Saat hidup dikepung tuntutan nikah, kantor penuh intrik, dan kencan buta yang bikin trauma, Meisya hanya ingin satu hal: jangan di-judge dulu sebelum kenal. Bahkan oleh cowok ganteng yang nuduh dia cabul di perempatan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bechahime, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Smart in Code, Broken in Emotion (Bagian 1)
Hari itu, langit mendung tapi bukan karena mau hujan. Itu cuma mood-ku yang kayak awan kelabu karena hidup yang terlalu sering ngasih script humor yang terkadang melatihku untuk tetap tertawa walau sebenarnya pengen teriak kencang dan nangis bombay.
“Gue butuh keluar rumah sebelum gue mulai ngobrol sama furniture,” kataku dramatis di voice note ke Rahma, yang langsung dibalas dengan emot menangis dan semangka di chat.
Aku nggak tau kenapa semangka. Tapi kami memang begitu. Absurd tanpa alasan logis.
Akhirnya, kami janjian ketemu di sebuah café pinggiran kota yang vibe-nya kayak tempat retreat orang-orang yang butuh rehat sejenak dari tekanan hidup dan drama kantor yang gak ada habisnya.
“Jadi gimana kelanjutan cerita lo sama Andika?” tanyaku saat kami sudah duduk di salah satu meja dekat ke pojok ruangan.
“Well, dia bilang itu adek sepupunya dari garis ibu.” Jawab Rahma acuh tak acuh.
“Lo gak kenal sepupunya itu? Masak udah mau jadi calon ipar tapi lo gak tau sama keluarga dia?”
“Gue gak terlalu peduli sih. Gue percaya sama dia, Mei.”
“Bucin memang gak ada obatnya,” jawabku sambil geleng-geleng kepala.
“Lupakan soal gue, gue mau denger cerita absurd lo. Minimal cerita lo bisa jadi penghibur hidup gue yang terlalu serius tanpa komedi ini.”
Aku tertawa kecil. Rahma dan aku memang saling kenal sejak kuliah. Tapi kami punya ketertarikan yang berbeda. Rahma lebih tertarik pada dunia fashion jadi dia memutuskan untuk jadi pengusaha muda. Walau tidak besar tapi usaha Rahma cukup populer di kalangan mahasiswi. Dan tentu saja tidak ada namanya hidup tanpa ada masalah. Kalau aku bermasalah dengan rekan kerja. Dia bermasalah dengan kompetitor.
“Lo tau nggak, Ma,” aku narik nafas dan mulai story telling.
“Kadang gue ngerasa semesta tuh ngebagi stok jodoh kayak warung. Dan warungnya keabisan pas giliran gue.”
Rahma menatapku dengan pandangan penuh simpati dan segelas Thai tea jumbo.
“Ya elah, Sya. Lo tuh bukan keabisan. Lo tuh kayak dapet misteri box. Isinya kadang Keanu yang jadi bestie. kadang mantan orang lain. Kadang flexing old money yang kayak tokoh FTV tengah malam.”
Kami tertawa keras sampai Mas-Mas di meja samping melirik curiga. Tapi kami udah kebal. Ini udah gaya hidup.
Baru aja kami mau pesan camilan kedua, tiba-tiba Rahma menyikutku untuk melihat kearah selatan, waktu aku menoleh, mata ku ketemu sama—satu pandangan asing.
Serang cowok duduk dua meja dari kami. Gayanya santai, pakai kemeja warna biru muda dan bawahan celana baggie jeans. Si cowok yang sadar aku masih melihat kearahnya dengan wajah bingung, melotot dengan halus. Bukan melotot kayak orang kesel, ya. Tapi kayak lagi loading pelan-pelan. Seolah dalam otaknya ada search engine yang lagi mikir keras: “Siapa dia? Kenapa mukanya kayak meme yang gue simpen tapi lupa di folder mana?”
Aku cuma senyum sopan, lalu balik buka buku menu yang font-nya terlalu kecil untuk usia ku yang tidak muda-muda amat. Tapi beberapa detik kemudian—dia berdiri. Jalan kearah mejaku dan Rahma.
“Sorry—wajah lo familiar banget. Kayaknya kita pernah ketemu?” katanya.
Aku nengok ke Rahma. Rahma ngangkat alis kayak bilang “Nah loh. Jelaskan, Sya.”
Aku ngelirik balik ke cowok itu. Senyum tipis.
“Mas—gombalan lo itu kayak lagu Dewa19. Enak, tapi udah terlalu sering di dengerin.”
Dia kaget setengah ngakak. Ngusap jidat.
“Serius! Gue nggak gombal. Gue yakin banget pernah liat lo. Tapi gak tau dimana…”
“Meisya? Rahma?”
Aku dan Rahma saling noleh kayak karakter anime.
Ternyata Mbak Elga. Dia berdiri di sebelah pria yang bilang pernah melihatku itu.
“Ini Pedro,” kata Mbak Elga Ramah. “Dia tuh sebenernya yang harus kencan sama kamu waktu itu. Tapi dia punya urusan mendadak ke luar kota, makanya di gantikan temannya.”
Seketika aku dan Rahma saling pandang lagi. Dan hanya dengan tatapan itu, kami tahu ini akan jadi salah satu siang absurd di bulan ini.
Kami pun duduk semeja, tentu setelah perkenalan singkat dari Mbak Elga. Makan siang bareng. Pedro ternyata menyenangkan dan nggak se-freak kesan pertamanya dan namanya juga agak kayak nama—Spayol? Latin? nggak tau.
“Oh, jadi lo yang kencan buta sama Felix” celetuknya sampai tertawa misterius.
“Well, dari semua kencan buta yang gue datengin, satu-satunya cowok normal Cuma—Felix.”
Pedro langsung kaget, bahkan hampir keselek air.
“Felix?? Lo bilang dia normal?” dia kembali tertawa.
“Itu adalah statement yang paling tidak terduga so far kalau topik kita adalah Felix.”
“Enggak. Maksudnya, iya. Maksudnya—iya—enggak gitu lo. Pertemuan pertama kami bukan di kencan buta itu soalnya.”
Rahma yang udah siap jadi MC langsung menyambung, “Mereka ketemu waktu Meisya lagi nonton iklan kolor Kevin Klein di penyebrangan jalan.”
Pedro menatapku dengan tatapan seperti orang habis ngeliat UFO. “WHAT?!”
Pedro terbatuk. “Wait— WAIT! Lo tuh—lo tuh cewek cabul dari cerita dia?!”
Aku langsung tutup muka pakai serbet.
Rahma menepuk pundakku. “Tenang. Lo nggak sendiri. Kita semua cabul di mata pria yang terlalu ganteng.”
Pedro ngakak sampai bahunya naik turun. “GILA. Dunia sempit banget! Gue udah kenal Felix dari orok, Men. Dan itu anak—duh, Meisya. Dia tuh—gimana bilangnya ya. ‘cool by looks, anxious by attachment, smart in code, broken in emotion’.”
Aku, Rahma dan Mbak Elga melongo kayak kucing yang umpan pakai bulu ayam.
“Bro—broken apa maksudnya—?” kali ini Rahma yang speak up.
“Dia kayak robot yang error kalau ada orang nyentuh ranah perasaannya. Tapi kalau soal coding atau debugging AI? Jempol tiga. Saking jagonya, kadang gue ngerasa dia pacaran sama laptop.”
Aku membelalak. Ucapan Pedro related banget sama apa yang aku rasain saat pertama kali ketemu Felix.
Rahma menimpali, “Makanya cocok sama lo, sya. Lo kan pacarannya sama nasi padang.”
Mbak Elga yang dari tadi nyimak sambil makan akhirnya tertawa.
“Gue—ngak tau Felix itu kayak gimana. Tapi denger ceritanya, sekarang gue percaya kalian berdua cocok jadi sitcom sendiri,” katanya sambil nyengir.
Dan disitulah aku duduk, di meja kecil dengan Pedro yang masih ngakak sambil bilang “Lo legendary Sya”, Rahma yang sibuk nambah pesanan kentang, dan Mbak Elga yang mungkin dalam hati menyesal kenapa nggak dari dulu nonton hidupku yang kayak drama absurd harian.
“Ngomong-ngomong kenapa lo bilang Felix paling normal dari semua kencan buta lo?” akhirnya Pedro berhenti tertawa dan kembali memperlihatkan wajah penasarannya.
“Jadi gini, Mas Pedro,” Rahma mulai.
“Karena tuntutan mamanya, Meisya mulai aktif mengikuti kencan buta. Tapi sayangnya pria yang di temuai aneh semua. Mulai dari old money yang flexing tiap lima menit, sampe cowok toxic yang gagal move on. Dan yang lebih kocak—calon mantu impian mamanya ternyata lebih cocok jadi bestie skincare.”
Pedro kembali ngakak. “Kok kayak sinetron prime time tapi versi… absurd?”
Aku menyipit. “Absurd adalah tema hidup gue, Mas.”
Rahma juga lanjut soal insiden toko buku saat Felix memanggilku cabul lagi. Bahkan Rahma juga menceritakan bagaimana aku melakukan reka ulang kejadian untuk meluruskan salah paham antara aku dan Felix.
“Ah, gue ingat sekarang dimana gue ngeliat lo sebelumnya. Di toko buku dekat jalan kampus. Gue ngeliat lo ketawa sendiri setelah baca komik. Bahkan kita sempat ngobrol sebentar”
“Benarkah? Gue jarang ingat wajah orang kalau cuma ketemu sepersekian detik.”
Dia manggut-manggut. “Pantas waktu gue tanya, ‘gimana kencan butanya’. Felix cuma geleng-geleng kepala sambil ketawa tipis.”
“Awalnya gue ngira kalau Felix itu cowok dingin, datar dan nggak manusiawi. Tapi setelah kenal dia ternyata dia nggak buruk juga.”
“Nggak buruk karena kalian cocok. Lo absurd, dia dingin. Sama-sama rusak tapi jalan.” Timpal Rahma.
Kami tertawa bersama, kemudian memutuskan untuk pindah ke tempat yang bisa membuat kami lebih santai. Akhirnya pilihan jatuh ke coffee shop Mas Johan yang punya space cozy dan bagus untuk nongkrong.
Sesampai disana Mas Johan menyambutku dengan senyum manis khasnya, lalu aku memperkenalkan Mbak Elga dan Pedro. Tapi kemudian Mbak Elga harus pergi karena ada urusan sambil titip pesan. “Jangan bikin Pedro trauma, ya.”
“Lo malah bantuin Mas buat nambah kostumer baru, ternyata kopi gratis kemaren-kemaren di bayar pake ini ya,” godanya saat aku hendak pergi ke meja dengan sofa cozy yang terletak agak ke belakang café. Tentu saja aku respon dengan tawa bangga sambil angkat jempol.
“Gue tuh gak ngerti ya,” kata Pedro saat kami sudah duduk.
“Kok hidup lo kayak sitcom tapi ratingnya selalu naik?” tambahnya dengan gaya ilmuwan eksperimen.
Aku dan Rahma udah setengah rebahan di sofa café, perut kenyang, kepala penuh memori absurd dan hati—sedikit geli.
Pedro masih melirikku kayak specimen langka yang kebetulan bisa bicara dan makan sushi dalam waktu bersamaan. “Gue serius, Sya. Lo tuh—absurdnya konsisten. Dari drama peyebrangan sampe video kolor—itu—gue nggak ngerti kenapa Felix gak langsung cabut dan blokir lo seumur hidup.”
“Karena gue charming,” sahutku santai sampai nyeruput matcha latte yang barusan di antar oleh staff Mas Johan.
Pedro ketawa pendek. “Lo tuh bukan charming, lo chaos. Tapi chaos yang lucu. Kayak—kucing jatuh dari meja tapi sambil nge-gaya.”
Rahma melambaikan tangan. “Eh, focus dong. Tadi lo bilang Felix cerita soal Meisya ke lo. Terus lo gak shock pas tau dia malah ngajak Meisya bantuin proyek beta apa-apalah itu?”
“APA?! Dia minta bantuan lo buat proyek perusahaan?” dia mencondongkan tubuh ke arahku, matanya membelalak seperti baru lihat fakta bahwa bumi bulat.
Aku angguk. “Iya. Katanya lagi butuh user awam buat testing AI dalam game-nya. Dia nyari orang yang cukup— tidak logis dalam navigasi dan komunikasi.”
“Alias lo,” Timpal Rahma.
Pedro narik napas kayak mau ceramah di TEDx.