Apa jadinya jika kakak beradik saling jatuh cinta. Seluruh dunia bahkan menentang hubungan mereka.
Dan tanpa mereka sadari, mereka telah melakukan sumpah untuk sehidup semati bersama.
Hingga sebuah kecelakaan mengakhiri salah satu hidup dari mereka.
Apa yang akan terjadi selanjutnya?
Apakah mereka memang ditakdirkan untuk hidup bersama?
Ikuti jalan ceritanya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yenny Een, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15 Amelia
🌑 Di hotel.
"Apa! Cari mereka dan minta rekaman CCTV!" Hadi memberikan perintah.
"Ada apa Mas?" tanya oma Laila.
"Nabil dan Nabila lari meninggalkan hotel."
"Nabil, Nabila?" Hakim segera mengambil ponselnya dan menghubungi Nabil.
Nabil mengangkat teleponnya. Hakim dengan lembut bertanya mengapa Nabil dan Nabila lari dari pengawal. Nabil bilang dia mendengar pembicaraan Hakim di kamar oma Laila. Nabil takut para pengawal ditugaskan untuk menangkap dan mengurung mereka.
"Nabil, kami tidak ada niat untuk mengurung kalian. Kami hanya ingin kalian kembali menjadi saudara. Kembalilah sayang," kata Hakim.
"Papa berniat memisahkan kami," terdengar suara Nabil dari balik telepon.
"Sayang, kembalilah. Papa tidak akan memisahkan kalian."
🌑 Di dalam mobil.
Nabil hanya diam setelah Hakim mematikan teleponnya. Nabila juga menerima telepon dari Amina. Nabila merasakan kesedihan dari Amina. Nabila meminta Nabil agar mereka pulang ke rumah.
Nabil kembali diam. Kedua orang tuanya pasti sangat terkejut saat ini. Wajar jika mereka marah dan kecewa. Nabil harus menyelesaikan masalah. Nabil akan kembali ke rumah.
"Bu Amel kok bisa ada di hotel?" tanya Nabil.
"Ada kerabat Ibu yang nginap di hotel dan Ibu tadi lihat kalian berlarian seperti dikejar orang," jawab Amel.
"Terima kasih banyak atas bantuannya. Bolehkah kami minta tolong diantar ke rumah?" pinta Nabil.
"Boleh, kalian tinggal di mana?"
"Jalan Kerinci nomor 33," jawab Nabil.
Amel melajukan mobilnya ke Jalan Kerinci. Sesampainya di sana, Hakim dan Amina menunggu mereka di depan pagar rumah. Amina memeluk Nabil dan Nabila. Amina menangis dan meminta mereka untuk tidak meninggalkannya.
Hakim berterima kasih kepada orang yang telah mengantarkan anaknya pulang ke rumah. Hakim dan Amina mengajak Amel untuk duduk di teras rumahnya. Sedangkan Nabil dan Nabila masuk ke dalam kamar mereka masing-masing.
Hakim dan Amina memperkenalkan diri mereka begitu juga dengan Amel.
"Maaf Bu Amel. Benarkah Ibu yang bilang kepada Nabil bahwa dia dan kembarannya sudah dijodohkan dari lahir?" tanya Hakim.
"Iya, saya yang bilang. Mereka memang ditakdirkan bersama."
"Maaf Bu Amel, mereka itu bersaudara," kali ini Amina yang bicara.
"Saya melihat mereka memang ditakdirkan untuk bersama," sahut Amel.
"Tolong Bu Amel, jangan meracuni pikiran Nabil. Mereka itu bersaudara, sedarah," kata Hakim.
"Sebagai orang tua seharusnya Anda membahagiakan mereka, jangan menentangnya."
"Astaghfirullah," Amina mengusap dadanya.
"Nabil sangat mencintai Nabila. Begitu juga sebaliknya. Seharusnya kalian merestui mereka bukan memisahkan mereka."
"Cukup Bu Amel!" Amina sudah tidak bisa menahan diri.
Amel melihat Nabila yang keluar membawakan minuman dan cemilan. Nabila menaruhnya di atas meja. Dan di belakang Nabila ada Nabil. Amel mulai merencanakan sesuatu.
"Pak Hakim, Bu Amina, tolong mereka jangan dihukum. Mereka hanya saling mencintai," Amel memegang lengan Nabila.
"Dihukum?" Nabila memandangi mama papanya.
"Siapa yang ingin menghukum mereka? Bu Amel jangan mengada-ada!" Hakim menaikan suaranya.
"Nabil, Nabila, maaf kalo Ibu ikut campur dalam urusan kalian. Tadi orang tua kalian ingin menghukum kalian. Salah satu dari kalian akan dinikahkan dengan orang lain," Amel semakin menjadi-jadi.
"Bu Amel! Jangan memperkeruh keadaan! Saya bisa laporkan Ibu ke polisi!" Hakim semakin geram.
"Bu Amel, saya tidak tahu apa maksud dan tujuan Anda. Pergi Anda dari rumah kami!" usir Amina.
"Maaf, niat saya baik. Nabil, Nabil, Ibu pamit ya. Tidak akan ada yang mengerti kalian. Kalian sudah pasti akan segera dipisahkan. Sebelum itu terjadi, kalian berdua harus menikah," kata Amel.
"Bu Amel, keluar sekarang juga!" Hakim dengan kasar menarik paksa lengan Amel dan mendorongnya keluar dari pagar rumahnya. Hakim juga mengunci pagar rumahnya.
Amel masuk ke dalam mobil dan dengan cepat meninggalkan rumah Hakim. Amel tertawa terbahak-bahak sambil memukul-mukul setir. Amel merasa puas karena sudah membuat kekacauan di rumah Nabil.
Ada perasaan senang ketika melihat wajah Nabil dan Nabila pucat, takut mendengar akan dihukum orang tuanya. Begitu juga dengan wajah Amina dan Hakim yang marah ketika Amel menyebarkan kebohongan.
"Ha, ha, ha. Hancur kalian! Hancurlah kalian!" teriak Amel.
"Kak Hakim, aku kembali. Aku ingin kamu merasakan sakit hati! Aku tidak rela kamu mempunyai anak bersama wanita itu! Dan anak-anakmu tidak akan terpisahkan karena mereka sudah melakukan sumpah darah."
Amel merasa puas. Amel merasa bahagia. Amel teringat ketika Laila mengusir Amel dan keluarganya dari Kota A beberapa tahun yang lalu. Amel dipecat dari perusahaan tempat dia bekerja karena campur tangan Laila.
Amel, Fadli dan Dina pindah ke Kota C. Di sana Fadli mendapatkan pekerjaan sebagai karyawan di kantor pemasaran relasi Laila. Karena gajinya tidak dapat memenuhi kebutuhan gaya hidup Amel, Dina terpaksa mencari pekerjaan di sebuah villa dan menjadi pelayan.
Amel yang terbiasa hidup mewah tidak tahan dengan kemiskinan kemudian melamar pekerjaan di salah satu rumah sakit menjadi staf administrasi. Dan di rumah sakit itu Amel bertemu dengan seorang Dokter ahli bedah plastik. Amel dan Dokter itu berkenalan dan akhirnya menikah.
Dengan bantuan suaminya, Amel merubah wajahnya. Suami Amel kemudian mendapatkan tawaran bekerja di luar kota. Entah alasan apa, Amel menolak ikut suaminya. Amel memilih tinggal di Kota A bersama Kevin anak tirinya.
Tujuan Amel tinggal di Kota A ingin menghancurkan keluarga Laila dan juga rumah tangga Hakim. Amel tiba di rumahnya. Fadli dan Dina sudah lama menunggunya di rumah. Amel duduk di ruang tamu bersama kedua orang tuanya.
Setelah Fadli masuk ke dalam kamar dan beristirahat. Amel menceritakan semuanya kepada Dina.
"Kamu berhasil menemukan rumah Hakim. Seharusnya salah satu anak Hakim dalam waktu dekat akan menghilang. Sebelum itu terjadi, hancurkan keluarganya biar Hakim dan Amina berkali-kali lipat merasakan sakitnya kehilangan," kata Dina.
"Bu, kalo boleh tau, mengapa Ibu sangat membenci Om Hakim dan Tante Amina?" pertanyaan yang sudah bertahun-tahun lamanya Amel pendam.
"Sebenarnya yang Ibu benci adalah Laila."
"Oma Laila? Kenapa?"
Dina membawa Amel ke belakang rumah. Dina setengah berbisik memberitahu alasannya sangat membenci Laila. Dulu Dina dijodohkan orang tuanya. Ternyata orang yang dijodohkan itu adalah Hadi.
Dan setelah hari perjodohan ditentukan, yang datang waktu itu adalah Fadli bersama kedua orang tuanya. Mereka bilang, Hadi ternyata sudah mempunyai kekasih. Dina tidak bisa menolak karena saat itu keadaan ekonomi mereka sangat sulit dan menikah dengan Fadli adalah satu-satunya cara agar hutang keluarga Dina dapat segera dilunasi.
"Hutang apa?" Amel menyipitkan matanya.
"Orang tua Ibu punya banyak hutang di rentenir. Dan orang tua Ayahmu lah yang melunasi semua hutang Kakek dan Nenek."
Dina dan Laila diperlakukan beda. Karena Laila anak orang kaya. Laila hidup bahagia, dimanja Hadi. Sedangkan dirinya tidak bahagia karena Fadli main wanita dan berjudi.
"Ibu iri lihat Laila yang begitu bahagia. Tapi sekarang dia pasti sakit hati karena cucu kesayangannya saling jatuh cinta."
"Kata Ibu salah satu anak Amina akan menghilang, kapan itu?"
"Menurut Eyang, waktunya sudah dekat. Ibu sudah tidak sabar melihat mereka menangis," Dina tertawa sambil menyeringai.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...