yang jadi lakinya tetap setia
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!