Yunita, siswi kelas dua SMA yang ceria, barbar, dan penuh tingkah, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis saat orang tuanya menjodohkannya dengan seorang pria pilihan keluarga yang ternyata adalah guru paling killer di sekolahnya sendiri: Pak Yudhistira, guru Matematika berusia 27 tahun yang terkenal dingin dan galak.
Awalnya Yunita menolak keras, tapi keadaan membuat mereka menikah diam-diam. Di sekolah, mereka harus berpura-pura tidak saling kenal, sementara di rumah... mereka tinggal serumah sebagai suami istri sah!
Kehidupan mereka dipenuhi kekonyolan, cemburu-cemburuan konyol, rahasia yang hampir terbongkar, hingga momen manis yang perlahan menumbuhkan cinta.
Apalagi ketika Reza, sahabat laki-laki Yunita yang hampir jadi pacarnya dulu, terus mendekati Yunita tanpa tahu bahwa gadis itu sudah menikah!
Dari pernikahan yang terpaksa, tumbuhlah cinta yang tak terduga lucu, manis, dan bikin baper.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14 — Rahasia yang Mulai Terbuka
Malam itu, suasana rumah kecil mereka terasa lebih tenang dari biasanya. Setelah kejadian di depan gerbang sore tadi, Yunita masih belum bisa berhenti memikirkan wajah Reza saat mengetahui kebenaran.
Ia duduk di sofa, memeluk bantal, sementara Yudhistira sedang merapikan berkas-berkas di meja kerja. Lampu ruang tamu menyala lembut, menimbulkan bayangan hangat di dinding.
“Pak,” panggil Yunita lirih.
“Hm?” sahut Yudhistira tanpa menoleh.
“Kira-kira… Reza bakal baik-baik aja gak, ya?”
Yudhistira menghentikan gerakannya. “Dia anak yang kuat. Cuma butuh waktu buat nerima.”
Yunita menunduk, menggigit bibir. “Aku merasa bersalah. Aku gak pernah bermaksud nyakitin dia.”
Yudhistira berbalik, berjalan mendekat, lalu duduk di sampingnya. “Rasa bersalah itu wajar, tapi jangan terlalu lama disimpan. Kamu gak salah memilih jalan yang kamu tempuh sekarang.”
“Tapi tadi cara Bapak ngomong ke dia… dingin banget,” ucap Yunita pelan. “Kayak Bapak sengaja buat dia menjauh.”
“Memang. Karena aku gak mau kamu dihadapkan lagi pada gosip baru.”
Yunita mendesah panjang. “Aku ngerti, tapi Bapak tahu gak? Tadi pas dia bilang ‘aku cuma mau kamu bahagia’, rasanya tuh kayak… ada duri kecil di hati.”
Yudhistira menatap wajahnya lama. “Kamu punya hati yang lembut, Yun. Tapi jangan sampai kelembutan itu bikin kamu goyah.”
Yunita menatap matanya — mata dingin yang diam-diam selalu terasa menenangkan. “Aku gak goyah, Pak… Aku cuma belajar lepasin masa lalu.”
Yudhistira tersenyum tipis. “Dan kamu berhasil.”
Hening sejenak. Yang terdengar hanya suara detak jam dinding.
Lalu tiba-tiba, perut Yunita berbunyi keras.
“Grrruuukkk~”
Suara itu membuat keduanya menoleh bersamaan. Wajah Yunita langsung merah padam.
“P-Pak, sumpah itu bukan aku!” katanya spontan, padahal jelas-jelas perutnya sendiri yang protes.
Yudhistira menahan tawa. “Bukan kamu? Siapa lagi yang di sini?”
“Ya… mungkin tikus lapar!”
“Kalau tikusnya bisa ngomong, mungkin dia bilang, ‘Tolong kasih aku nasi goreng,’” godanya.
“Pak!” Yunita menepuk bahunya, tapi suaminya malah bangkit sambil tertawa kecil.
“Ayo, aku buatkan sesuatu. Mau mie rebus atau roti bakar?”
“Mie rebus dua telur!” jawab Yunita cepat, tanpa malu-malu lagi.
Beberapa menit kemudian, dapur mereka dipenuhi aroma mie instan dan bawang goreng. Yunita duduk di meja, dagunya bertumpu di tangan, memperhatikan Yudhistira yang dengan cekatan memasak.
“Pak,” panggilnya lagi.
“Hm?”
“Bapak tuh gak pernah masak di sekolah ya?”
“Di sekolah aku cuma masak nilai siswa,” jawabnya datar.
“Ck! Garing banget!” protes Yunita sambil mendorong pundaknya pelan. “Tapi serius deh, Bapak tuh kelihatan kayak suami idaman banget pas lagi di dapur.”
“Suami idaman?”
“Iya! Gak heran Mama suka banget sama Bapak.”
“Coba kalau Mama kamu tahu aku guru killer yang dulu bikin kamu nangis waktu ulangan, masih suka gak?”
Yunita menatapnya, tersenyum geli. “Mungkin masih suka, soalnya Mama tuh bilang, ‘Yang tegas itu justru bisa jadi pelindung yang baik’.”
Yudhistira hanya menggeleng sambil mengaduk mie. “Ibu kamu pintar.”
“Ya iyalah, turunan aku.”
“Yakin kamu bukan turunan cerewetnya aja?”
“Pak!”
Mereka tertawa bersamaan, dan momen itu terasa begitu alami — seperti dua orang yang benar-benar sudah lama hidup bersama, bukan pasangan yang disatukan oleh perjodohan mendadak.
Setelah mie siap, Yunita menyantapnya dengan ekspresi bahagia.
“Hmm~ enak banget! Serius deh, Pak, ini kayak buatan abang mie dewa.”
“Abang mie dewa?” ulang Yudhistira, menatapnya aneh.
“Iya, Bapak gak tahu? Di dunia ini cuma ada dua jenis orang yang bisa bikin mie seenak ini: chef profesional… dan suami penyayang!”
Yudhistira hanya tersenyum. “Kamu ini punya teori sendiri tentang segalanya.”
“Makanya Bapak gak boleh galak terus. Dunia ini butuh senyum dari guru killer kayak Bapak.”
“Kalau aku senyum terus, nanti murid-murid gak takut lagi.”
“Ya bagus dong! Nanti mereka jadi rajin.”
“Bukan rajin, malah manja.”
“Kayak aku?”
“Persis.”
Yunita terdiam, lalu menunduk, menahan senyum malu.
Setelah makan, keduanya duduk santai di sofa lagi. Di luar, suara hujan rintik-rintik mulai turun. Yunita menyandarkan kepala di bahu Yudhistira tanpa sadar.
“Pak…”
“Hm?”
“Kalau nanti semua orang tahu kita udah nikah, kira-kira gimana ya?”
“Gimana apa?”
“Teman-teman aku bakal marah gak? Atau Bapak bakal disalahin?”
Yudhistira terdiam sejenak. “Mungkin iya, awalnya.”
“Terus?”
“Tapi waktu akan nunjukin semuanya. Aku gak nikahi kamu buat main-main. Aku janji jagain kamu, meski dunia gak ngerti alasan kita.”
Yunita mengangkat wajah, menatapnya dengan mata berkilau karena pantulan cahaya lampu. “Bapak selalu ngomong kayak di drama, ya.”
“Karena kamu selalu hidup kayak di drama,” balas Yudhistira.
“Pak…”
“Ya?”
“Terima kasih.”
“Untuk apa?”
“Untuk tetap di sini. Untuk sabar ngadepin aku yang kadang cerewet, kadang manja, kadang juga… bego.”
Yudhistira menatapnya dalam, lalu berkata pelan, “Aku gak sabar. Aku cinta.”
Kata itu membuat dunia Yunita berhenti sejenak. Ia menatapnya, benar-benar tak siap mendengar ucapan itu keluar dengan nada seserius itu.
“Bapak… bilang apa barusan?”
“Cinta.”
Yunita terpaku. Pipinya panas, jantungnya berdetak kacau. “J-jangan bercanda, Pak. Aku bisa jantungan.”
“Siapa bilang aku bercanda?”
Tatapan Yudhistira begitu lembut, tapi juga tegas. “Aku gak tahu sejak kapan, Yun. Tapi setiap kali kamu ketawa, atau marah, atau nangis karena aku… rasanya aku cuma pengen jagain kamu selamanya.”
“Pak…” bisiknya nyaris tak terdengar.
Yudhistira mengangkat tangan, menyentuh kepala Yunita perlahan. “Tapi aku tahu kamu masih muda. Aku gak mau kamu ngerasa terpaksa cinta balik. Jadi cukup aku yang jatuh cinta dulu.”
Dan kalimat itu justru membuat air mata Yunita mengalir.
Ia menunduk, menahan tangis haru yang datang tiba-tiba. “Pak… aku gak tahu harus ngomong apa.”
“Cukup bilang kamu gak benci aku.”
“Bapak aneh banget…” ucap Yunita pelan sambil mengusap air matanya. “Aku gak benci. Gimana bisa benci orang yang tiap hari nyiapin sarapan, ngajarin matematika, terus… bikin aku ketawa kayak tadi.”
Yudhistira tersenyum hangat. “Berarti aku aman?”
“Untuk sementara,” jawab Yunita dengan nada bercanda, berusaha menyembunyikan wajah merahnya di balik bantal.
Suasana hening lagi, tapi kali ini bukan karena canggung. Ada rasa damai yang lembut menggantung di udara — semacam keheningan yang terasa nyaman.
Tiba-tiba, ponsel Yunita berbunyi lagi. Notifikasi dari grup sekolah:
📱 “Besok ada pengumuman penting dari Kepala Sekolah. Semua siswa wajib hadir jam 8.”
Yunita langsung menegakkan punggung. “Pak! Besok ada pengumuman penting katanya!”
Yudhistira menatap layar ponsel itu. Alisnya sedikit terangkat. “Kalimat ‘pengumuman penting’ itu gak pernah berarti hal baik.”
“Jangan bilang… soal gosip kemarin?”
“Mungkin.”
“Ya ampun, Pak! Aku belum siap kalau disuruh klarifikasi lagi di depan sekolah!”
“Kamu gak sendiri,” kata Yudhistira tenang. “Kali ini biar aku yang bicara.”
“Tapi, kalau nanti mereka tahu soal pernikahan kita—”
“Yun.”
Nada suaranya berubah sedikit tegas. “Kita udah cukup lama bersembunyi. Kalau memang waktunya tiba, aku siap.”
Yunita terdiam. Hatinya berdebar keras. Antara takut dan lega.
Malam itu, ia sulit tidur. Kata-kata Yudhistira terngiang di kepala — “Kalau waktunya tiba, aku siap.”
Apakah itu artinya rahasia mereka akan terbongkar?
Atau justru awal dari bab baru di mana mereka bisa hidup tanpa harus berpura-pura?
----
Keesokan paginya, sekolah penuh dengan bisik-bisik. Semua murid berkumpul di aula. Yunita duduk di barisan tengah bersama Rara dan dua sahabat lainnya yang kini sudah tahu rahasia besar itu.
“Yun, kamu yakin Pak Yudhistira dan kamu gak bakal kena masalah?” bisik ketiga sahabat Yunita, Rara , Nadia dan Salsa bersamaan,
“Gak tahu… tapi aku percaya sama dia.” jawab Yunita
Tak lama kemudian, Kepala Sekolah naik ke podium. Di belakangnya, berdiri beberapa guru termasuk Yudhistira. Wajahnya tetap tenang seperti biasa, tapi matanya sedikit lebih serius.
“Anak-anak,” suara Kepala Sekolah menggema di aula. “Beberapa waktu lalu, beredar kabar yang tidak benar mengenai hubungan seorang guru dengan muridnya. Setelah kami melakukan penyelidikan, kami ingin meluruskan.”
Suasana langsung riuh. Yunita menunduk, tangan dingin.
“Yang terjadi,” lanjut Kepala Sekolah, “adalah kesalahpahaman. Guru yang bersangkutan telah menjalankan tanggung jawabnya dengan baik. Tidak ada pelanggaran etika di lingkungan sekolah ini.”
Sorak lega terdengar di antara murid-murid. Yunita menghela napas panjang, tapi hatinya berhenti saat Kepala Sekolah menambahkan,
“Dan mengenai hal pribadi yang menyangkut Pak Yudhistira dan saudari Yunita, sekolah memilih untuk tidak mencampuri urusan keluarga mereka.”
Detik itu, aula menjadi senyap.
Satu kalimat terakhir itu, urusan keluarga mereka membuat semua murid saling menatap.
ketiga nya berbisik cepat, “Maksudnya… kalian beneran udah—”
“Ra,nad, sa jangan keras-keras!” seru Yunita panik.
Yudhistira di atas podium menatap sekilas ke arah tempat duduknya. Tatapan mereka bertemu tenang, dalam, tapi sarat arti.
Satu senyum tipis darinya seolah berkata, “Sudah waktunya.”
Sepulang dari sekolah, Yunita tak berhenti menatap ke luar jendela mobil. Angin sore menyapu wajahnya, tapi pikirannya masih berputar-putar.
“Pak…”
“Hm?”
“Tadi itu… Kepala Sekolah tahu, kan?”
“Tahu,” jawab Yudhistira tenang. “Aku sendiri yang cerita.”
“Apa?! Bapak bilang sendiri?!”
“Daripada mereka dengar dari gosip, lebih baik dari orangnya langsung.”
Yunita memegang dada, setengah panik setengah kagum. “Pak gila ya… tapi… aku juga bangga.”
“Bangganya kenapa?”
“Soalnya… akhirnya aku bisa berhenti sembunyi.”
Yudhistira tersenyum, meliriknya sekilas. “Berarti kamu siap?”
“Siap apa?”
“Siap menjalani ini bukan sebagai rahasia lagi.”
Yunita menatapnya lama, lalu perlahan mengangguk. “Kalau sama Bapak… siap.”
Mobil melaju pelan ke arah senja. Di luar, langit berwarna oranye keemasan, seperti menandai bab baru dalam hidup mereka.
Dan untuk pertama kalinya, Yunita merasa ringan — seolah beban rahasia yang selama ini ia pikul akhirnya hilang.
Karena kini, dunia mungkin mulai tahu.
Tapi cinta mereka… baru saja benar-benar dimulai.
Bersambung
yo weslah gpp semangat Thor 💪 salam sukses dan sehat selalu ya cip 👍❤️🙂🙏