Membina rumah tangga tidak semudah membalikkan tangan. Banyak rintangan yang datang dan kita wajib bersabar, lapang dada, dan memiliki sifat kejujuran.
Menikah dengan anak SMA butuh banyak bimbingan. Hadirnya cinta masa kelam membuat retak cinta yang sedang dibina. Banyak intrik dan drama yang membuat diambang perceraian.
Kasus pembunuhan, penyiksaan dan penculikan membuat rumah tangga makin diunjung tanduk. Bukti perselingkuhanpun semakin menguatkan untuk menuju jalan perpisahan. Mungkin hanya kekuatan cinta yang bisa mengalahkan semua, namun menghadapinya harus penuh kasabaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zhang zhing li, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Numpang Tidur Dirumahku
Minggu-minggu ini banyak sekali pekerjaan yang membuatku harus pulang larut malam lagi, karena tidak tega melihat Mila sendirian dirumah, jadi untuk sementara ku suruh dia untuk menginap dirumah kedua orangtuanya.
"Duh, capeknya. Mana kasus belum ada titik temunya." Hati berbicara kesal.
Jam sudah menunjukkan diangka 01.00 dini hari, rasanya ngantuk sudah tak tertahan lagi, dan secepatnya mata ingin ku pejamkan.
Tak mau buang-buang waktu, akupun langsung memasuki rumah, yang sudah melepaskan sepatu tanpa menganti pakaian lagi. Menghempaskan tubuh ke kasur begitu saja karena begitu kelelahan.
Ting ... tong ... ting ... tong, bel rumah berkali-kali telah dibunyikan seseorang.
"Aakhgh, siapa sih malam-malan begini bertamu? Apa tidak tahu sedang ada orang yang lagi istirahat!" ucapku kesal.
Mengucek mata agar sepenuhnya sadar. Sepertinya sudah tidak sabar lagi orang yang ingin bertamu.
"Haist, sial*n. Tamu ngak ada akhlak beneran dah ini."
Dengan sempoyongan perlahan-lahan langkah sudah berjalan ke arah pintu untuk segera membukanya.
"Iya ... iya, sebentar. Lagi berjalan ingin membuka." Berjalan lemas.
"Hh, minta ditabok nih orang." Masih saja bel terus dibunyikan.
Ceklek, pintu telah berhasil kubuka.
"Dona?" Keterkejutan ku.
"Kamu kok? Kenapa ke sini? Kamu sama siapa? Duh, apa kamu baik-baik saja ini?" cerocos menghujani pertanyaan.
"Maaf, Ryan. Jika malam-malam begini sudah menganggu kamu.'
"Kamu kenapa? Tidak ganggu, kok!" tanyaku saat melihat dia sudah menangis.
Tidak tega, saat dia nampak begitu berantakan.
"Ayo masuk!" ujarku mempersilahkan saat melihat wajahnya yang kacau dan ada memar biru.
"Serius ini boleh masuk?" Keraguan dengan wajah sendu.
"Masuk saja."
"Terima kasih."
Dona langsung duduk. Tanpa henti masih menangis.
"Sebentar. Aku akan ambilkan kamu minum."
"Eh, tidak usah, Ryan. Aku tidak ingin kamu repot."
"Tidak ada repot, kok. Hanya air saja."
Tetap memaksa untuk mengambil. Tidak enak kalau ada tamu tidak disuguhkan sesuatu. Tergopoh-gopoh menuju dapur.
"Minumlah. Biar kamu agak tenang," Ku sodorkan segelas air putih.
"Terima kasih." Dona mulai meneguknya.
Di lapnya mulut. Tak lupa pipi yang ada embun juga dia hapus. Duduk tepat didepannya.
"Ya ampun. Kamu kenapa, Dona? Wajah kok sembab dan penuh luka lebam-lebam begitu? Sepertinya bekas habis dipukul," cakapku khawatir.
Tangisannya malah menjadi-jadi. Sepertinya untuk saat ini susah untuk menceritakan.
"Kamu tenangkan diri dulu."
Dari tadi ditanya hanya memberikan jawaban menangis.
"Kamu disini dulu. Sebentar."
Langsung saja diriku mengambil kotak obat didalam kamar.
"Sini, aku bantu mengobati lukamu," tawarku yang sudah mendekatinya.
"Makasih, Ryan. Maaf sudah merepotkan mu."
"Iya. Ngak pa-pa."
Dengan hati-hati ku obati luka Dona, yang berada dibibir dan pelipis, yang diiringi selalu mengeluarkan airmata.
Ekspresi wajahnya berkali-kali sudah meringis menahan kesakitan, mungkin terasa perih sebab obat sudah dioleskan.
Memberikan tiupan sedikit agar perihnya berlalu pergi.
"Shes ... aaw. Sudah, Ryan. Aku gak pa-pa!" ujar Dona yang sudah tak tahan perih.
"Tapi--?"
"Tidak apa-apa."
"Serius ini tidak usah diobati lagi. Luka kamu udah membiru gitu."
"Iya. Sekarang agak lebih membaik. Kamu tidak usah khawatir berlebihan gitu."
"Ya sudah kalau gitu."
"Ini semua suamiku yang melakukan, karena dia telah kepergok sedang berselingkuh lagi, dan entah mengapa dia justru menghajar ku, untung saja bayiku tak apa-apa sekarang!" penjelasan Dona, yang sudah mengusap-usap perutnya yang masih rata.
Akhirnya dia buka suara walau suara serak-serak basah. Walau begitu raut wajah mulai nampak santai. Beda ketika baru datang tadi tegang, kacau dan aura kesedihan yang begitu mendalam.
"Syukurlah kalau begitu, tapi kamu serius ngak pa-pa 'kan? Apakah ada luka lain selain di wajah kamu?" tanyaku gelisah.
"Alhamdulillah, masih aman dan baik."
"Syukurlah," responku.
"Ryan, aku boleh minta tolong sama kamu kali ini saja, boleh nggak?"
"Mint tolong apa itu?"
"Biarkan aku menginap dirumah kamu semalam saja, ya! Sebab aku tidak mau ketemu lagi sama si b*jing*n suamiku itu. Takutnya kalau ketemu dia lagi, malah aku akan dihajarnya habis-habiskan," pinta Dona.
Tangan kini sudah menggaruk kepala yang tak gatal, akibat bingung bagaimana yang harus kulakukan.
"Duh, gimana ya?"
"Sehari saja. Tolong aku kali ini saja."
Dona seorang perempuan yang sedang hamil, dengan wajah penuh luka dan lebam, kalau disuruh pulang takutnya terjadi hal-hal lebih buruk lagi menimpanya, tapi kalau disuruh bermalam nanti bisa-bisa terjadi kesalahpahaman lagi.
"Kalau kamu keberatan gak pa-pa, aku paham. Lagian kamu sudah menikah. Mungkin aku harus pulang kerumah saja kali. Atau aku ingin bicara baik-baik sama istri kamu," ucap Dona yang sudah berdiri untuk melangkah pergi.
"Eeh ... eeh, tunggu."
"Emm, gak pa-pa Dona. Kamu gak usah pulang sekarang, lagian istriku Mila sedang menginap dirumah kedua orangtuanya, kamu bisa pakai kamar dia saja," jawabku yang tiba-tiba keceplosan menjawab, sebab hati sungguh tak tega.
Menolak takut dia menderita, diterima takut ada yang marah lagi.
"Wah, benarkah itu? Ini ngak jadi masalah 'kan? Takutnya ada omongan yang tidak mengenakkan nanti," Keraguannya.
"Em, kayaknya dijamin aman ini. Tetangga pada sibuk semua jadi aman dari ghibah."
"Syukurlah kalau gitu. Aku merasa lega juga ini."
"Hm, kamu istirahat lah kalau gitu. Sudah larut malam banget ini. Jaga kesehatanmu dan bayi yang kamu kandung. Jangan sampai karena luka yang kamu peroleh sekarang akan mempengaruhi kehamilanmu."
"Terima kasih atas perhatiannya, Ryan. Kamu satu-satunya orang yang bisa diandalkan dan menolongku sekarang," serak-serak ucapan Dona.
"Iya, sama-sama."
Dengan keterpaksaan aku mempersilahkan Dona untuk tinggal dirumah. Menunjukkan kamar yang dipakai Mila. Awalnya ragu untuk masuk, namun aku memaksanya karena dia nampak lesu dan letih.
"Selamat malam, Ryan. Terima kasih atas semuanya."
"Iya sama-sama. Kamu tidurlah awal sekarang. Selamat malam juga."
"Iya, terima kasih atas perhatianmu. Kamu juga harus tidur lebih awal lagi. Bukankah besok kerja?"
"Hmm, aku tahu itu." Melambaikan tangan.
Berkali-kali meminta maaf sebab sudah menampung. Cukup tersanjung juga dia membalas dengan maaf terus.
Mata yang sempat pejam jadi melek tidak bisa diajak kompromi secepatnya tidur lagi. Perut jadi keroncongan. Memasak mie untuk mengganjal perut.
"Duh, kok ngak tahu kalau ada Mila melakukan panggilan," Terlalu cemas memikirkan.
Sesekali melihat layar gawai yang ternyata banyak sekali hari ini panggilan dari istri tercinta. Tidak bisa langsung angkat sebab memang kerjaan padat sekali. Kini jari-jari mulai mengetik permintaan maaf dan kata-kata romantis agar dia tidak ngambek saat terlalu aku acuhkan seharian ini.