Seraphina Luna — supermodel dengan kehidupan yang selalu berada di bawah sorotan kamera. Kalleandra — pria asing yang muncul di malam tak terduga.
Mereka bertemu tanpa sengaja di sebuah klub malam. Sera mabuk, Kalle membantu membawanya pulang ke apartemennya. Tanpa disadari, dua wartawan melihat momen itu. Gosip pun tercipta.
Seketika, hidup mereka berubah. Gosip itu bukan sekadar cerita — ia memaksa mereka untuk mengambil keputusan yang tak pernah terbayangkan: menikah. Bukan karena cinta, tapi karena tekanan dunia.
Di balik cincin dan janji itu tersimpan rahasia dan luka yang belum pernah terungkap. Akankah cinta lahir dari dari gosip… atau ini hanya akhir dari sebuah pertunjukan?
"Di balik panggung, selalu ada cerita yang tak pernah terucap."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon amariel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DILEMA..
Hari itu dimulai dengan bunyi ayam tetangga yang berkokok terlalu semangat—jam lima pagi sudah seperti jam delapan. Sera menggeliat malas di ranjang kayu kecil yang baru mereka tempati seminggu lalu. Selimutnya terlempar entah ke mana, rambutnya berantakan, dan dapur… well, dapurnya sudah terlihat seperti habis dilewati badai kecil.
Kalle sudah berangkat sejak subuh. Jam dinas di rumah sakit kecil itu nggak kenal kata “pagi tenang.” Sera menatap jam dinding, lalu menatap sekeliling.
“Oke… ini bukan mimpi buruk. Ini cuma… hidup baru yang agak kumuh,” gumamnya, setengah pasrah, setengah geli.
Ia baru mau menyapu halaman ketika suara cempreng terdengar dari luar pagar.
“Ya Allah inikan mbak Sera yang di Baliho depan. Masya Allah, cantik banget kayak di TV!”
Tiga ibu-ibu berdiri di depan pagar, masing-masing bawa piring tertutup tudung saji. Salah satunya sudah setengah melangkah masuk tanpa diundang.
"Eh iya, ini kan yang di iklan sabun itu! Saya sampe beli sabunnya, loh. Biar muka kinclong juga!”
“Bu, yang di baliho depan gang itu... njenengan kan?” ulang salah satu dari tiga wanita di depannya
Sera refleks menatap jalanan depan komplek. Dan benar saja—terpampang lebar wajahnya tersenyum manis sambil megang sabun putih besar bertuliskan Lumine Skin – Kulit Bening, Hati Bersih.
“Ya ampun…” Sera menepuk jidat. “Itu kan kontrak iklan tahun lalu. Kok masih ada di sini?"
"Masih bagus gambarnya, Bu! Nggak tega dilepas kali,” sahut Bu Reni sambil nyengir.
“Saya juga beli sabunnya loh, Bu. Tapi kok jerawat saya nggak pergi-pergi ya?”
Sera nyaris nggak kuat nahan tawa. “Hehe... mungkin harus dicoba sabunnya bareng doa, Bu."
Sekarang sera dan tiga wanita itu berkumpul di teras rumah.
"Kenalkan, mbak Sera. Saya ibu Reni RT disini, ini ibu Mutia, nah yang ini Ibu Tika."
Satu persatu dari mereka saling bergantian untuk salaman. Bahkan ibu Reni dengan beraninya mengambil handphone.
"Mbak Sera, boleh kita foto ?"
"Boleh, sebentar." Sera sudah akan mengatur posisi.
Anak kecil tetangga tiba-tiba nyeletuk dari pagar,
"Tante, aku hafal lagunya loh! Lumine skin… Kulit bening, hati bersih~"
Sera spontan menutup muka dengan sapu.
“Astaga. Ini kampung apa studio iklan sih?”
Ibu-ibu tertawa. Sera akhirnya pasrah. Mereka masuk, menaruh sambal, sayur lodeh, dan pisang goreng di meja. Rumah kecil itu langsung terasa penuh aroma masakan rumahan yang hangat—dan gosip yang lebih cepat dari internet.
"Jadi sekarang mbak Sera tinggal di sini sama Dokter Kalle?”
“Iya, Bu. Sementara. Kalle tugas di sini.”
“Wah, cocok banget ya, yang satu dokter, yang satu bintang iklan. Dulu saya pikir gosip di TV bohongan, ternyata beneran ada pasangannya!”
Sera cuma bisa senyum kaku. Dalam hati, ia pengin kabur balik ke hotel bintang lima tempat ia biasa syuting. Tapi ya… nggak mungkin.
Kalle sudah mulai nyaman di sini, dan entah kenapa, meski kesal, Sera tidak tega memintanya pindah.
Menjelang sore, suasana makin ramai. Anak-anak kecil lewat depan pagar sambil nyanyi jingle iklannya, ibu-ibu saling tukar resep, dan bahkan ada yang minta foto bareng.
"Mbak Sera, senyum dikit ya! Nih buat status grup RT!”
Klik.
“Wah, ini fotonya udah kayak endorse, Bu!”
Sera cuma tertawa lelah. Oke, fine. Sekalian aja aku buka kelas modeling di sini.
Kalle pulang menjelang magrib. Wajahnya letih, kemeja putihnya kusut, tapi senyumnya tetap hangat. Belum sempat dia naruh tas, suara ibu-ibu langsung bersahut-sahutan dari luar pagar.
“Dokter Kalle! Kok gak info kalau mbak Sera di bawa kesini ?” celetuk ibu Reni.
“Saya udah upload di grup RT loh, Dok. Ntar viral nih!” lanjutanya
Kalle cuma nyengir kaku, tangannya reflek ngusap belakang kepala.
"Hehe... iya, ini juga dadakan ikut. Bu."
"Mbak Sera boleh di ajak arisan kan, pak Dokter."
"Boleh Bu, silakan." jawab Kalle kembali." Kami pamit ke dalam. Terima kasih untuk makanannya."
Begitu pintu tertutup, Sera menatap Kalle dengan ekspresi campur antara lelah dan geli.
“Tau nggak, hidup di sini lebih serem daripada paparazzi.”
Kalle menaruh tas, mengambil segelas air.
“Tapi setidaknya mereka suka kamu.”
“Ya, suka karena sabun. Bukan karena aku.”
“Masih lebih bagus daripada nggak disukai sama sekali,” jawabnya datar tapi dengan senyum kecil.
Sera melotot kecil. “Kamu tuh, bisa banget ngomongnya kayak dokter motivator.”
“Emang dokter juga harus bisa menyembuhkan ego pasiennya.”
“Dan istrimu juga?”
“Termasuk.”
Sera menatapnya, lama. Lalu tanpa sadar tersenyum tipis.
Dalam hatinya, ada rasa hangat aneh—kayak sambal Bu Reni yang pedes tapi bikin nagih.
Malam itu, ia duduk di teras kecil mereka, memandangi langit. Anak-anak masih terdengar nyanyi lagu Lumine Skin di kejauhan, dan Kalle sibuk mencatat laporan pasien di ruang tamu.
Sera bersandar di kusen, menatap suaminya.
“Eh, Kalle…”
“Hm?”
“Aku baru dua hari di sini, tapi gosip tentang aku udah lebih cepat daripada timeline Twitter.”
“Bagus dong, gratis promosi.”
“Dasar kamu—”
Sera melempar bantal ke arah Kalle, tapi bantalnya malah nyangkut di kipas angin.
Kalle tertawa, untuk pertama kalinya sejak pindah suaranya terdengar lepas.
Dan di detik itu, Sera sadar… mungkin hidup sederhana ini nggak seburuk yang ia bayangkan.
Bukan dunia yang gemerlap, tapi hangat.
Dan mungkin, hanya di rumah kecil inilah, ia bisa jadi manusia biasa—yang bisa tertawa tanpa pencahayaan panggung.
**********************************
Hampir saja benda itu di lemparkan ke arahnya kalau tidak ada seseorang menghalangi.
Isak tangis pelan pun terdengar dibalik tubuh kecil yang terduduk.
"Sudahlah, mas. Tahan emosimu."
Pria itu pun menurut. benda yang ada di tangannya kini terlepas. Namun mata penuh kemarahan dan kekecewaan tampak.
"Memalukan kamu, Dela. Bapak gak habis pikir sama sekali."
perempuan muda bernama Dela itu masih tetap menunduk. Tak berani sama sekali mengangkat kepalanya. Rasa bersalah, malu, sedih semua campur.
"Maafkan Dela, pak. Dela tahu ini sebuah kesalahan fatal."
"Siapa ayah dari anak itu ?"
Pertanyaan yang dia takutkan keluar juga. Dan Dela malah membungkam. Kepalanya sama sekali belum dia angkat.
"Siapa ayah dari anak itu, Dela. Bapa harus tahu."
ada tangan yang mengusap punggungnya pelan, seakan ingin memberikannya kekuatan.
"Bilang sama Bapa sama ibu. Kita semua harus tahu. Biar lelaki itu bertanggung jawab sama bayi yang kamu kandung."
Tanggung jawab ? ingin rasa Dela tertawa kencang mendengarnya. kalau saja itu terjadi tidak mungkin dia akan datang kerumah ini sendirian dan mengakui dosanya. Pria itu jelas sudah tak menginginkan dia dan juga bayi ini.
"Aku akan bawa orangnya kesini. Buat ketemu sama ayah sama ibu." sahutnya pelan.
Tubuhnya segera dia tegakkan." Dela pamit pulang dulu".
"Kamu tinggalkan kost sekarang juga. bawa semua barang-barangmu, hari ini." titah dengan nada tegas penuh amarah.
Dela tak menjawab, dia malah memutar tubuhnya pergi dari rumah tersebut. Tangannya bergerak meraih benda pipih di dalam tas lantas mengetikkan beberapa pesan pada seseorang.
*******************************
pintu ruangan dibuka lebar. Sosok pria paruh baya sudah menunggunya. Ada senyum kecil terpasang.
"Masuklah, Kalle."
pria muda dengan kemeja putihnya masuk. mereka saling bersalaman.
"Gimana, sibuk di Sukabumi ?"
"Begitu, Pak."
" Jangan pak, kamu ini sudah jadi menantu saya . Panggil ayah sama seperti Sera."
Adipati mempersilakan Kalle untuk duduk. Sebetulnya Kalle sedikit terkejut ketika Restu, salah satu orang kepercayaan Adipati datang menemuinya. Dia tak menyangka jika Adipati sedang berada di kota yang sama.
"Sera, dia tidak tahu kalau kita bertemu ?"
" Dia lagi ada pekerjaan di Jakarta. Memang tidak mengabari bapak- eh ayah."
Adipati malah terkekeh." Anak itu, semenjak memutuskan keluar dari rumah. Dia jarang sekali pulang atau mengabari kami. Terakhir dia datang pada saat kalian mau menikah."
"Maafkan saya, Yah. Kalau kami berkunjung ke jakarta saya usahakan untuk mengunjungi ayah sama ibu."
"Gak apa-apa. Aku tahu kalian berdua sama-sama sibuk." Adipati berujar.
Lelaki itu merapihkan duduknya. Pandangannya lurus tertuju pada Kalle.
" Bulan depan akan ada rapat di management Rumah sakit. Aku ingin Sera bisa hadir di sana. pun juga termasuk kamu. Ibunya, ingin sekali Sera menggantikan posisinya sebagai pimpinan utama, sayang anak itu sangat keras kepala. Rumah sakit dan dunia medis menurutnya bukan tempat dia. Makanya aku memanggilmu hari ini untuk meminta bantuan." urainya." Bawa Sera untuk datang ke pertemuan itu, yakinkan dia mau terlibat di dalamnya. Dan aku... sesuai janjiku sebelumnya bahwa akan ku bantu segala hal mengenai klinikmu bahkan bila perlu aku akan bawa kamu bergabung di Saphira medical center."
Kalle... Dia terdiam sesaat. Mencerna semua ucapan yang di lontarkan Adipati. Tawaran itu ternyata bukan omong kosong. tawaran yang hampir membuat dia goyah. Haruskah prinsip kuatnya dia lepas ? Demi masa depan yang baik bagi klinik juga kariernya. Hanya saja-- bagaimana dengan Sera??