Raina tak pernah membayangkan bahwa mahar pernikahannya adalah uang operasi untuk menyelamatkan ibunya.
Begitupun dengan Aditya pun tak pernah bermimpi akan menikahi anak pembantu demi memenuhi keinginan nenek kesayangannya yang sudah tua dan mulai sakit-sakitan.
Dua orang asing di di paksa terikat janji suci karena keadaan.
Tapi mungkinkah cinta tumbuh dari luka, bukan dari rasa????
Tak ada cinta.Tak ada restu. Hanya diam dan luka yang menyatukan. Hingga mereka sadar, kadang yang tak kita pilih adalah takdir terbaik yang di siapkan semesta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asmabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Draft
Langit sore mulai meredup, meninggalkan semburat jingga kelabu di balik jendela besar. Di ruang kerja yang sunyi, Aditya duduk di kursi kulit hitam, tangan terlipat di atas meja. Raut wajahnya dingin, rahang terkunci rapat. Hanya matanya—tajam, hitam, dan tak berkedip.
Ketukan terdengar.
Asisten Dika masuk, pelan dan penuh kehati-hatian.
Aditya: (nada tenang, tapi menakutkan)
“Tutup pintunya.”
Asisten Dika menutup pintu. Pelan. Hampir tanpa suara.
Aditya: (masih tidak menatap Dika, suara rendah)
“Kau tahu Raina pergi.”
Asisten Dika: (berdiri tegak, nada formal, hati-hati)“Ya, Tuan. Saya lihat dari CCTV depan. Beliau pergi membawa tas kecil. Tanpa sopir.”
Aditya: (matanya kini menatap Dika tajam)
“Saya ingin dia dipantau. Jarak aman. Tanpa kontak langsung. Dan pastikan... tidak ada seorang pun mengganggunya.”
Asisten Dika: (menelan ludah, tetap tegas)
“Baik, Tuan. Akan saya atur orang kepercayaan di lapangan.”
Aditya: (mengangguk tipis, lalu suara lebih dingin)
“Kalau sampai sesuatu terjadi padanya, sekecil apapun...saya akan anggap itu sebagai kegagalanmu.”
Asisten Dika: (terdiam sesaat. Nadanya lebih pelan)
“Dipahami, Tuan.”
Aditya: (memutar kursinya sedikit, menatap ke luar jendela. Hujan mulai turun tipis)
“Dia emosi saat pergi. Tapi saya tahu, Raina bukan tipe yang sembarangan.
Saya hanya tidak ingin dia jatuh... saat saya tidak di sana.”
Asisten Dika: (diam sejenak, lalu pelan)
“Jika boleh saya bicara...”
Aditya: (memutar kepala perlahan, satu alis terangkat)
“Hati-hati dengan pilihan katamu, Dika.”
Asisten Dika: (menunduk sedikit, menimbang kata-kata)
“Ibu Raina tidak pernah terlihat seperti seseorang yang ingin kabur.Tapi... seperti seseorang yang akhirnya lelah menunggu dimengerti.”
Hening.
Aditya menatap Dika beberapa detik.
Wajahnya tetap datar, nyaris tak berperasaan. Tapi matanya menajam—satu derajat dari ledakan emosi yang belum keluar.
Aditya: (pelan, tapi dingin luar biasa)
“Lakukan saja tugasmu, !!!. .”
Dika: (tegap)
“Siap, Tuan.”
Aditya: (satu kalimat terakhir, menggantung di udara)
[Dika keluar dari ruangan, pintu ditutup pelan. Aditya kembali menatap jendela. Suara hujan mulai deras.]
Sementara itu, di bagian bumi yang lain.
Raina turun dari taksi dengan langkah lunglai. Wajahnya pucat, matanya sembab. Ia berjalan menuju pintu rumah Frida dan mengetuk pelan. Tak butuh waktu lama, Frida membukakan pintu.
"Raina? Astaga… Kamu kenapa?" tanya Frida cemas.
Tanpa menjawab, Raina langsung memeluk sahabatnya erat. Tangisnya pecah. Frida tak banyak bertanya. Ia memeluk Raina kembali, mengusap punggungnya dengan lembut.
"Ayo masuk dulu," ucap Frida lirih.
Setelah beberapa saat duduk di sofa dengan segelas teh hangat di tangan, Raina masih belum mengucapkan sepatah kata pun. Frida pun mencoba mengalihkan suasana.
"Gimana kalau kita keluar sebentar? Kita belanja bulanan, sekalian cari angin, ya?"
Raina hanya mengangguk pelan.
Di lorong sayur supermarket, Frida memasukkan tomat dan brokoli ke dalam keranjang, lalu melirik Raina yang masih terlihat murung.
"Kemarin kamu bilang sempat kirim lamaran ke perusahaan startup itu… yang kamu semangat banget waktu cerita. Gimana, ada kabar?" tanya Frida hati-hati.
Raina terdiam sejenak. Ia menatap rak kosong di depannya, lalu menarik napas panjang.
"Aku nggak jadi lanjut," katanya akhirnya.
Frida berhenti melangkah. "Kenapa? Bukannya kamu udah semangat banget waktu itu?"
Raina menunduk. Suaranya nyaris berbisik. "mas Aditya nggak izinin aku kerja…"
Frida terdiam, mencoba menahan emosi. Ia tahu betul bahwa Raina tak pernah nyaman dengan pernikahan kontrak itu sejak awal.
"Rai… kamu nggak bisa terus begini. Kamu punya hak untuk memilih hidupmu sendiri."
"Aku tahu." Mata Raina berkaca-kaca lagi. "Tapi dia kekeh. Katanya, aku nggak perlu kerja karena uangnya cukup buat tujuh turunan. Tapi aku… aku nggak bisa terus merasa seperti tahanan di rumah sendiri, Frida,"
Frida menggenggam tangan sahabatnya erat. "Kamu nggak sendiri, Rai. Kalau kamu mau keluar dari semua ini, aku di sini. Selalu."
Raina hanya mengangguk dengan senyum lega yang mengembang di pipi.
Mereka kemudian berjalan menyusuri lorong camilan supermarket. Frida mendorong keranjang belanja sambil sesekali melirik Raina yang masih tampak murung.
“Aku masih nggak habis pikir,” ucap Frida perlahan. “Jadi kamu beneran batal kerja karena Aditya?”
Raina mengangguk pelan tanpa menoleh. “Iya.”
“Dia marah?”
“Bukan cuma marah, Frida. Dia ngelarang total. Katanya, nggak pantas istri dia kerja. Padahal dari awal aku udah bilang, aku nggak bisa terus cuma di rumah.”
Frida menghela napas. “Ya ampun, Rai… Kamu tuh orang paling kerja keras yang aku kenal. Pasti berat banget buat kamu.”
Raina berhenti di depan rak makanan ringan, memandang kosong ke arah deretan keripik. Dengan suara pelan, ia berkata, “Masalahnya nggak sesederhana itu.”
Frida ikut berhenti dan menatapnya. “Maksud kamu?”
“Dua miliar,” ucap Raina dengan nada datar. “Itu harga yang harus aku bayar kalau mau lepas dari kontrak pernikahan ini.”
Frida memutar tubuh, menatap sahabatnya dengan ekspresi syok. “Serius, Rai? Dua miliar? Itu... itu harga satu rumah dua lantai sama mobil dan masa depan, ”
Raina tersenyum pahit. “Aku tahu. Dulu aku pikir aku bisa bertahan Demi ibu, tapi makin ke sini, makin kerasa kayak... aku semakin tak kuasa.
Frida menarik napas panjang, lalu menepuk pelan lengan sahabatnya. “Oke. Pertama, ini gila. Kedua, kamu nggak salah. Ketiga, kita cari cara. Entah gimana, kamu harus keluar dari situ.”
Raina melirik Frida dan tertawa kecil. “Kamu mau bantu aku cari dua miliar?”
Frida tersenyum tipis. “Ya nggak sekarang juga, tapi kita bisa mulai dari hal kecil. Misalnya, beli ciki diskon, terus kamu jualan online, atau mulai freelance lagi. Siapa tahu dari receh bisa jadi gunung.”
Raina tersenyum tulus, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku suka banget ide mulai dari ciki diskon.”
Frida tertawa. “Lagian ya, hidup tuh kayak milih camilan. Nggak semua yang mahal enak. Kadang yang murah dan pedas justru bikin ketagihan. Kayak kamu—nggak harus jadi istri sempurna buat siapa pun. Jadi dirimu aja udah luar biasa.”
Raina menatap Frida penuh rasa syukur. “Makasih, Frida. Aku masih belum tahu harus mulai dari mana. Tapi sekarang aku sadar satu hal penting.”
“Apa?”
“Aku nggak sendirian.”
Frida tersenyum hangat. Ia menunjuk ke dalam keranjang belanja. “Iya dong. Kamu punya aku... dan sebungkus ciki rumput laut yang bakal nemenin kita nonton drakor malam ini.” keduanya tersenyum keluar dari supermarket dengan menenteng begitu banyak kresek yang isinya kebanyakan adalah chili bukan kebutuhan pokok.
Matahari mulai turun, membiaskan cahaya keemasan di antara pepohonan jalanan kecil yang mereka lewati. Raina duduk di jok belakang motor Scoopy milik Frida, memeluk tas belanjaan di pangkuannya, sementara angin sore menyibakkan helaian rambut mereka.
Di tengah keheningan yang nyaman itu, Frida mendadak membuka suara—sedikit ragu, tapi nadanya jelas mengandung maksud tersembunyi.
“Eh… Rain,” katanya sambil tetap fokus pada jalan. “Asisten suami kamu itu… gimana kabarnya?”
Raina mengernyit, agak heran. “Hah? Maksud kamu siapa? asisten Dika?”
“Ya siapa lagi? Masa Pak RT,” jawab Frida cepat, lalu tertawa pendek.
Raina diam sesaat. Tapi Frida yang duduk di depan bisa merasakan senyum kecil muncul di wajah sahabatnya itu.
“Kabarnya baik, kayaknya. Terakhir dia nganter dokumen buat Aditya.Kenapa? kamu kangen ya,,"
Frida mendesah pelan, nada suaranya berubah jadi lebih pemalu. “ Kangen???? amit-amit deh. cowok kulkas,dingin dan nyebelin begitu mah bukan tipeku.Kali,"
Hmm… kamu tuh pas ngomongin asisten Dika mencolok sekali expresi naksirnya, kaya episode drakor, di awal-awal cerita.
“Apaan sih, Rain,, .” Frida mencubit paha Raina dari depan.
“Aduuuh, sakit, Bu! Nih ya, aku cuma mau nanya satu hal. Waktu kalian ke pantai bareng tuh… ada percikan nggak? Sedikit aja? Kayak... percikan minyak panas nyiprat ke hati gitu?”
Frida tertawa lepas, akhirnya tak bisa menahan geli. “Kamu tuh, ya! Nggak ada percikan-nyiprat segala!”
Raina mendengus tidak percaya. “Yakin? Nggak ada detik-detik drama Korea gitu? Pandangan kalian bertemu di bawah langit jingga, angin laut sepoi-sepoi, terus dia bilang ‘Kamu capek? Sini aku gendong’?”
“Ngaco banget sih!” sahut Frida sambil tertawa. “Dia tuh... ya biasa aja.gak ada wah-wahnya sama sekali..Terlalu lempeng.”
Raina menyeringai. “Justru cowok kayak gitu tuh bahaya. Biasanya diam-diam nyangkut di hati. Udah kayak lagu lama: ‘kau begitu berbeda, kau tiada duanya…’”
“Stop! Nggak usah nyanyi!” teriak Frida sambil tertawa lebih keras.
Frida hanya tertawa puas, lalu berkata pelan, “Tapi serius, Frida. Kalau suatu hari ternyata kamu naksir asisten Dika.. aku duluan yang akan siapin kue buat perayaan.”
“Raina!!!!!”
“Tenang, tenang. Aku cuma bercanda… atau tergantung kamu nanti, ya.” Raina berkata tanpa dosa. Dan percakapan kecil mewarnai perjalanan mereka sepanjang Jalan ke rumah kontrakan Frida.