Irene Larasati seorang polisi wanita yang ditugaskan menyamar sebagai karyawan di perusahaan ekspor impor guna mengumpulkan informasi dan bukti sindikat penyeludupan barang-barang mewah seperti emas, berlian dan barang lainnya yang bernilai miliaran. Namun, bukannya menangkap sindikat tersebut, ia malah jatuh cinta kepada pria bernama Alex William, mafia yang biasa menyeludupkan barang-barang mewah dari luar negri dan menyebabkan kerugian negara. Alex memiliki perusahaan ekspor impor bernama PT Mandiri Global Trade (MGT) yang ia gunakan sebagai kedok guna menutupi bisnis ilegalnya juga mengelabui petugas kepolisian.
Antara tugas dan perasaan, Irene terjerat cinta sang Mafia yang mematikan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reni t, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
"Hmm ... baiklah, emang gak akan mudah menemukan bukti kejahatan mereka," ucap Edwin dengan helaan napas panjang. "Baiklah, saya minta kamu tetap berhati-hati menjalankan misi kamu. Jangan sampai mereka tau siapa kamu, oke?"
Irene terdiam, pikirannya melayang entah ke mana hingga tidak mendengar apa yang baru saja diucapkan oleh sang atasan. Tatapan matanya nampak lurus memandang ke depan, melayangkan tatapan kosong. Sementara kamera kecil masih ia genggam.
"Ya Tuhan, kenapa aku harus bohong segala? Seharusnya, aku bilang aja udah dapet bukti itu biar pekerjaan aku selesai," batinnya seraya menarik napas dalam-dalam.
"Irene, kamu masih disitu, 'kan?" tegur Edwin membuat Irene tersentak.
"Hah? I-iya, Pak. Aku masih di sini. Eu ... anda bilang apa tadi?" jawab Irene seraya mengusap tengkuknya sendiri yang terasa merinding.
"Kamu harus selalu hati-hati dan waspada dalam menjalankan tugas kamu, Irene. Jangan sampai mereka tau siapa kamu, terutama di Alex. Saya denger, sekretarisnya menghilang beberapa hari yang lalu," ucap Edwin.
"Sekretaris?" gumam Irene.
Informasi tentang sekretaris Alex pun sudah ia kantongi sebenarnya. Berdasarkan penuturan David, sekretaris Alex sengaja dibunuh olehnya atas perintah Alex William. Alasannya sudah jelas, wanita malang itu sudah mengetahui terlalu banyak tentang bisnis ilegal yang dijalankan oleh mereka. Bulu kuduk Irene kembali merinding, mengingat hal tersebut membuat rasa takut kembali menggelayuti jiwanya. Apakah dirinya akan bernasib sama seperti wanita itu? Meskipun Alex menyatakan cinta kepadanya, tapi ia yakin pria itu tidak akan segan menghabisi nyawanya apabila mengetahui siapa ia sebenarnya. Irene kembali larut dalam lamunan hingga Edwin kembali menegurnya dengan suara lantang, masih dalam sambungan telepon.
"Nah 'kan, kayaknya kamu ngelamun lagi deh. Kamu baik-baik aja 'kan, Ren? Kamu masih sanggup menjalankan misi ini?" tegur Edwin.
"Emangnya aku boleh mengibarkan bendera putih dan menyerah? Nggak, 'kan?" jawab Irene, menyandarkan kepalanya berikut punggungnya di sandaran sofa.
"Bener juga. Ya udah, saya tunggu laporan dari kamu secepatnya, Irene."
"Baik, Pak," jawab Irene sebelum akhirnya menutup sambungan telepon.
Irene terdiam, meringkuk di atas sofa dengan perasaan bingung. Apa yang harus lakukan sekarang? Mengapa dirinya menunda melaporkan bukti yang sudah ia dapat? Bukti tersebut lebih dari cukup untuk menjebloskan Alex dan komplotannya ke dalam penjara. Apa mungkin hatinya dan perasaanya mulai terpaut dengan sang mafia? Perlakuan manis Alex mampu meluluhkan hatinya, hingga melupakan tujuan awalnya mendekati pria itu. Irene tiba-tiba mengingat sosok sang ayah yang sudah tiada.
"Maafin aku, Yah. Seharusnya aku lebih bisa menjaga diri, tapi aku malah tidur sama orang yang udah nyebabin Ayah meninggal," gumamnya, buliran bening seketika luruh, membasahi kedua sisi wajah Irene Larasati.
***
Satu bulan kemudian
"Ini surat pengunduran diri saya, Pak," ucap Irene, meletakan amplop coklat di atas meja sang komandan. Dengan mengenakan seragam lengkap kepolisian, Irene berdiri di depan meja Edwin. "Dan ini, bukti kongkrit atas kejahatan yang udah dilakukan sama Alex dan komplotannya. Semoga dengan bukti ini, kita bisa menangkap mereka, Pak. Saya minta maaf karena saya harus keluar dari perkejaan saya sebagai polisi."
Edwin mengerutkan kening menatap amplop berikut plash disk yang berada di atas meja kerjanya. "Sebenarnya apa yang terjadi, Irene? Kenapa tiba-tiba kamu mengundurkan diri kayak gini? Apa Alex mengancam kamu?" tanyanya dengan bingung "Padahal, saya mau ngajuin kenaikan jabatan buat kamu karena kamu berhasil menjalankan misi kamu, Ren. Tolong pikirkan lagi keputusan kamu ini."
Irene tersenyum hambar seraya menarik napas dalam-dalam. "Aku udah pikirin matang-matang, Pak. Aku pengen pindah ke kampung halamanku, membuka lembaran baru dan mencari kerjaan baru, Pak. Kerjaan sebagai polisi sangat melelahkan."
"Yakin kamu gak akan menyesal?"
"Aku yakin 100%, Pak. Tolong proses kasus Alex William. Bukti ini cukup untuk menjebloskan mereka semua."
Edwin berdiri tegak, melangkah menghampiri Irene lalu berdiri tepat di sampingnya. "Baiklah, kalau itu udah menjadi kepuasan kamu, Irene. Saya gak bisa memaksa, meskipun saya masih membutuhkan kamu di sini, tapi hidup kamu milik kamu sendiri. Tak ada yang bisa saya lakukan kalau kamu maunya seperti itu," ujar Edwin dengan penyesalan yang mendalam, kehilangan salah satu anggota yang memiliki kemampuan seperti Irene Larasati adalah sesuatu yang sangat ia sesalkan. "Saya doakan semoga kamu mendapatkan pekerjaan yang lebih baik di kampung. Eu ... tapi saya mau tanya sekali lagi sama kamu, Irene. Kamu yakin gak terjadi apa-apa antara kamu dan Alex?"
"Gak ada, Pak. Penyamaranku aman dan Pak Alex gak curiga sama sekali sama aku. Jadi, Anda gak perlu khawatir."
Edwin menarik napas panjang lalu menghembuskannya secara perlahan, menepuk pundak Irene dengan pelan. "Sedih sekali rasanya kehilangan anggota seperti kamu, Ren, tapi mau gimana lagi, saya gak bisa berbuat apa-apa. Semoga kamu bahagia dengan keputusan kamu."
Irene menganggukkan kepala dengan senyum paksa, menoleh dan menatap wajah Edwin. "Terima kasih, Pak. Saya senang karena pernah punya atasan seperti Anda. Saya permisi," ucapnya.
***
Keesokan harinya
Alex yang tengah duduk di ruangannya seketika dibuat kesal saat pintu ruangan dibuka dengan kasar tanpa diketuk terlebih dahulu. Pria itu sontak menoleh ke arah pintu, memandang wajah David dengan murka.
"Apa-apaan kamu, hah? Saya 'kan udah bilang kalau saya gak suka ada orang yang masuk ke ruangan saya tanpa mengetuk pintu dulu. Dasar gak sopan, udah bosan hidup kamu, ya?" bentaknya dengan mata membulat.
"Gawat, Tuan. Gawaaat!" seru David dengan napas tersengal-sengal karena sempat berlari menuju ruangan sang atasan.
Alex berdiri tegak. "Gawat gimana maksud kamu, hah? Kalau ngomong itu yang jelas dong!"
"Di bawah ada polisi, Tuan. Mereka membawa surat penangkapan buat Anda."
Alex terkejut dengan mata membulat. "Apa? Polisi?"
"Iya, Tuan. Apa yang harus saya lakukan sekarang? Mereka sedang menuju kemari."
"Di mana Irene? Hari ini saya gak ngeliat dia? Apa dia sakit?"
"Justru dia biang keroknya, Tuan. Saya udah pernah memperingatkan Anda tentang siapa dia sebenarnya, tapi Anda gak menanggapi peringatan saya. Sekarang, sekretaris Anda kabur setelah mendapatkan bukti tentang bisnis ilegal kita."
Alex memukul meja dengan keras, matanya membulat dan rahang mengeras. "Berengsek! Kamu cari dia sekarang juga dan bawa ke hadapan saya!" titahnya dengan tegas dan penuh penekanan.
"Apa Anda mau saya langsung ngehabisin dia, Tuan?"
Alex terdiam, kembali duduk seraya mengusap wajahnya kasar. Meskipun dirinya mendapatkan penolakan dari wanita itu, tapi perasaannya sama sekali tidak berubah, rasa cintanya kepada Irene tidak berkurang dan sempat menaruh harapan yang besar bahwa suatu saat nanti wanita itu akan membuka hati dan menerima cintanya. Namun, Alex tidak pernah memaafkan sebuah pengkhianatan. Siapapun orangnya harus menanggung resiko yang sangat besar apabila berani mengkhianati sang mafia, termasuk Irene Larasati, wanita yang sangat ia cintai.
"Bawa kehadapan saya sebelum kamu menghabisi dia, David. Ada yang mau saya tanyakan sama dia," jawab Alex, akhirnya membuat keputusan yang sangat sulit.
Bersambung ....
mampus kau david,habis ni kau akan liat kemurkaan dan kemarahan bang alex 🤭😅😅