"Lepasin om! Badan gue kecil, nanti kalau gue penyet gimana?!"
"Tidak sebelum kamu membantuku, ini berdiri gara-gara kamu ya."
Gissele seorang model cantik, blasteran, seksi mampus, dan populer sering diganggu oleh banyak pria. Demi keamanan Gissele, ayahnya mengutus seorang teman dari Italia untuk menjadi bodyguard.
Federico seorang pria matang yang sudah berumur harus tejebak bersama gadis remaja yang selalu menentangnya.
Bagaimana jadinya jika Om Hyper bertemu dengan Model Cantik anti pria?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pannery, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Buka bajumu
"ARRGH!!"
Dion mengerang kesakitan sambil membungkuk, kedua tangannya menutup area vital yang baru saja dihantam keras oleh Gissele.
Wajah Dion memerah, tubuhnya goyah, dan nafasnya memburu, tapi tatapannya masih terarah ke Gissele.
"SINTING LO!" Teriak Gissele lagi.
Gissele, meski masih terhuyung karena rasa nyeri di mulutnya, segera menyadari banyak mahasiswa mulai berdatangan, tertarik oleh keributan barusan.
“Eh, Ada apa?!”
“Eh dia berdarah, astaga!”
“Itu Dion ya? Gila, dia berantem lagi sama Gissele?!”
"Loh Dion udah pulang dari luar negeri."
Desas-desus mulai memenuhi lorong. Beberapa siswa mengangkat ponsel mereka, merekam kejadian itu.
Tak ingin jadi tontonan lebih lama, Gissele menggigit bibirnya—yang sayangnya justru membuat darah segar kembali keluar.
Gissele segera melesat lari dari kerumunan. Ia berlari secepat mungkin menuju kamar mandi wanita, mengabaikan panggilan-panggilan samar yang mencoba menahannya.
Sesampainya di kamar mandi, ia langsung menatap wajahnya di cermin kecil yang terpasang di dinding.
"Sialan..."
Suara parau keluar dari bibirnya yang mulai membiru di ujung kanan. Ada noda darah yang mengering di sudut mulut.
Pipinya pun terlihat kemerahan, sedikit membengkak.
"Cowok gila itu selalu kaya gini…" bisiknya getir.
Dion bukan hanya posesif, tapi juga abusive. Bukan pertama kalinya pria itu memukulnya—di kampus, di tempat sepi, bahkan di tempat ramai sekalipun. Tapi hari ini... Gissele merasa titik sabarnya benar-benar habis.
Gadis itu mengambil tisu dan perlahan menekan darah di bibirnya. Sesekali ia meringis karena perih yang menyengat.
"Akh.. perih banget.."
Setelah itu, ia mencuci mukanya dengan air dingin dari wastafel, mencoba meredam emosi dan rasa nyeri yang bergantian mencengkram.
"Aduh… sial…"
Gissele melihat pantulan dirinya di kaca. Wajahnya kacau, rambutnya sedikit kusut, dan… ia hampir lupa.
"Astaga... gue ada photoshoot hari ini! Terpaksa harus ganti jadwal. Ugh, sekarang nutupin luka gue dulu."
Dengan tangan sedikit gemetar, Gissele mengeluarkan bedak padat kecil dan liptint dari sakunya.
Dengan cekatan Gissele menutupi luka di bibir dan kemerahan pipinya. Warna pink lembut dari liptint menyamarkan luka itu, meski masih ada sedikit bengkak yang tak bisa ditutup sepenuhnya.
"Duh, kayanya gue harus pake masker."
Gissele mulai mengikuti kelas seperti jadwalnya. Beberapa teman sekelas mulai memperhatikan keanehan Gissele hari itu.
Sejak kembali ke kelas, ia mengenakan masker medis warna putih yang menutupi hampir setengah wajahnya.
“Cel, lo sakit lagi?” Tanya Zara sambil melirik Gissele yang duduk agak menyendiri di sudut kelas.
Gissele buru-buru mengangguk kecil. “Iya, ini… pilek. Tadi pagi agak meriang dikit.”
Zara mengerutkan kening. “Yakin lo gapapa? Nggak pulang aja?”
Gissele hanya tersenyum lewat matanya.
“Aman, gue nggak mau ngelewatin kelas.”
Sampai jam ujian terakhir tiba, Gissele tetap tak membuka maskernya. Jam pulang tiba dan Gissele segera pamit dari teman-temannya.
"Guys gue duluan ya, ada pemotretan." Pamit Gissele dan Zara melambaikan tangan singkat.
Seperti biasa, tak lama kemudian sebuah mobil hitam mengilap berhenti di depan gerbang kampus.
Federico turun… masih dalam penyamaran absurdnya memakai wig merah, kacamata hitam besar, dan jaket lusuh.
Federico hanya memberi tatapan sekilas ke arah Gissele, lalu langsung masuk ke mobil.
Gissele bergegas masuk, duduk di kursi belakang seperti biasa. Tapi begitu ia duduk, Federico langsung meliriknya heran dari balik kacamata gelapnya.
“Kenapa Nona pakai masker?” Tanyanya tanpa basa-basi, suara beratnya memenuhi ruang kabin.
“Gue pilek, jangan banyak tanya, Om. Hari ini pemotretannya diganti ke hari lain.” Jawab Gissele ketus, tetap menunduk.
Federico hanya diam, tapi matanya menyipit curiga. Ia lalu menyalakan mesin, dan mobil mulai melaju pelan.
Tapi, setelah beberapa menit, tiba-tiba Federico menginjak rem mendadak di pinggir jalan.
Mobil berhenti mendadak di tepi jalan yang sepi, hanya suara angin sore yang menggetarkan kaca jendela.
Gissele terkejut, tubuhnya sedikit terlempar ke depan sebelum sabuk pengaman menahannya. Ia segera menatap Federico dengan bingung.
“Kenapa berhenti, Om? Cepetan pulang gue cape.” Keluh Gissele sambil menutupi wajahnya dengan rambut.
Federico tak langsung menjawab. Dengan gerakan pelan, ia melepas wig merah dan kacamata hitamnya, lalu meletakkannya di dashboard.
Matanya kini tampak jelas—tajam, teduh, dan menuntut jawaban.
“Kenapa tiba-tiba memakai masker seperti itu, Nona?” Tanyanya, nada suaranya tenang namun terasa dingin. “Apakah Nona pikir saya nggak akan sadar?”
Gissele menelan ludah. “Kan udah gue bilang lagi pilek, udah deh nggak usah banyak tanya..” Jawabnya buru-buru, menunduk.
Gissele berusaha menyembunyikan kegugupannya, tapi peluh di pelipisnya dan nada bicaranya yang bergetar tak bisa berbohong.
Federico menyandarkan tubuh ke jok kursinya, menghela nafasnya.
“Nona nggak bersin. Nggak batuk ataupun kaya lagi nyedot ingus, Nona pikir saya bodoh?”
Gissele diam. Bibirnya terasa nyeri, dan rasa panas di dalam mobil membuat kepalanya semakin berat.
Kalau wanita ini keras kepala, Federico akan membuatnya bicara. Federico lau mematikan Ac-nya.
"Ih, kok dimatiin AC-nya, Om?!" Sentak Gissele, ia benar-benar tidak mengerti isi pikiran pria ini.
Federico tak menjawab, ia justru memainkan ponselnya. Gissele makin murka dan memukul-mukul kursi depan.
"Om nyalain!" Pintanya keras tapi Federico tak bergeming.
Apaan sih..
Gissele merajuk dan ia hendak membuka pintu mobil untuk pulang sendiri tapi, Federico mengunci pintu mobil.
"OM LAGI APA SIH?!" Gissele makin menaikan suaranya.
"Saya tidak akan jalan sampai Nona jujur." Lagi-lagi ancaman seperti itu, membuat Gissele tak berkutik.
Sialan.. Kalau begini gue hanya perlu diam kan. Batin Gissele, kali ini ia sadar jika sekarang adalah perang waktu dan ia tidak boleh kalah.
Beberapa saat kemudian..
Panas menjalar di dalam mobil itu. Make up Gissele mulai luntur karna keringat yang berlebih. Ia terus mengipas-ngipasi wajahnya dengan tangan.
Walau rambutnya sudah diikat satu, ia tetap saja kepanasan. Anjir lama-lama gue bisa jadi bandeng presto.. Gerutunya dalam hati.
Gadis itu akhirnya menarik napas pendek. “Haus banget gue nggak bisa teriak-teriak lagi,” gumamnya kecil tapi, Federico mendengar hal itu dengan jelas.
Tanpa berkata apa-apa, Federico meraih botol vitamin water dari tasnya, membuka tutupnya, dan menenggaknya dengan ekspresi puas.
“Ah segar,” katanya singkat, lalu menatap Gissele dengan pandangan menggoda.
“Mau minum juga, Nona?”
Gissele menatapnya tajam. “Nggak.” Jawabnya singkat. Bahkan bicara sependek itu saja tenggorokannnya sudah sangat kering.
Federico hanya terkekeh, “Kalau haus, buka maskernya dan minum.”
“Nggak usah!” Gissele buru-buru menepis dan karna tidak sabar ia tubuhnya terang-terangkat dan maju kedepan.
"Nyalain lah om!" Gissele mendekat dan meraih tombol AC mobil. Pada saat itu juga, tangan Federico sudah lebih dulu menyentuh tali masker di telinganya.
Dengan gerakan pelan namun pasti, Federico menarik turun maskernya… dan pandangannya langsung jatuh pada bibir Gissele yang pecah dan memar di sudutnya.
Raut wajahnya berubah drastis. Senyuman itu lenyap, digantikan ekspresi datar—namun mata tajamnya menyala, dipenuhi amarah yang terpendam.
“Nona…” ucapnya pelan, nyaris seperti bisikan, “…siapa yang melakukan ini?”
Gissele terdiam. Tangannya mengepal di atas pangkuan. Ia tau pria di depannya ini bisa menyebalkan dan usil… tapi yang sekarang, ini adalah sisi Federico yang jarang muncul.
Pria itu terlihat dingin, serius, dan sangat… protektif.
“Nggak usah dibesar-besarkan, hanya… masalah kecil,” katanya pelan, menunduk lagi.
Federico menaikan alisnya, “Masalah kecil nggak buat Nona terluka seperti ini,” katanya datar. “Siapa yang mengganggu Nona?"
Sorot matanya menghujam. Gissele menggigit bibirnya lagi, dan kali ini ia merasa matanya mulai memanas.
“Saya tidak akan membiarkan siapapun menyentuhmu seperti ini lagi, Nona,” ujar Federico, suaranya semakin rendah namun tegas. “Dan saya tidak suka dibohongi.”
Gissele menatapnya dalam diam. Perasaannya campur aduk—malu, takut, dan… entah kenapa, hatinya berdetak lebih cepat.
Mungkin karena kemarahan Federico yang bukan semata-mata karna kesal, tapi karena ia peduli. Karena ia merasa perlu melindunginya. Dan itu… menenangkan, sekaligus menyesakkan.
Federico membuka laci dashboard, mengambil kotak P3K berwarna putih yang selalu tersedia di mobilnya.
Dengan gerakan tenang, ia membuka tutup kotak itu, mengambil kapas alkohol dan salep kecil.
Setelah itu, tanpa berkata sepatah kata pun, ia menarik kunci mobil dari tempatnya dan melangkah keluar.
Gissele menoleh, bingung. “Eh? Mau ke mana sih, Om?”
Alih-alih menjawab, Federico membuka pintu belakang, lalu duduk di samping Gissele dengan wajah serius.
Pintu ditutup kembli dan Gissele otomatis menggeser tubuhnya menjauh, tapi Federico justru mendekat lebih erat.
“Jangan bergerak, Nona. Saya nggak suka ngelihat ada luka di wajah Anda.”
“Om… enggak usah lebay deh, ini cuma—”
“Diam.” Suaranya rendah tapi mantap. Tidak kasar, tapi cukup kuat untuk membuat Gissele refleks terdiam dan memelototinya kesal.
Wajah Federico tetap tenang. Ia meraih dagu Gissele dengan satu tangan dan menahan gerakan gadis itu agar tidak bisa menghindar. “Kalau Nona banyak bicara, saya cium sekalian.”
Mata Gissele membelalak. “Om! Jangan aneh-aneh!”
Federico hanya tersenyum miring, lalu mulai membersihkan sudut bibir Gissele dengan kapas alkohol. Gadis itu meringis kecil saat cairan dingin menyentuh lukanya.
“Ah, sakit,” lirihnya, berusaha menjauh, tapi genggaman Federico makin erat.
“Makanya jangan bohong soal pilek segala.” Ia menatap luka itu dengan serius, kemudian mengoleskan salep secara perlahan menggunakan ujung jarinya.
Gissele langsung menoleh ke jendela, pura-pura sibuk menatap pohon di luar.
“Kalau udah selesai nanti jalan lagi dong, panas tau!” Gerutunya menyembunyikan detak jantung yang berdebar kencang.
“Nona harus jujur, kalau Nona bandel lagi, saya ikat saja di jok belakang. Biar diam.”
“GILA ya Om!” Gissele meninju lengannya pelan. Federico hanya terkekeh dan menyandarkan tubuh di kursi.
“Nona manis juga kalau marah, ya,” gumamnya santai.
“Om!”
"Ada luka lagi?" Tanya Federico penasaran.
Sebenarnya ada di punggung Gissele yang terasa sakit karna bertabrakan keras dengan loker. Tapi, tidak mungkin kan ia cerita jika punggungnya luka? Ia harus menyembunyikannya.
Gissele menggigit bibir bawah. Tapi kemudian, Federico mengernyit.
Mata elangnya menelusuri wajah Gissele, lalu lehernya—dan terhenti pada sisi bahu kiri gadis itu yang tampak menegang.
“Kenapa Nona duduk miring?” Tanyanya tiba-tiba.
“Enggak. Emang begini aja duduknya.”
Federico mendekat. Terlalu dekat. Tangannya menyentuh pelan punggung Gissele, dan gadis itu langsung terlonjak sedikit.
“Nona,” ucapnya pelan tapi mengandung tekanan. “Apa punggung Nona juga terluka?”
“Eng—enggak,” jawab Gissele cepat, tapi terlalu cepat. Matanya tak berani menatap.
Tapi Federico tau. Ia sudah terlalu sering membaca bahasa tubuh orang.
"Saya harus mengeceknya, mau Nona perlihatkan atau saya buka sendiri?" Fanya Federico dengan suara tajam.
"Om gila! Gue nggak mau dua-duanya!"
"Saya hanya ingin mengecek dan mengobati luka Nona."
Gissele mendelik, "Nggak! Udah tinggal ke rumah sakit aja!"
"Biar saya yang obati karna Nona adalah tanggung jawab saya. Saat Nona terluka seperti ini, saya menyalahkan diri saya sendiri karna tidak menjaga Nona dengan benar."
Benar-benar, pria ini juga keras kepala..
..