NovelToon NovelToon
Dion (2)

Dion (2)

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Anak Yatim Piatu / Cinta Beda Dunia / Cinta Seiring Waktu / Kebangkitan pecundang / Hantu
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: K. Hariara

Kenyataan menghempaskan Dion ke jurang kekecewaan terdalam. Baru saja memutuskan untuk merangkak dan bertahan pada harapan hampa, ia justru dihadapkan pada kehadiran sosok wanita misterius yang tiba-tiba menjadi bagian dari hidupnya; mimpi dan realitas.

Akankah ia tetap berpegang pada pengharapan? Apakah kekecewaan akan mengubah persepsi dan membuatnya berlutut pada keangkuhan dunia? Seberapa jauh kenyataan akan mentransformasi Dion? Apakah cintanya yang agung akhirnya akan ternoda?

Apapun pilihannya, hidup pasti terus berjalan. Mengantarkan Dion pada kenyataan baru yang terselubung ketidakniscayaan; tentang dirinya dan keluarga.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon K. Hariara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bukan Upah pun

Melati sedang membaca buku sambil duduk di meja komputer ketika Dion terbangun. Pemuda itu lalu bangkit sambil meraih kantung belanja yang sengaja ia letakkan di samping dipan.

“Lihat apa yang kubelikan untuk Kakak!” seru Dion sambil menunjukkan kantung belanja. Dion lalu mengeluarkan bungkusan pakaian-pakaian yang ia beli siang hari tadi dan menunjukkannya kepada wanita itu.

“Mudah mudahan ukurannya pas soalnya aku tak mengerti ukuran baju wanita,” ujar Dion.

Melati tampak antusias memeriksa pakaian-pakaian yang dibeli Dion. Tapi sejenak ia menaikkan alisnya memeriksa kembali muatan tas belanjaan itu.

“Ini sudah semua?” tanyanya.

Dion heran mendengar pertanyaan itu. Ia juga menoleh dan memeriksa tas belanjaannya. “Sudah dong, Kak. Modelnya Kakak nggak suka, yah?” tanyanya.

“Eh, bukan itu. Ya, sudah lah,” katanya lalu beranjak berdiri membawa tas belanjaan itu.

“Ada yang kurang, Kak?” tanya Dion yang masih bingung.

“Pakaian dalam,” jawab Melati lirih sambil melangkah menuju kamar mandi.

“Aduh, ku pikir kakak tidak suka dibeliin pakaian dalam. Tadi sih aku sudah kepikiran, tapi aku urung. Aku tidak berani. Malu. Semua penjaganya wanita,” kilah Dion malu-malu.

Melati yang sudah membuka pintu kamar mandi berhenti sejenak mendengarkan penjelasan Dion. Ia juga tak kalah malunya.

Tak tahu harus mengatakan apa, ia pun memasuki kamar mandi untuk mencobai pakaian-pakaian itu.

Beberapa saat kemudian, Melati keluar dari kamar mandi dengan mengenakan piama putih bercorak bunga. “Semuanya pas. Dion membeli ukuran yang benar.”

Dion diam terpana memandangi Melati. “Kakak cantik sekali! Kelihatan berbeda.”

Dipandangi seperti itu, Melati menjadi malu tapi juga senang dengan pujian yang dilontarkan Dion.

Melati tampak berbeda dari biasanya. Selain tampak lebih santai, wajahnya juga berseri layaknya gadis-gadis yang bergembira.

“Beneran cantik dengan piama?” tanyanya sambil memutar tubuhnya dan memandangi dirinya di cermin dekat pintu kamar mandi.

“Masih ada label di belakang, Kak,” kata Dion melihat sebuah label tersembul dari kerah piama yang Melati kenakan.

“Dion bantu lepasin!” pinta Melati.

Dion pun beranjak berdiri dan mengambil gunting dari meja komputernya untuk melepas label itu. Dari dekat ia bisa melihat tengkuk putih Melati yang ditumbuhi rambut-rambut halus yang menolak untuk ikut terikat beserta rambut panjang lainnya.

Dion kaget ketika melihat ke cermin. Ia tak melihat bayangan Melati di situ, hanya dirinya yang sedang berdiri sambil memegangi gunting.

“Kenapa?” tanya Melati melihat Dion kaget melalui cermin.

“Tidak apa-apa. Aku hanya kaget, ternyata kakak cantik sekali,” Dion mencari alasan karena tak ingin menceritakan keanehan itu pada Melati.

“Cantik, cantik! Dion sebenarnya mata keranjang juga,” gerutu Melati sambil berjalan kembali ke kursi yang tadi ia duduki.

“Aih si Kakak. Tak bolehkah seorang adik memuji kecantikan kakaknya?” Dion membela diri.

“Boleh, boleh,” jawabnya.

“Kakak tulisin saja spesifikasi pakaian dalam yang dibutuhkan. Aku sudah punya ide untuk membelinya tanpa rasa malu,” cetus Dion.

“Gimana caranya?”

“Ntar Dion minta tolong mbak-mbak di di sana mengambilkan pesanan Kak Melati. Aku bisa beralasan kakakku kurang sehat jadi tak bisa meninggalkan rumah, gitu,” usul Dion lagi.

“Ah, begitu boleh juga,” Melati senang dengan ide Dion.

Dion tak kalah gembira melihat wajah Melati sangat ceria. “Apa pun yang terjadi pada Kak Melati, hal itu telah mengambil banyak sekali keceriaan itu,” sesal Dion dalam hati.

“Nanti kalau aku dapat tambahan uang, aku ingin membelikan televisi mengurangi rasa bosan di kamar,” ujar Dion setelah beberapa saat.

“Hmm… Kalau ada uang saja. Jangan dipaksakan,” sahut Melati sambil membereskan pakaian-pakaian yang dibelikan Dion tadi.

Dion lalu menceritakan hal-hal yang ia alami seharian itu. Mulai dari pertemuannya dengan Sutan, menerima pemberian ponsel hingga kegiatannya bersama Meyleen pada sore harinya.

“Ponsel nya di mana? Kakak tidak melihat kamu membawanya.”

“Aku simpan di laci kantor. Kan belum ada simcard-nya.”

“Trus, tuh cewek. Siapa namanya? Mei?”

“Meyleen.”

“Cantik?”

“He eh. Tapi kakak masih lebih cantik.”

“Kok malah bandingin denganku. Apa Dion menyukainya?”

“Sepertinya dia baik. Mungkin dia cuma merasa kesepian karena tak punya teman di kota ini.”

“Maksudku. Apa Dion tidak tertarik padanya?” Melati mempertegas pertanyaannya.

“Ha? Aku malah tidak berpikir ke arah sana. Apa ada kemungkinan orang seperti dia menyukaiku?”

“Apa yang tidak mungkin Dion? Dari yang pernah kamu alami, harusnya sudah tahu jawabannya.”

“Justru itu, Kak. Saat ini aku belum mau berpikir untuk memulai suatu hubungan. Biar bernapas lega dulu. Lagipula kan ada kakak di sini. Aku tidak akan kesepian.”

Penjelasan Dion membuat Melati merasa terharu karena keberadaannya ternyata cukup dihargai oleh Dion. “Dion beristirahat lah lagi. Kakak mau lanjutkan baca buku.”

Dion rebahan di atas kasur lalu memiringkan wajahnya ke arah Melati. Ia sungguh-sungguh tak mengerti atas apa yang terjadi atas dirinya dan Melati. Terkadang ia bahkan tak bisa membedakan mimpi dan dunia nyata.

“Tapi biarlah. Mungkin suatu saat aku akan mendapatkan jawabannya,” gumam Dion dalam hati.

...***...

Beberapa hari kemudian, Dion dan Amri kembali mengunjungi printing house untuk memeriksa hasil cetakan autobiografi Sutan Azhari.

Amri dan Dion sedang ngobrol di lobi kantor percetakan menikmati kopi ketika Julius, sang pemilik usaha percetakan menyapa mereka. Ia membawakan beberapa buku hasil cetakan dan meletakkannya di meja.

Dion dan Amri kemudian sibuk memeriksa buku-buku itu. Keduanya tampak puas dengan hasil cetakan yang apik. Dion juga kagum dengan foto-foto hasil cetakan. Ia sempat mengkhawatirkan akan terjadinya oversaturate atau undersaturated pada foto artistik jepretan Sutan. Tapi ia tak menemukan hal yang mengganggu secara estetika.

Cukup lama juga Dion dan Amri memeriksa buku itu, tapi tak menemukan hal yang mengecewakan.

“Menurutku hasil cetakannya sangat baik,” ujar Dion dibalas anggukan kepala Amri.

Julius merasa senang mendengar pengakuan kedua pelanggannya. “Kalau sudah tidak akan kendala. Aku akan meminta mereka menyelesaikan sisa cetakan. Masih tersisa 2500 eksemplar lagi. Untuk hardcover, kami baru mencetak 200 saja.”

“Sepertinya sih sudah oke. Tapi aku perlu membawa beberapa sampel untuk ditunjukkan pada Sutan dan meminta persetujuannya sebelum mencetak sisanya,” kata Amri.

“Tentu. Bawa saja beberapa sebagai contoh,” sahut Julius.

Ketiganya kemudian sudah terlibat obrolan akrab. Dari obrolan itu Dion mengetahui kalau Julius adalah sepupu langsung istri Amri.

“Apa adinda tertarik dengan pekerjaan tambahan sebagai freelancer di percetakan kami?” tanya Julius kepada Dion.

“Freelancer bagaimana, Bang?” tanya Dion.

“Seperti yang Adinda kerjakan dengan buku ini. Kami akan menyodorkan pekerjaan pada Dinda ketika kami butuhkan. Tapi penghasilan Adinda hanya berdasarkan volume pekerjaan karena bukan karyawan tetap,” jelas Julius.

“Tapi aku sudah ada pekerjaan, Bang,” tolak Dion yang merasa tidak enak pada Amri atasannya.

“Tidak apa-apa Dion. Lagipula kuliahmu kan sudah selesai. Kau bisa menyambi sebagai desainer freelancer di sini,” ujar Amri.

“Terima kasih! Biarlah kupikirkan dulu, Bang,” jawab Dion.

Dari percetakan itu, Amri dan Dion kemudian menuju ke kediaman Sutan. Ia dan istrinya yang baru pulang dari Eropa menghabiskan waktu seharian di rumah untuk beristirahat mengatasi jetlag.

Dion dan Amri disambut oleh Sutan bersama istrinya Ayla yang tampak anggun dengan jeans dan kemeja longgar.

“Wah, cetakannya bagus. Desain dan pemilihan hurufnya elegan, tak kalah dengan buku terbitan New York,” ujar Sutan, puas memperhatikan spesimen autobiografinya.

Ia lalu menoleh ke istrinya. “Lihat, Ma! Foto Mama bagus sekali.”

Ayla, wanita keturunan Turki-Aceh itu, tersenyum senang melihat foto yang ditunjukkan suaminya.

Amri yang duduk di seberang meja berdehem pelan. “Abang periksa lagi dulu. Masih bisa kita revisi kalau ada yang kurang.”

“Kita sudah habiskan enam bulan untuk buku ini. Aku percaya padamu. Langsung cetak saja, supaya kita bisa fokus ke peluncuran buku,” sahut Sutan mantap.

Amri mengangguk setuju. Sutan kemudian berbisik sebentar kepada istrinya sebelum mempersilakan Amri dan Dion mencicipi kue serta minuman yang tersedia.

Tak lama, Ayla kembali ke ruangan dengan membawa sebuah tas kecil, diikuti seorang pemuda.

“Kenalkan, ini Ricky Rizky, biasa dipanggil Kiki. Keponakanku, tapi sudah kuanggap seperti anak sendiri. Dia sudah tunangan dua bulan lalu dan sebentar lagi menikah. Nah, dia ingin mencetak undangan dengan desain eksklusif,” jelas Sutan sambil menuliskan sesuatu di buku kecilnya.

“Aku ingin Dion yang mendesain undangannya. Tentu saja kalau Dion ada waktu,” tambahnya, lalu menyerahkan secarik kertas kepada Dion.

Dion menerimanya dan langsung mengenali itu sebagai cek senilai Rp15 juta atas nama Gideon Manasseh. Ia mengernyit. “Tapi, Pak… bukankah Bang Amri sudah melunasi biaya cetak?”

Sutan tersenyum. “Itu bukan biaya cetak. Itu untukmu. Bukan upah pun, hanya tanda terima kasih. Soal upah, nanti Amri yang urus.”

Dion terpaku, tangannya sedikit bergetar memegang cek itu. Ia belum pernah menerima uang sebanyak ini seumur hidupnya.

“Ini… ini terlalu banyak, Pak. Lagipula, kemarin Bapak sudah memberi saya hadiah ponsel mahal,” ucapnya gugup.

Ayla tersenyum lembut. “Terimalah, Nak! Itu rezekimu.”

“Iya, kamu pantas mendapatkannya. Kemampuanmu mendesain luar biasa. Lagi pula, aku sedikit banyak sudah mendengar kisah hidupmu dari Amri,” tambah Sutan.

“Dikeroyok sampai hampir mati, yatim piatu yang berjuang sendiri membiayai pendidikan… Aku suka pemuda seperti kamu. Anggap saja ini sedikit bantuan untuk menambah semangat,” lanjutnya, diiringi anggukan Ayla.

Dion menatap mereka bergantian, lalu memandang cek di tangannya. Amri pun mengangguk, memberi isyarat.

Setelah berpikir sejenak, Dion akhirnya memasukkan cek itu ke saku kemejanya. “Terima kasih banyak, Pak. Jujur saja, saya belum pernah punya uang sebanyak ini sebelumnya,” katanya lirih.

Sutan tertawa kecil. “Ingat, ya, kamu bahkan belum menerima upah desain dari Amri.”

Ucapan itu membuat Ayla dan Amri ikut tertawa.

Dion mengeluarkan dua keping compact disc terlindung case plastik, lalu menyerahkannya kepada Amri dan Sutan, masing-masing satu.

“Ini file desain beserta data mentah bukunya, Pak. Jadi kalau ada revisi atau ingin mencetak ulang, bisa langsung digunakan,” jelas Dion.

“Lho, bukannya kalau ada revisi nanti Dion yang akan mengerjakannya?” tanya Sutan mengernyitkan kening sambil menatap case plastik di tangannya.

“Tentu saja, saya senang melakukannya, Pak. Tapi ini hanya untuk berjaga-jaga, kalau-kalau saya berhalangan suatu saat nanti,” sahut Dion.

Sutan mengangguk paham, lalu memasukkan CD itu ke dalam tas kecilnya.

Setelah itu, Dion berpamitan sejenak menuju ruangan lain bersama Kiki untuk mendiskusikan desain undangan pernikahan pemuda itu.

Kiki langsung menunjukkan beberapa contoh undangan yang telah ia kumpulkan. “Aku ingin desain yang unik, bukan sekadar meniru undangan yang sudah ada.”

Dion mengambil beberapa contoh dan memperhatikannya satu per satu. “Abang lebih suka yang menonjolkan ornamen dan tipografi, atau gaya fotografi minimalis?”

Kiki berpikir sejenak. “Fotografi minimalis? Aku memang berencana memasukkan beberapa foto pre-wedding ke dalam undangan.”

“Kita bisa pakai foto Abang dan Kakak sebagai cover dengan teks minimal. Ornamennya kita letakkan di bagian dalam saja,” usul Dion.

Namun, Kiki tampak ragu. Dion segera menyadarinya. “Mungkin sulit membayangkannya, ya? Begini saja, kalau Abang sudah punya foto-foto yang ingin dimasukkan, aku akan buat drafnya dulu. Nanti kita sesuaikan dengan selera Abang. Bagaimana?”

Kiki mengangguk, lalu membuka tasnya dan mengeluarkan laptop. Ia menunjukkan beberapa file foto pre-wedding yang tersimpan di dalamnya.

Dion memperhatikan foto-foto itu dengan saksama. “Bagaimana kalau konsepnya dibuat seperti photobook? Pasti lebih menarik,” cetusnya.

Mata Kiki berbinar. “Aku suka ide itu! Beberapa desainer yang kutemui sebelumnya malah bingung saat kusampaikan keinginanku.”

“Aku sudah ada gambaran. Kalau Abang bisa menunggu sekitar seminggu, aku akan buat beberapa draft dulu supaya kita bisa diskusikan,” Dion kembali menyampaikan usul.

“Setuju!” sahut Kiki antusias.

Ia pun menyalin beberapa foto ke dalam CD dan menyerahkannya kepada Dion. Setelah bertukar nomor ponsel, mereka kembali ke ruang tamu.

Sutan bersama istrinya dan Amri yang beberapa saat memperhatikan Dion dan Kiki berdiskusi segera mengetahui bahwa keduanya sudah menemukan titik terang. Melihat senyuman Kiki, mereka segera mengetahui kalau keduanya sudah menyepakati sesuatu.

“Si Dion itu bukan saja pintar mendesain. Ia juga bisa dengan cepat memahami ide orang lain dan menyalin ide itu ke dalam bahasanya sendiri. Hebat tidak itu? Yang empunya ide bahkan kesulitan untuk menyampaikan maksud, Dion sudah lebih dahulu memilihkan kalimat yang tepat,” ujar Sutan membuat Amri tersenyum.

“Itu memang kelebihannya, Bang. Dia juga sangat diplomatis, membuatnya tidak pernah berkonflik dengan siapapun di kantor. Selain itu ia sangat penurut, rajin dan disiplin,” timpal Amri.

“Suatu saat kelak, ia bisa menjadi orang besar. Tapi itu masih tergantung apa ia punya ambisi atau tidak,” sambung Sutan lalu mengecilkan suaranya karena Kiki dan Dion sudah mendekati mereka.

“Bagaimana Ki? Sudah dapat gambaran desain yang kamu mau?” tanya istri Sutan.

“Sudah ada ide, Ma. Nanti Dion bikin draft-nya terlebih dahulu baru didiskusikan lagi,” Kiki menyahut bibinya dengan sebutan mama, mengingatkan Dion pada dirinya sendiri. Hanya saja, Kiki sangat rukun dan mesra dengan paman dan bibinya, berbeda dengannya yang tidak disukai keluarga pamannya.

“Kami pamit dulu, Bang, supaya Abang bisa istirahat,” ujar Amri, sadar bahwa Sutan pasti masih lelah karena jetlag.

Namun, Sutan menahan mereka. “Ki, si Dion ini ternyata seorang pelari maraton. Ikutkan dia dalam event kalian,” katanya pada Kiki. Sebelumnya, Amri memang sempat bercerita bahwa Dion rutin lari pagi.

“Serius, Dion? Kebetulan sekali! Kami bakal mengadakan seperempat maraton, lari 10K akhir Juli nanti. Ikut, ya!” ajak Kiki antusias.

Dion tersenyum malu. “Ah, aku sih cuma suka joging, belum pernah ikut lomba maraton. Tapi, aku mau coba, sekalian menjajal kemampuan.”

Mendengar itu, Kiki segera mengambil sesuatu dari tas laptopnya yang ada di ruang baca. Ia kembali dengan selembar selebaran lomba dan menyerahkannya pada Dion.

“Pak Amri ikutan juga, dong. Biar makin semarak,” ujarnya, lalu menambahkan, “Oh ya, ada kategori korporat, lho. Kalau dari perusahaan Pak Amri ada lima pelari, peserta yang sampai ke garis finis akan dapat poin berdasarkan peringkat. Poinnya diakumulasi, dan perusahaan dengan poin tertinggi bakal jadi pemenang.”

Amri mempelajari selebaran di tangannya. “Wah, menarik! Kami pasti ikut.”

“Jangan cuma sebagai peserta, Pak. Sekalian saja jadi sponsor atau media partner. Bantu promosi biar makin banyak yang tahu dan tertarik ikut,” ujar Kiki sambil tersenyum lebar.

Amri mengangguk. “Ide bagus. Dion, kau diskusikan ini dengan pacarmu. Bilang aku sudah setuju, dan dia ditunjuk sebagai koordinator partnership.”

Kiki menoleh penasaran. “Wah, pacarmu sekantor juga, Dion?”

Amri hanya tertawa, sementara Dion langsung tersedak malu. “Ha? Aku nggak punya pacar, Bang,” elaknya, meski wajahnya sedikit memerah.

Amri tertawa tapi kemudian merasa harus menjelaskan guyonannya.

“Marketing manajer kami orang Singapura. Cantik, tapi jutek dan kurang pergaulan. Tapi entah kenapa, sama Dion dia ramah sekali. Sepertinya naksir, nih. Setiap rapat pasti duduk berdampingan. Makanya kami bilang dia pacarnya.”

Tawa pun pecah di ruangan itu. Kiki, Sutan, dan Ayla ikut tergelak, sementara Dion hanya bisa menunduk sambil menggaruk kepalanya.

“Iya, Bang. Nanti aku sampaikan ke Meyleen biar dia koordinasi sama panitia,” ucap Dion akhirnya.

Keduanya lalu berpamitan pada keluarga itu dan kembali ke kantor.

...***...

Sesampainya di kantor, Amri mengajak Dion langsung masuk ke ruang kerjanya.

“Ini upah desain,” ujar Amri sambil menyodorkan amplop cokelat yang baru saja ia ambil dari laci mejanya.

“Bang, yang kuterima tadi sudah banyak,” Dion berusaha menolak pemberian Amri karena merasa jumlahnya pasti tidak sedikit mengingat tebalnya amplop itu.

Amri menertawai keluguan Dion. “Kau pikir yang kuterima lebih sedikit atau sama dengan yang kau dapat? Percayalah, Dion, yang kuterima jauh lebih banyak.”

Dion akhirnya menerima amplop itu dan berusaha menyelipkannya ke saku celana. Namun, karena terlalu tebal, ia terpaksa menggenggamnya saja.

“Tak dihitung dulu? Apa kau tak penasaran? Tak usah malu-malu begitu,” goda Amri sambil sibuk memeriksa berkas dalam map di mejanya.

“Tak perlu, Bang. Pasti banyak,” sahut Dion sambil tersenyum.

“Lima juta rupiah. Kalau kurang pun, paling hilang selembar,” canda Amri.

Ia kemudian menutup mapnya dan menatap Dion. “Oh ya, jangan lupa diskusikan soal maraton itu dengan Meyleen. Aku harus ke konsulat Amerika, ada undangan makan siang.”

Dion mengangguk. “Baik, Bang. Setelah ini aku akan menemui Meyleen.”

Amri tersenyum sambil geleng-geleng kepala. “Hah! Sudah rindu, ya?” godanya.

“Lha, kan cuma menjalankan perintah, Bang?” sahut Dion malu-malu.

“Tak perlu buru-buru. Meyleen masih di luar kota. Dia baru balik hari Jumat,” jelas Amri. “Sekarang lebih baik kau ke bank, setor uang itu ke tabunganmu. Tak baik menyimpan uang tunai sebanyak itu, kecuali kau mau langsung membelanjakannya.”

“Baik, Bang. Kalau begitu, aku pamit,” ujar Dion seraya bangkit dari kursinya.

“Oh ya, satu lagi.” Amri bersandar ke kursinya, menatap Dion dengan ekspresi serius. “Jangan biarkan Meyleen menemui Kiki sendirian. Kau harus temani. Aku tak mau keluarga Sutan salah paham. Si Meyleen itu kadang terlalu kaku dan formal. Aku tak mau hubungan baik dengan mereka terganggu hanya karena kesan yang kurang enak.”

Dion mengangguk memahami maksud pemimpin redaksi itu.

“Lagipula,” lanjut Amri, senyumnya kembali mengembang, “kayaknya kau cocok dengan Kiki itu.”

Dion hanya menghela napas kecil dan menggeleng pelan. “Baik, Bang. Aku akan ingat.”

Dion pun keluar dari ruangan pemimpin redaksi itu, sementara Amri bersiap-siap meninggalkan kantor untuk menghadiri undangan makan siangnya.

Usai makan siang, Dion lalu mencairkan cek dan lalu menyetorkannya ke rekening tabungannya. Teringat akan kata-katanya pada Melati untuk membeli televisi bila mendapatkan tambahan uang, Dion lalu bergegas menuju toko elektronik.

Seorang penjual berhasil meyakinkan Dion untuk membeli satu set home theater mini yang terdiri dari pesawat televisi, DVD player yang juga berfungsi sebagai radio beserta set audio. Perangkat elektronik itu sepertinya diperuntukkan untuk ruangan yang kecil seperti kamar tidur.

“Home theater mini ini cocok untuk kamar bang. Siang ini bisa langsung diantar dan kami bantu instalasi antenanya,” kata penjual merayu. Dion menyetujui penawaran itu.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!