Arumi menikah dengan pria yang tidak pernah memberikan cinta dan kasih sayang padanya, pria yang selalu merasa tak pernah cukup memiliki dirinya. Kesepian dan kesunyian adalah hal biasa bagi Arumi selama satu tahun pernikahannya.
Raka— suami Arumi itu hanya menganggap pernikahan mereka hanya sekedar formalitas semata dan bersifat sementara. Hal ini semakin membuat Arumi menjadi seorang istri yang kesepian dan tidak pernah bahagia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi_Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12 : Kebahagiaan di Luar Rumah
Arumi membungkus rapi semua makanan yang telah dia masak untuk makan malam kali ini, cukup banyak dia membuat makanan yang mana agar nanti Raka bisa memilih makanan yang dia mau. Tapi sayangnya, Raka malah meninggalkan ruang makan dengan tidak berperasaan sama sekali.
Arumi mengendarai mobil menuju ke tempat biasa— di mana para gelandangan beristirahat. Kedatangan Arumi disambut baik dan ceria oleh mereka semua terlebih anak-anak.
Arumi membagikan makanan itu dan duduk sejenak menatap mereka semua, di hatinya selalu mengucap rasa syukur karena masih ada yang lebih menderita ketimbang dirinya.
“Aku masih tinggal di rumah yang bagus, bisa makan makanan enak setiap hari, aku bisa membeli apapun yang aku inginkan. Lalu? Kenapa aku harus mengeluh?” batinnya, ia tersenyum dan ikut makan bersama mereka semua.
Sedangkan Raka menikmati makan malam bersama dengan Nadira, memuji masakan gadis itu dan menghabiskan malam bersama selingkuhannya tersebut. Raka terlihat sangat bahagia bersama Nadira, semua beban di kepalanya terasa pupus ketika melihat Nadira.
Mereka kini duduk di ruang keluarga sembari menonton televisi yang menayangkan drama kesukaan Nadira.
“Aku udah ngomong sama mama papa kamu mengenai hubungan kita, Mas. Tapi aku gak berani ngomong sama keluarga aku, takut nanti mereka menolak, secara posisi aku sekarang kan sebagai simpanan kamu,” adu Nadira pada Raka, dengan lembut, Raka membelai lembut rambut gadisnya.
“Mas paham kok, selama pernikahan Mas dengan Arumi masih berjalan, kita harus bersikap santai dulu agar orang-orang tidak curiga.”
“Iya, Mas. Gimana sama Mbak Arumi? Apa dia marah sama kamu karena telat pulang?” Raka memberikan gelengan kecil lalu sedikit menunduk, seakan menyimpan beban berat sendiri.
“Kenapa Mas?” tanya Nadira sambil menangkup wajah Raka.
“Tadi kami sempat bertengkar hebat sampai dia menyalahkan aku atas ketidakbahagiaannya dalam pernikahan ini.”
“Kenapa Mbak Arumi begitu ya?”
“Aku juga meminta hak sebagai suami padanya, tapi yaa, dia menolak dengan alasan sedang sakit, padahal aku lihat dia baik-baik saja dan saat mendapati dia di rumah, dia sedang tidur-tiduran santai.” Nadira menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar aduan Raka itu.
“Apa Mbak Arumi juga punya simpanan?” Raka menoleh cepat pada Nadira.
“Kenapa kamu bisa berpikir seperti itu?”
“Soalnya ya, dari cerita kamu mengenai Mbak Arumi, aku menangkap bahwa dia tidak masalah ditinggal begitu saja. Dia juga gak masalah kalau kamu gak menghubungi dan menanyai kabarnya. Bisa saja kan dia itu ada simpanan yang selalu menghiburnya, apalagi kamu jarang di rumah akhir-akhir ini,” tutur Nadira yang membuat Raka meragukan kesetiaan istrinya sendiri.
“Benar juga ya, semakin tidak ada harganya aku buat dia berarti,” sahut Raka.
“Ya sudah Mas. Mending kami ringankan saja kepalamu ini dulu, nanti baru bincangkan dengan istrimu.” Nadira memberikan kecupan singkat di pipi Raka.
Perlahan ciuman mereka menjadi sangat intens dan berakhir dengan ciuman panas di atas sofa. Tanpa mereka sadari, saat ini Nadira sudah rebahan di bawah tubuh Raka dan ciuman Raka terus menjadi liar di tubuh Nadira.
Nadira mendorong Raka saat pria itu membuka kancing kemeja tidurnya. Mereka kembali ke posisi duduk dan membenarkan penampilan masing-masing.
“Maaf, Dira.” Raka berucap lirih.
“Kalau Mas mau, jangan di sofa, nanti pelayan aku liat dan malah diaduin sama keluarga aku,” ujar Nadira yang tidak menampakkan rasa marah sama sekali, Raka meliriknya seakan mendapatkan angin segar.
“Kamu ... mau lebih jauh lagi?”
Nadira mendekatkan wajahnya ke wajah Raka dan memberikan senyuman terbaiknya, lebih tepatnya adalah senyuman menggoda.
“Aku tidak masalah selama Mas Raka mau bertanggung jawab atas perbuatan Mas. Selama hubungan kita ini jelas dan aku akan dinikahi, ya aku tidak masalah,” bisiknya yang membuat Raka kembali bersemangat. Tidak dapat dari Arumi juga tidak masalah karena masih ada Dira.
“Kita ke kamar?” ajak Raka yang dibalas anggukan oleh Nadira.
Malam ini, mereka melakukan hubungan terlarang itu di dalam kamar Nadira. Hubungan panas yang seharusnya tidak dilakukan, Raka terbuai dengan perselingkuhannya dan Nadira juga menyerahkan diri sepenuhnya pada Raka.
Selesai berhubungan, Raka menanyakan mengenai keperawanan Nadira yang ternyata sudah tidak ada lagi, berbeda ketika dia menyetubuhi Arumi untuk pertama kalinya.
“Aku sempat khilaf dengan pacar pertamaku di London, Mas. Kami berhubungan dan setelah itu dia meninggalkan aku, padahal dia berjanji untuk menikahiku.” Nadira mengutarakan alasannya itu dengan nada mengiba.
“Apa kalian sering berhubungan?” Nadira menggeleng cepat.
“Hanya dua kali dan setelahnya kami putus. Makanya aku selalu trauma untuk memulai hubungan dengan pria lain. Mas keberatan ya sama kondisi aku sekarang?” tanya Nadira dengan tatapan sendu pada Raka, tentu saja Raka tidak akan keberatan, toh dirinya juga sudah sering berhubungan dengan Arumi.
“Mas tidak keberatan sama sekali, kalau memang begitu, bagaimana kalau kita menikah siri saja? Kita sudah berhubungan sejauh ini dan kita juga bisa berhubungan setiap hari tanpa halangan kan.” Raka memberikan ide itu karena memang dia ingin mempersunting Nadira secepat mungkin.
“Aku akan pikirkan lagi ya Mas. Sebenarnya aku takut untuk bilang sama orang tuaku.”
“Begini saja, kita menikah diam-diam, kamu kan bisa pakai wali hakim, nanti kalau aku sudah resmi berpisah dari Arumi, baru kita resmikan pernikahan ini.”
“Kalau Mbak Arumi marah bagaimana?”
“Aku akan bicara dengannya besok.”
“Apa kamu yakin semua ini akan aman?”
“Yakin, percayakan semua padaku, Dira.”
“Ya sudah, kalau begitu aku menurut saja dan kamu yang mengurus semuanya ya.” Raka tersenyum dan mengangguk, senang sekali dia bisa mendapatkan gadis yang dia inginkan itu.
...***...
Arumi yang sudah merasa sedikit lega, memilih untuk pulang ke rumahnya. Malam ini dia habiskan bersama para gelandangan itu, bermain, bercanda, tertawa, hingga bercerita banyak. Arumi merasa mereka semua sudah menjadi kelurga saja.
“Aku pulang dulu ya, Bu. Udah malam juga,” pamit Arumi pada Tini— salah seorang gelandangan yang sangat menyayangi Arumi.
“Hati-hati kamu ya, bilang pada suamimu, terima kasih banyak dari kami semua atas kebaikannya selama ini,” ucap Tini.
“Iya, Bu. Nanti aku sampaikan.”
Selama ini memang Arumi selalu mengatakan bahwa pemberian itu adalah dari suaminya. Setiap perbuatan baik yang Arumi lakukan selalu mengatasnamakan Raka karena dia sadar bahwa Raka adalah pria yang sudah menghidupi dirinya selama pernikahan mereka.
“Kak Arum, besok datang ke sini lagi ya. Kita main kartu kayak tadi lagi,” pinta salah seorang anak kecil.
“Tenang aja, Kak Arum akan datang kalau tidak sibuk ya.”
Arumi melambaikan tangan sebelum pergi pada mereka semua. Ia mengendarai mobil dengan senyum mengambang dan rasa syukur di hatinya.
Sesampainya di rumah, Arumi sudah menduga kalau suaminya tidak pulang. Dia mencoba menghubungi Raka dengan tidak mengharapkan kalau panggilan itu dijawab. Namun siapa sangka, Raka menjawabnya tapi bukan suara Raka yang Arumi dengar.
“Maaf ya Mbak Arumi, Mas Raka baru saja tidur, kasihan kalau harus dibangunkan soalnya tadi dia bilang kepalanya sedikit pusing.”
Arumi terdiam mendengar sahutan lembut di seberang sana, pikirannya jadi tidak tenang dan hatinya berkecamuk hebat.
“Kamu siapa?” tanya Arumi dengan suara sedikit bergetar.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
sama-sama kagak gunaaa/Hammer//Joyful/
istri sah : Ngabisin duit suami
pelakor : ngabisin duit buat ngabisin nyawa istri sah/Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm/
pelakor sakit hati : cari pembunuh bayaran 🤣🤣 gak ada harga dirinya lu Dir