NovelToon NovelToon
Sampai Cinta Menjawab

Sampai Cinta Menjawab

Status: sedang berlangsung
Genre:Angst / Penyesalan Suami / Percintaan Konglomerat / Nikah Kontrak
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: BYNK

Demi kabur dari perjodohan absurd yang dipaksakan oleh ayahnya, Azelia Nayara Putri Harrison nekat meminta bantuan dari seorang pria asing yang ditemuinya secara tidak sengaja di jalan.

Namun pria itu bukanlah orang biasa—Zevian Aldric Rayford Steel, pewaris utama keluarga Steel; sosok yang dingin, ambisius, arogan, dan… anehnya, terlalu cepat jatuh hati pada wanita asing yang baru ditemuinya.

Saat Zevian menawarkan pernikahan sebagai jalan keluar dari imbalan yang dia minta, Nayara menyetujuinya, dengan satu syarat: pernikahan kontrak selama 2400 jam.
Jika dalam waktu itu Zevian gagal membuat Nayara percaya pada cinta, maka semuanya harus berakhir.

Namun bagaimana jika justru cinta perlahan menjawab di tengah permainan waktu yang mereka ciptakan sendiri? Apakah Zevian akan berhasil sebelum kontrak pernikahan ini berakhir?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 13: Yakinkan aku

"Berhentilah bermain-main," ucap Zevian dengan suara rendah dan tajam, matanya menatap tajam ke arah Nayara yang seketika membeku, wajahnya pucat seperti pencuri yang ketahuan oleh pemilik rumah. Tubuh Nayara seolah kehilangan tenaga, tak berani bergerak sedikit pun.

••

Setelah terdiam cukup lama, dengan napas yang mulai memburu, Nayara memberontak. Ia menghentakkan tangan Zevian yang masih mencengkeramnya, suara gemas dan panik melebur dalam ucapannya.

"Bisa tidak jangan pegang-pegang!" serunya, nada kesal yang bercampur panik. Jantungnya berdebar kencang, campuran antara takut dan marah karena tanpa diduga harus berhadapan lagi dengan pria yang selama ini berusaha dia hindari. Zevian menatapnya dengan sebelah alis terangkat, ekspresi penuh tantangan yang membuat Nayara makin gelagapan.

"Mau ke mana? Menghindar lagi?" tanyanya dengan nada mengejek, seolah tahu betul bagaimana cara mengacaukan ketenangan Nayara.

"Tidak, siapa yang menghindar... aku baru saja datang! Anda jangan asal fitnah, ya, tuan!" jawab Nayara terbata-bata, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang merayapi pikirannya.

"Bukankah kemarin sudah saya bilang jangan pergi ke manapun? Kenapa masih nekat kabur dari rumah?!" suara Zevian terdengar dingin dan tegas, langkahnya maju selangkah hingga Nayara terdesak di badan mobil mewah miliknya. Tubuhnya menguatkan Nayara seolah menahan gerakannya, tatapan matanya menusuk tajam seperti sedang mengintrogasi wanita yang berani melawan itu.

"Aku punya hak untuk kebebasan, lagipula masih untung aku tidak melaporkan anda ke polisi untuk menangkap anda atas kasus penyekapan," balas Nayara dengan nada mengancam, suaranya bergetar tapi berusaha tegar. Namun, ia lupa siapa yang dihadapinya. Zevian justru memasang wajah datar, tanpa ekspresi, seakan tak terpengaruh oleh ancaman itu.

"Begitu? Mau lapor polisi? Sebentar." Zevian dengan tenang merogoh ponselnya, lalu menekan beberapa tombol sebelum menghubungi sebuah nomor. Saat panggilan tersambung, suaranya tetap dingin dan tegas.

"Saya Zevian Steel, ingin melaporkan jika saya menyekap seseorang dan korbannya ada di hadapan saya," ujarnya sambil menyodorkan ponsel itu ke arah Nayara, dengan senyum tipis yang penuh tantangan, seperti memberi kode, 'Silakan laporkan aku.'

"A... aku..." Nayara tergagap, rasa gugup dan takut mendadak menyergapnya, seolah keberaniannya lenyap saat harus berhadapan langsung dengan dominasi Zevian. Dari seberang telepon terdengar suara pegawai polisi yang mulai bertanya.

"Hallo pak... bagaimana..." Namun, tanpa sepatah kata balasan, Zevian segera menutup panggilan tersebut.

"Kenapa diam?" tanya Zevian dengan nada yang memaksa, membuat Nayara sedikit menunduk, bibirnya seperti tercekat, tak mampu menjawab.

"Bisa tidak kamu menjauh sedikit?" desak Nayara sambil mendorong tubuh Zevian, berusaha menciptakan jarak.

"Untuk apa menjauh? Ini posisi yang pas untuk..." ucap Zevian, namun ia menghentikan kalimatnya tiba-tiba, lalu perlahan mendekatkan wajahnya. Jarak mereka hanya beberapa sentimeter, hingga nafas hangat mereka terasa saling menyentuh, detak jantung keduanya bergema nyaring dalam keheningan.

Tanpa aba-aba, Zevian menekan bibir tipis dan seksi Nayara dengan ciuman yang cukup lama. Ciuman itu penuh intensitas, menguasai ruang dan waktu. Setelah beberapa detik, Zevian perlahan melepas ciumannya dan mengusap bibirnya dengan jari telunjuk, menatap Nayara dengan tatapan yang sulit diterjemahkan, campuran antara keinginan, penguasaan, dan rahasia yang belum terungkap.

"Kenapa kamu tak membalas?" Zevian menatap Nayara dengan senyum nakal yang penuh percaya diri, seolah sedang menikmati permainan yang hanya dia yang tahu aturan mainnya.

"Anda mengambilnya lagi, Tuan," balas Nayara dengan nada kesal, tangannya bergerak kasar mengusap bekas ciuman di bibirnya. Ini sudah dua kali pria itu merenggut ciuman darinya tanpa izin—bahkan yang pertama, yang seharusnya istimewa, juga diambilnya tanpa kompromi.

"Saya memang akan selalu mengambil apa yang menjadi milik saya," ujar Zevian dengan bangga, tanpa sedikit pun rasa bersalah terpancar di wajahnya yang dingin dan tegas.

"Dasar aneh! Sudahlah, menyingkir dari hadapanku!" bentak Nayara, nada suaranya keras dan penuh perlawanan, mencoba melawan dominasi yang dia rasakan tapi tetap terbungkam oleh aura kuat pria itu.

Kata-kata itu tak menyurutkan pandangan Zevian. Dalam hatinya, terdengar lirih, 'Kamu cantik, Nay.' Tatapannya tertambat pada wajah cantik Nayara yang kini dekat di hadapannya. Aneh, tapi di balik sikap keras dan siksa yang dia perlihatkan, ada ketenangan yang mengalir di dadanya. Gelisah yang mendera semalam lenyap begitu saja saat ia bisa merasakan kehadiran Nayara.

"Jika saya tidak mau?" Zevian mendekat lagi, matanya menyelam jauh ke dalam mata Nayara, menantang dan penuh arti.

"Aku tidak peduli," sahut Nayara dengan suara keras, kemudian mendorong tubuh kekar Zevian sekuat tenaga hingga pria itu terdorong sedikit ke belakang. Meski begitu, Zevian mengalah, membiarkan dirinya mundur sedikit—karena kalau tidak, mungkin Nayara tak akan sanggup menahan tubuhnya yang berotot dan kuat itu.

Tanpa menunggu lebih lama, Nayara berbalik dengan langkah kesal dan cepat menuju ke dalam villa, meninggalkan Zevian di belakang. Namun, sebelum dia benar-benar menjauh, tangan kuat itu meraih tangannya, menarik lembut namun tegas, seolah setengah menyeret Nayara kembali ke arah sofa yang tadi mereka duduki.

"Aku sudah bilang, jangan pegang-pegang! Apa Anda tidak paham juga?" tolak Nayara dengan tegas, sambil menghentakkan tangannya yang dipegang Zevian. Penolakan keras itu membuat pria itu menoleh ke belakang dan memandang tangannya sejenak dengan ekspresi datar yang sama dinginnya seperti es.

"Astaga, kenapa ekspresinya selalu begitu... menyeramkan sekali," gumam Nayara dalam hati, rasa takut dan kesal bercampur jadi satu, membuat jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya.

"Duduk!" perintah Zevian tegas, suaranya nyaris seperti komando yang tidak bisa ditawar. Matanya menatap tajam ke arah Nayara yang masih berdiri, menantang dan penuh dominasi. Zevian yakin, di balik tatapan dingin itu, Nayara pasti sedang mengumpatnya dalam hati, tapi dia sama sekali tak peduli.

Dengan langkah berat dan hati yang enggan, Nayara akhirnya duduk di samping Zevian. Kedua sosok itu kini terdiam, diam yang berat dan penuh ketegangan, seolah masing-masing tenggelam dalam labirin pikirannya sendiri, enggan memulai pembicaraan apa pun.

‘Dasar beruang kutub, tidak tahu malu! Dia pikir ini rumahnya apa? Seharusnya tuan rumah yang menyuruh duduk, bukannya dia,’ batin Nayara dengan kesal membara, menahan emosi yang ingin meledak.

"Saya ingin bicara, kali ini serius," akhirnya Zevian memecah keheningan, suaranya dingin tapi penuh tekad. Nayara menatapnya, dadanya berdebar tak menentu.

"Lebih cepat tuan bicara maka akan lebih baik. Aku tidak tahu apa salahku... aku mungkin memang berjasa pada Anda karena telah menumpang di mobil Anda, tapi aku rasa apa yang tuan lakukan ini sudah melanggar privasi dan sudah masuk pelecehan... sekarang, tuan bisa jelaskan sebenarnya apa yang tuan mau?" ucap Nayara, suaranya bergetar sedikit, tapi tekadnya ingin hidup tenang tanpa gangguan pria itu begitu kuat.

Zevian mengalihkan pandangan, lalu tanpa membalas ucapan Nayara, ia mengangkat tangan dengan sikap seolah memperkenalkan diri pada wanita yang duduk di sampingnya.

"Zevian Aldric Rayford Steel," ucapnya dingin, namun penuh wibawa. Nayara menatap tangan yang diulurkan itu, bingung dan sedikit was-was.

"Maaf?" tanyanya, mencoba memperjelas maksud Zevian yang tiba-tiba saja memperkenalkan diri.

"Kita belum berkenalan secara resmi. Hari ini, saya ingin menagih janji darimu," jawab Zevian tanpa sedikit pun senyum. Nayara menghela napas panjang, rasa bingung dan ketegangan menggerogoti hatinya. Dengan ragu, dia mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan pria itu, walau hatinya penuh tanya.

"Azelia Nayara Putri," jawabnya cepat, lalu buru-buru menarik tangannya kembali. Namun, sebelum sempat menjauh, Zevian dengan sigap menahan tangan Nayara.

"Harrison?" Zevian menggumam, sebuah nama yang seketika membuat Nayara terdiam. Pria ini selalu tahu hal-hal pribadinya, seolah membaca pikiran dan kehidupan Nayara, padahal mereka belum pernah bertemu sebelumnya.

"Sekarang, tuan jelas kan? Janji apa yang harus aku tepati? Setelah itu, aku mohon, berhentilah mendekatiku dan menjauhlah dari hidupku," ujar Nayara sambil menarik tangannya dengan tegas, kali ini berhasil melepaskan diri dari genggaman Zevian. Zevian menatapnya diam sejenak, lalu dengan suara datar yang terdengar seperti perintah halus, ia berkata.

"Bawakan saya minum, saya haus." Ia menyilangkan kakinya santai di sofa, sikapnya tetap tenang tapi penuh dominasi.

Nayara menghela napas panjang, menahan rasa enggan yang menggerogoti hatinya, lalu berdiri perlahan. Ia berjalan menuju dapur dengan langkah berat, menyimpan perasaan campur aduk antara kesal dan takut. Segelas air putih diambilnya, lalu kembali ke ruang tamu dan meletakkan gelas itu di atas meja dengan suara gesekan yang sedikit kasar.

"Sekarang, katakan," pinta Nayara lagi, nada suaranya sudah sedikit lebih tegas, mencoba menguasai situasi. Zevian menatap gelas itu, ekspresinya tetap dingin dan sedikit menyindir.

"Air putih? Untuk apa?" Tanya nya datar yang membuat Nayara mengerutkan kening, suaranya meninggi sedikit karena jengkel.

"Astaga, tadi bilang ingin minum, aku sudah bawakan, sekarang apalagi!?" Balas nya yang membuat Zevian tersenyum tipis penuh arti.

"Bawakan cocktail." Pinta nya.

"Tidak ada alkohol di sini, mau minum syukur tidak, yasudah," Nayara menutup pintu negosiasi dengan nada yang tak bisa ditawar. Rasa kesalnya semakin memuncak Zevian menatap Nayara dengan tatapan lekat yang menusuk, seolah menantang keberaniannya. Namun, tanpa kata lagi, ia mengambil gelas air putih itu, meneguknya perlahan, hanya sedikit saja, seolah mengulur waktu sebelum akhirnya mengucapkan kalimat yang membuat suasana jadi mencekam.

"Menikahlah dengan saya," ujar Zevian, suara datar dan penuh kepastian.

Nayara terdiam membeku, matanya membulat mencoba membaca emosi di wajah Zevian, tapi yang dia temukan hanyalah kekosongan yang dingin. Tidak ada cinta, tidak ada keraguan, hanya tatapan tanpa emosi yang membuat jantungnya bergetar dengan cara yang aneh dan tidak nyaman.

"Tidak," jawab Nayara dengan tegas, suaranya nyaris bergetar tapi penuh keteguhan.

Sejak kepergian sang ibu, ia memang sudah kehilangan kepercayaan pada laki-laki. Baginya, semua pria sama saja — pengkhianat yang hanya tahu memberi janji palsu. Bahkan ayahnya, yang seharusnya jadi pelindung, pun tak lebih dari bayangan yang tak bisa diandalkan. Meski banyak pria yang mendekatinya, berkata akan serius padanya, ia hanya menganggap itu omong kosong belaka — janji kosong dari orang-orang yang sekadar penasaran.

Apalagi Zevian, pria asing yang sama sekali tidak ia kenal, hanya pernah ditemuinya secara tak sengaja, kini berdiri di depannya dengan tuntutan yang tak masuk akal.

"Itu balas Budi yang harus kamu tepati," ujar Zevian dengan suara tenang tapi penuh tekanan, matanya menatap tajam ke arah Nayara, seolah menantang.

Nayara mengerutkan kening, dadanya berdebar tapi ia mencoba menahan diri. Dalam hati, ia membalas, Masih banyak cara untuk balas Budi, hal itu tidak sebanding dengan apa yang akan aku terima. Namun ia memilih diam, mencoba menyusun kata-kata yang tepat.

"Apa yang kamu inginkan?" tanya Zevian, suaranya lebih dalam, membuat Nayara terdiam sesaat, terpaku oleh tatapan yang seolah ingin mengupas isi hatinya.

"Tidak ada," jawab Nayara singkat, nada suaranya dingin dan tegas, berusaha menjaga jarak. Zevian menarik napas pelan lalu berkata.

"Saya sudah meminta baik-baik, jangan sampai saya berbuat lebih dari ini." Ujar nya yang membuat Nayara menatap lurus ke mata Zevian, menahan rasa takut yang coba merayap masuk.

"Aku bisa berikan apa pun, asal bukan dengan menikah. Anda orang asing, kita tidak saling kenal, dan aku tidak tahu maksud Anda sebenarnya. Jadi, aku mohon, minta hal lain untuk balas Budi." Ujarnya yang membuat wajah Zevian berubah menjadi senyum tipis penuh percaya diri, sorot matanya makin intens.

"Hanya itu yang saya minta. Dan apa yang saya inginkan selalu saya dapatkan, tanpa terkecuali. Memangnya kenapa kalau kita tidak saling kenal? Kita sudah berkenalan barusan." Ujar nya yang membuat Nayara mengangkat alis, sedikit heran dengan kepercayaan diri pria itu, lalu berkata dengan nada sedikit meledek.

"Aku pikir tuan sudah dewasa untuk mengerti semuanya. Pernikahan bukan permainan yang bisa Anda mainkan sesuka hati, datang saat ingin, pergi saat bosan." Ujar nya yang membuat Zevian tersenyum lebar, senyum yang membuat hati Nayara bergetar aneh.

"Itu benar. Dan saya tidak main-main," jawab Zevian sambil menatap tajam, kemudian perlahan memangkas jarak antara mereka. Mata Nayara kini hanya beberapa inci dari bola mata Zevian yang berkilauan tajam—seolah mengundang dan menantang sekaligus.

"Apa yang perlu saya buktikan untuk keseriusan saya?" ujar Zevian dengan suara rendah, sorot matanya tidak ada keraguan sedikit pun. Di dalam hatinya sendiri, ia bingung mengapa sampai berani melakukan ini pada seorang wanita asing yang ditemuinya secara kebetulan. Tapi nasihat Aditya kemarin terus bergema, mendorongnya untuk membuka hatinya lagi. Mungkin benar, bukan semua wanita sama seperti mantan kekasihnya dulu.

"Yakinkan aku jika tidak semua pria itu sama. Yakinkan aku jika pria tidak akan berubah meskipun waktu telah banyak berlalu. Yakinkan aku jika pria tidak akan mencari hal baru ketika dia bosan. Yakinkan aku jika pria bisa setia pada satu wanita. Yakinkan aku, maka akan aku serahkan seluruh hidupku untuk menjadi istri mu," ujar Nayara dengan suara bergetar tapi penuh tekad, matanya menatap dalam ke arah pria di hadapannya.

Entah kenapa, kali ini dia berani melangkah sejauh ini, padahal sejak awal dia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak berdekatan dengan pria manapun. Namun, dengan pria ini, ada daya tarik yang aneh—seperti magnet yang sulit ditolak. Meski hatinya masih dipenuhi keraguan dan bingung bagaimana seseorang bisa langsung bicara soal keseriusan dalam waktu sesingkat ini, Nayara ingin mencoba. Dia ingin membuktikan bahwa mungkin ada pria yang benar-benar berbeda dari pandangannya selama ini.

“Ti sposerò, Nayara, (Aku akan menikahi mu, Nayara,)" ucap Zevian dengan wajah serius, nada suaranya rendah dan mantap.

Nayara mengerutkan keningnya, mencoba memahami kata-kata yang baru saja keluar dari mulut Zevian. Ia tidak mengerti maksud sebenarnya karena pria itu berbicara dalam bahasa Italia. Zevian memang memiliki darah keturunan Italia dari sang ayah, Vincenzo, pria kelahiran Italia yang menikah dengan Indira, ibunya yang lahir dan besar di Jakarta. Jadi, Zevian menguasai banyak hal tentang kehidupan orang Italia, mulai dari bahasa hingga budaya.

Melihat raut bingung di wajah Nayara, Zevian justru tersenyum kecil, ekspresi yang membuat Nayara tertegun. Sejak pertama kali mereka bertemu, dia belum pernah melihat pria itu tersenyum—wajah Zevian selama ini selalu datar, tanpa ekspresi.

"Aku tidak mengerti," ujar Nayara lirih, memohon penjelasan.

"Saya akan membuktikannya. Saya akan meyakinkanmu... tapi kamu juga harus bisa meyakinkan hal yang sama. Sepertinya kita punya masa lalu yang cukup rumit," jawab Zevian dengan suara yang lembut namun tegas.

Jawaban itu membuat hati Nayara berdebar dan kagum. Dia tidak menyangka Zevian akan berkata seperti itu. Di pikirannya, pria seperti Zevian hanya akan mengiyakan tanpa berkomitmen lebih, seperti kebanyakan laki-laki lain. Namun, Zevian tidak hanya mengiyakan—dia juga meminta dirinya sendiri melakukan hal yang sama, menunjukkan keseriusan yang berbeda.

"Dia berbeda," batin Nayara dalam hati, matanya masih terpaku pada tatapan Zevian yang menembus ke dalam jiwanya.

"Saya tidak ingin disebut omong kosong, tapi saya akan pastikan kita akan menikah. Saya yakin bisa meyakinkan kegelisahanmu itu," ujar Zevian lagi, suaranya dipenuhi keyakinan yang membuat Nayara sedikit merasa hangat di dalam dadanya.

"Mungkin kita perlu bicara lebih banyak dulu, Tuan. Pernikahan bukan hal yang bisa dilakukan dengan mudah. Ini tentang tanggung jawab jangka panjang, dan aku tidak mau menyesal kemudian karena salah memilih," ujar Nayara dengan suara mantap, matanya menatap Zevian serius, menunjukkan ketegasan sekaligus keraguan yang masih tersimpan di dalam hatinya. Zevian mengangguk pelan, menanggapi kalimat itu dengan penuh pengertian, meskipun sorot matanya tetap memancarkan tekad yang kuat.

"Sore ini kita kembali ke Jakarta. Saya ingin memperkenalkanmu pada seluruh keluarga saya," kata Zevian lagi, suaranya terdengar tegas namun hangat.

"Hah? Keluarga?" Tanya Nayara, alisnya mengerut karena belum mengerti maksud sebenarnya di balik ajakan itu.

"Itu salah satu cara agar kita bisa cepat saling mengenal. Saya harap kamu tidak banyak menolak, karena jika kamu tetap menolak, mungkin saya juga akan memakai cara lain. Percayalah, saya tidak pernah sesabar ini saat bicara dengan seseorang," ujar Zevian dengan nada serius yang membuat Nayara seketika melongo.

Entah kenapa, kepribadian Zevian terasa sulit ditebak. Beberapa saat lalu, dia terdengar seperti pria bijaksana yang benar-benar bersungguh-sungguh, namun kini, sikapnya berubah seperti remaja labil yang penuh obsesi. Nayara menarik napas dalam-dalam, lalu memilih untuk mengakhiri pembicaraan itu.

"Anda bisa beristirahat di kamar tamu, Tuan. Aku butuh waktu sendiri dulu," katanya sambil berbalik dan berjalan meninggalkan Zevian yang masih duduk tenang di sofa. Zevian hanya tersenyum tipis, lalu menyandarkan kepala di sofa. Matanya menatap langit-langit ruangan, memikirkan persiapan orang tuanya yang sudah berjalan untuk pernikahannya.

"Dia sangat menarik, berbeda dengan wanita lain... Apapun itu, aku pastikan dia akan menjadi milikku," bisik Zevian dalam hati penuh keyakinan. Sikap Nayara yang acuh tak acuh justru membuatnya semakin penasaran, berbeda jauh dengan wanita lain yang rela melakukan apapun demi mendekat padanya.

Sementara itu, Nayara yang telah sampai di kamar langsung menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang empuk berbalut seprai putih gading. Kepalanya menengadah ke langit-langit untuk beberapa saat, sebelum akhirnya ia memalingkan pandangan ke arah balkon kaca yang setengah terbuka, membiarkan angin senja masuk perlahan membelai wajahnya.

Namun, pandangannya segera kembali terfokus ke depan. Di sana, sebuah foto sang ibu terpajang jelas di dinding kokoh berwarna krem. Bingkai kayu tua itu tampak sedikit pudar, tapi tidak mengurangi kekuatan ekspresi dalam gambar itu—sosok wanita yang selalu menjadi sumber kekuatannya. Tatapan sang ibu di foto itu seolah hidup, menatap langsung ke dalam mata Nayara, membuat hatinya mencelos tanpa peringatan.

"Mah, apa yang harus aku lakukan?" lirih Nayara, suaranya gemetar seperti bisikan yang rapuh. Tanpa sadar, air matanya mengalir begitu saja, menuruni pipi pucatnya.

Ia menangis... menangis dalam diam, membiarkan kenangan-kenangan kelam di masa lalunya kembali menyeruak seperti duri yang mencabik pelan-pelan. Luka yang belum sembuh, meski waktu telah berlalu bertahun-tahun. Bayangan masa lalu itu masih membekas, menjebaknya dalam labirin penuh rasa takut dan trauma.

Matanya semakin berat. Nafasnya bergetar. Karena kelelahan, tangisannya pun mulai mereda, tergantikan dengan keheningan yang sunyi. Tanpa ia sadari, kesadarannya perlahan memudar. Tubuhnya tertidur dalam pelukan malam, sementara alam bawah sadarnya mengambil alih, menenggelamkan dirinya dalam kelelahan yang membuncah.

 

Di kamar tamu, Zevian berdiri membelakangi ruangan, menatap jendela kaca tinggi yang menyajikan pemandangan langit jingga. Cahaya matahari sore terakhir menyorot wajahnya yang serius. Kedua tangannya berada di saku celana, dan napasnya terdengar berat saat ia menghembuskannya perlahan.

Ucapan Nayara tadi terus terputar di pikirannya. Ia tahu, ajakannya terdengar tidak masuk akal. Menikahi seorang wanita yang baru beberapa hari dikenalnya? Bahkan bagi dirinya sendiri itu terdengar gila. Tapi perasaan aneh yang muncul sejak pertama kali ia melihat Nayara di jalan malam itu... tak bisa lagi ia bantah.

Ada sesuatu yang membuatnya terus tertarik pada wanita itu—bukan hanya wajahnya, bukan sekadar pesona yang kasat mata—tetapi sesuatu yang lebih dalam, lebih mendalam dari sekadar ketertarikan biasa. Seolah pintu hatinya, yang selama ini ia tutup rapat dan ia kunci mati, tiba-tiba terbuka begitu saja, seakan memang disiapkan untuk Nayara.

"Aku akan mendapatkanmu dengan cara apa pun. Tidak peduli itu lembut... atau jika perlu, kasar... mungkin aku juga akan melakukannya," gumam Zevian lirih, tatapannya kosong menerobos keluar jendela, menatap cakrawala yang mulai kehilangan cahaya.

Wajahnya datar, tapi matanya menyimpan tekad yang tak bisa digoyahkan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!