Lima tahun pernikahan Bella dan Ryan belum juga dikaruniai anak, membuat rumah tangga mereka diambang perceraian. Setelah gagal beberapa kali diam-diam Bella mengikuti proses kehamilan lewat insenminasi, dengan dokter sahabatnya.
Usaha Bella berhasil. Bella positif hamil. Tapi sang dokter meminta janin itu digugurkan. Bella menolak. dia ingin membuktikan pada suami dan mertuanya bahwa dia tidak mandul..
Namun, janin di dalam perut Bella adalah milik seorang Ceo dingin yang memutuskan memiliki anak tanpa pernikahan. Dia mengontrak rahim perempuan untuk melahirkan anaknya. Tapi, karena kelalaian Dokter Sherly, benih itu tertukar.
Bagaimanakah Bella mengahadapi masalah dalam rumah tangganya. Mana yang dipilihnya, bayi dalam kandungannnya atau rumah tangganya. Yuk! beri dukungungan pada penulis, untuk tetap berkarya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Linda Pransiska Manalu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab empat belas. Kontrak sialan!
Dua bulan waktu berjalan tanpa terasa. Bella merasakan perubahan hormon dalam tubuhnya sejak kehamilannya. Suasana hatinya yang berubah-ubah. Selera makannya juga akhir-akhir ini drastis menurun.
Bawaannya ingin tidur terus dan rebahan. Terutama di pagi hari. Kepalanya sering terasa berat dan mendadak pusing. Bella tidak tau dan tidak mengerti sama sekali dengan apa yang dia rasakan.
Terutama pagi ini, entah kenapa penciumannya sangat tajam. setiap kali dia mencium aroma wewangian atau aroma masakan membuatnya mual, muntah dan pusing.
Apakah ini ada hubungannya dengan kehamilannya yang telah memasuki trimester pertama? Bella belum faham sama sekali. Ini adalah pengalamannya yang pertama.
Selama ini keadaannya baik-baik saja. Dia tidak ada masalah apa-apa dengan tubuhnya.
Untungnya Bella tidak punya kesibukan apa-apa. Bahkan untuk melayani Gavin. Tidur saja mereka terpisah karena status pernikahan mereka hanya di atas kertas.
Walaupun sikap Gavin sudah berubah lebih lembut, dan lebih perhatian padanya, Bella tau semua itu hanya untuk janin di dalam perutnya semata.
Pagi ini, Gavin heran karena Bella tidak muncul di meja makan.
"Bik, Bella dimana?" tanya Gavin, saat Bi Nani menyiapkan sarapan Gavin.
"Sepertinya belum bangun, Nak" sahut Bi Nani. Juga merasa heran. Karena bukan kebiasaan Bella, sebab Bella selalu menemani Gavin sarapan setiap paginya.
Gavin melirik jam di tangannya. Dia masih punya banyak waktu untuk pergi bekerja. Gavin beranjak dari kursinya. Meninggalkan sarapannya.
"Biar Bibi saja yang melihatnya."
"Tidak apa Bi, biar aku saja." Gavin melangkah santai menuju lantai dua. Kamar Bella berada di ujung. Melewati kamarnya sendiri.
Gavin mengetok pintu kamar tapi tidak ada sahutan.
"Hem, apa dia masih tidur padahal sudah siang." guman Gavin.
Gavin memutar handle pintu, ternyata tidak dikunci. Lalu Gavin mendorong pintu supaya terbuka lebar. Nun, di atas ranjang tubuh Bella masih bergelung dibawah selimut. Dengan kening berkerut, Gavin berjalan mendekati tempat tidur.
"Bel, Bella." panggil Gavin perlahan. Gavin meraba keningnya, terasa hangat. Sontak, rasa cemas menjalari segenap hati Gavin. Gavin mengulangi menyebut nama Bella dengan lembut.Takut mengagetkan Bella. Bella akhir menggeliat, dan terkejut melihat Gavin berada di kamarnya.
"Tu-tuan, kenapa berada di kamarku? Bella menyingkapkan selimut. Lalu tiba-tiba, "ho-ek ...." Bella merasakan perutnya mual saat mencium aroma parfum dari tubuh Gavin. Buru-buru Bella berlari ke toilet.
Terdengar suara orang muntah. Gavin semakin khawatir dengan keadaan Bella. Gavin berlari ke arah toilet. Menggedor pintu toilet, berkali-kali.
"Bella, kamu kenapa?" Gavin begitu cemas akan keadaan Bella. Terdengar suara air dari dalam. Sesaat kemudian, pintu toilet dibuka.
Bella muncul dengan wajah pucat.
"Ya, Tuhan! Kamu kenapa Bell? Sakit? Kenapa gak ngomong dari tadi?! Cecar Gavin panik.
"Aku tidak apa-apa. Cuma mual kok," Bella berjalan lunglai. Dengan sigap, Gavin menuntunnya kembali ke ranjang. Gavin membuka jas yang dia kenakan, untuk memudahkannya bergerak.
"Tuan, kenapa Tuan buka jas. Bukankah Tuan mau pergi bekerja. Pergilah Tuan, aku tidak apa-apa. Cuma mual saja, nanti juga akan hilang sendiri. Katanya perempuan hamil begitu." jelas Bella panjang lebar. Namun, tidak bisa mengusir kecemasan Gavin.
"Kamu tidak boleh begini, setiap perubahan tubuhmu harus dalam pengawasan dokter. Ayo, kita periksa ke rumah sakit." Gavin sedikit panik melihat keadaan Bella.
"Tidak apa-apa Tuan. Muntah adalah hal biasa untuk wanita hamil," jelas Bella menekankan untuk menghapus rasa khawatir Gavin.
"Tapi tetap tidak boleh dianggap sepele. " Gavin mengambil ponselnya di saku jas. Dan hendak menghubungi dokter Sherly. Gavin mendadak paranoid.
"Halo dokter, selamat pagi." sapa Gavin setelah panggilannya tersambung.
" Saya Gsvin dokter, Bella sepertinya sakit. Dia mual dan muntah. Kepalanya juga pusing." Gavin menjelaskan keadaan Bella.
"I-iya dokter saya mohon dokter segera datang. Saya akan utus seseorang menjemput dokter."
"Oke, saya tunggu kedatangan dokter. Terima kasih." Gavin menatap layar ponselnya sebelum meletakkannya di atas nakas.
"Dokter Sherly tengah dalam perjalanan. Kamu jangan cemas ya," gavin duduk di sisi tempat tidur. Menatap Bella dengan sorot mata yang sulit diartikan Bella.
'Apakah dia mencemaskan aku atau janin dalam perutku?'
'Pastinya adalah janin dalam perutku.' guman Bella dalam hati.
"Jangan khawatir, Tuan. Aku akan menjaga bayi dalam kandunganku. Tuan tidak perlu secemas itu." sebut Bella lirih.
"Aku mencemaskan kalian berdua. Bukan hanya janin dalam kandungan kamu. Dan satu hal lagi, tolong Bella. Jangan sebut aku Tuan. Kamu bisa panggil namaku atau sebutan lain." Gavin menatap serius pada Bella.
Seperti tersiram air dari pegunungan, hati Bella terasa sejuk. Rasa yang belum pernah hadir dalam hatinya. Ah, andai dia memang benar-benar suamiku, tentu aku akan sangat berbahagia sekali mendengar kata-kata itu. Namun, sayang, pernikahan kami hanyalah ikatan kontrak.
Padahal detik ini entah kenapa betapa aku ingin dia memelukku. Mendengar denyut jantungnya. Merasakan hangat pelukannya.
Ofs!
Astaga!
Hayalan apa ini. Kenapa tiba-tiba persaanku seperti ini.
Hoi! Bangun Bella. Jangan kebanyakan halu kamu! Kamu berada disini hanya karena janin dalam perutmu. Jangan mikir yang aneh-aneh. Ingat, kamu telah diperingatkan Dokter Sherly!" tetiba hentakan suara dari dalam hatinya memperingatkan Bella.
"Akh!" guman Bella menepis pikiran yang menggayuti benaknya. Tanpa sadar dia mengelengkan kepalanya.
"Kamu kenapa. Ada yang sakit, ya?" Gavin yang melihat gerak Bella semakin khawatir.
"Aku merasa pusing," desah Bella menetralisir rasa malu akan perasaannya..
"Aku pijat ya," tanpa menunggu jawaban dari Bella, Gavin mengusap kening Bella dengan lembut. Bella merasakan hatinya begitu hangat. Ini pertama kalinya mereka kontak pisik. Sentuhan itu terasa begitu lembut. Bella memejamkan matanya.
"Bagaimana, masih pusing?" Gavin menatap lembut. Bella membuka kedua belah matanya. Dan terperangkap dalam pandangan Gavin, yang seperti sebuah telaga yang menyejukkan. Betapa Bella ingin menjadi ikan, dan berenang dalam telaga itu.
"Bella ...." tepukan halus di keningnya sontak membuyarkan lamunan Bella.
"Egh, a-aku rasa sudah mendingan." sahut Bella terbata. Serta merutuk kekonyolan dirinya.
"Hem ...." guman Gavin tersenyum. Merasa aneh juga dengan dirinya sendiri. Kenapa degup jantungnya sedemikian riuh saat tangannya menyentuh kening, Bella. Begitu juga saat mata mereka saling beradu. Betapa indah dan lembut tatapan itu. Hampir saja dirinya terbawa suasana.
Andai saja mereka tidak terikat kontrak. Dan pernikahan ini bukan diatas kertas saja. Betapa dia ingin mengulum lembut bibir merekah itu. Tidak sadarkah dirinya setiap tinggkah polosnya membuatku sulit, menahan rasa?
Akh! Kontrak sialan! Maki Gavin dalam hatinya.
Tok, tok, tok!
Pintu diketuk. Perhatian Bella dan Gavin teralih. Diambang pintu berdiri Bik Nani.
"Ada dokter di bawah , Nak Gavin."
"Ouh, iya Bik." Gavin lantas berdiri. "aku turun dulu menjemput dokter." ucap Gavin. Bella mengangguk. Kembali Gavin mengusap lembut kening Bella, juga menatapnya dengan sorot hangat.
Bik Nani yang menyaksikan itu, tersenyum simpul ***