Tidak ada sugarbaby yang berakhir dengan pernikahan.
Namun, Maira berhasil membuktikan bahwa cinta yang tulus kepada seorang pria matang bernama Barata Yuda akhirnya sampai pada pernikahan yang indah dan sempurna tidak sekedar permainan di atas ranjang.
"Jangan pernah jatuh cinta padaku, sebab bagiku kita hanya partner di atas tempat tidur," kata Bara suatu hari kepada Maira. Tai justru dialah yang lebih dulu tergila-gila pada gadis ranum itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon julies, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Surrender
Maira memandang bunga-bunga indah di sekitar rumahnya yang mungil. Harum wangi bunga-bunga itu menyeruak ke indera penciumannya. Maira berdiri, menghirup udara sejuk. Ia menatap pepohonan, rumah itu berada di kaki bukit. Mungil namun sangat terawat. Sudah lima bulan ini ia tinggal di sana. Menghindari dari segala luka. Tinggal sendirian dengan nyaman. Setiap seminggu sekali, akan ada bibi yang datang mengunjunginya dan membawa bahan stok makanan. Bibi?
Ya, Maira telah berdamai dengan mereka. Bara telah mewujudkan semuanya tanpa Maira ketahui. Ia ingat saat itu ketika ia pulang ke Surabaya, ia kembali ke rumahnya, ia sudah bertekad akan merebut sendiri haknya tanpa bantuan Bara. Namun, saat ia membuka pintu, yang ia temukan adalah tiga orang yang sedang berlutut dihadapannya.
"Maira, akhirnya kau pulang." Bibi menghambur, memeluk Maira dengan mata yang menggenang, kemudian ia berlutut lagi.
"Ada apa ini?" Maira mundur, takut ini hanya taktik licik bibi.
"Maira, demi Tuhan kami menyesal. Kami akan mengembalikan semuanya padamu. Kami sudah berjanji pada Tuan Bara untuk mengembalikan semuanya padamu. Kami telah menunggumu sejak lama. Dan kematian nenek, itu karena kelalaianku Maira, ia terjatuh saat asmanya kambuh. Aku tidak sengaja membuang obatnya waktu itu Maira. Ia kehabisan nafas, aku benar-benar tidak sengaja. Tolong, jangan penjarakan bibi. Tolong, ambil lah hartamu lagi Maira, bibi tidak akan jahat padamu lagi." Bibi memeluk kaki Maira erat. Maira bingung harus melakukan apa. Ia tercekat, tak menyangka Bara benar akan membantunya.
"Maafkan kami, Maira, tolong katakan pada tuan Bara, kami tidak akan jahat padamu lagi." Kali ini suara paman yang terdengar. Rani hanya diam, tidak berani memandang Maira.
Maira berlutut, ia memegang pundak bibi lalu memeluk bibi dengan airmata yang sudah mengalir.
"Sudahlah, Bi, aku... aku sudah memaafkan kalian. Maaf aku juga sempat berfikir kalian telah membunuh nenek." Suara Maira bergetar. Bibi memeluknya erat.
"Maira terima kasih, budimu begitu luhur, kau masih mau memaafkan kami setelah perlakuan jahat kami padamu dulu. Maira, kembalilah ke rumah ini, bibi telah mengembalikan aset kepadamu, semuanya ada dalam surat yang telah ditanda tangani materai. Kami akan pergi dari rumah ini, tidak akan membawa apapun, sesuai perjanjian dengan tuan Bara waktu itu jika kau telah kembali," ujar bibi dengan menatap Maira.
"Tidak l, Bi, kalian tetap tinggal lah di sini. Sekarang aku butuh bantuan kalian," ujar Maira sambil berbalik.
"Kenapa, Mai? Kami benar telah mengembalikan semua ini padamu, kau tidak percaya?" Bibi mendekati Maira, berusaha meyakinkan keponakannya itu.
"Aku tidak peduli pada semua ini lagi, Bi. Aku hanya ingin menyelamatkan hidupku sekarang."
"Apa maksudmu, Maira? Bibi benar-benar tidak mengerti."
"Sembunyikan aku dari tuan Bara, Bi."
Bibi menatap Maira tercengang, dia bingung.
"Apa yang terjadi, Mai?"
"Aku tidak mau tuan Bara menguasaiku lagi, Bi. Sembunyikanlah aku ke tempat yang jauh. Jika ia atau orang-orangnya datang, berlagaklah seolah aku belum kembali," jawab Maira bergetar tapi penuh dengan keyakinan.
"Kau yakin?" Bibi memandangnya ragu.
Maira mengangguk mantap. Mereka harus bergerak cepat!
Dan sore itu juga, mereka membawa Maira ke sebuah daerah perbukitan. Jauh dari rumah penduduk. Mereka membeli rumah itu dari seorang tuan tanah, cukup terpencil, dikeliling hutan juga bebatuan terjal. Suasana asing juga aroma misteri begitu kuat dan kental dan semua berjalan cepat juga terburu-buru.
Bibi akan datang setiap seminggu sekali untuk mengunjungi Maira, membawakan persediaan makanan untuknya juga mengajaknya bercengkrama.
"Kau yakin ingin tinggal di sini sendirian, Maira?" tanya bibi khawatir.
"Iya, Bi, tidak ada yang perlu dikhawatirkan," sahut Maira sambil tersenyum kecil. ''Ingat ya, Bi, jangan pernah memberi tahu keberadaanku pada tuan Bara juga orang-orangnya. Berlagaklah, seolah aku memang belum kembali." Maira menggenggam jemari bibi. Terasa dingin tangan mereka kena angin bukit. Bibi mengangguk, ada airmata menggenang di mata mereka.
Maira menatap bukit yang berkabut itu dengan mata yang sudah berkaca-kaca kala ia mengingat itu semua. Bara, betapa Maira sangat merindukannya. Setiap hari menahan pilu ingin bertemu. Terasa hasrat kala teringat pertama kali mereka bercumbu.
Tapi, Maira tidak mau lagi terjerat. Bara tidak boleh lagi menguasainya. Meski Maira sangat merindukannya, ia akan membiarkan dirinya tersiksa. Jika hanya itu pilihannya.
"Bee, jika aku bisa mengulang waktu, aku ingin bertemu denganmu jauh sebelum ini."
Ingatan Maira kembali, saat Bara sedang berada di villa bersamanya.
"Aku pasti masih sangat kecil waktu itu, Mas Bara." Maira tertawa.
"Tak apa, kalau kau memang masih kecil aku akan mengikatmu dalam cincin pertunangan dulu," jawab Bara sambil membelai rambut Maira.
"Saat itu pasti aku sedang lucu-lucunya," celetuk Maira.
"Ya, kau pasti sangat cerewet juga," balas Bara cepat.
"Mas Bara menyebalkan!" kata Maira sambil mengerucutkan bibir.
"Tapi kau suka," balas Bara lagi.
Maira menghapus airmatanya lagi, kenangan Bara teramat banyak meski perkenalan mereka cukup singkat.
Tidak mudah bagiku untuk melupakanmu, Mas. Kau teramat berarti bagiku. Tapi, lebih baik kita memang tidak usah bertemu lagi. Sebab, aku tidak ingin kita sama-sama terluka lebih dalam lagi.
Kalau boleh mengulang waktu, aku tidak akan mau menerima tawaran nyonya Debora waktu itu. Sebab awalnya, aku kira aku hanya akan menjalani peran sebagai teman tidurmu saja, namun yang terjadi malah tidak terduga. Cinta datang tiba-tiba. Menghantam begitu besar dinding pertahananku.
Kau kira aku tidak berusaha mengusir perasaan ini? Kau saja yang tidak tahu, betapa susah payah aku berusaha membunuh setiap putik cinta yang tumbuh. Tapi, semakin aku berusaha membunuhnya, maka cinta malah semakin kuat mencengkramku dalam segala luka.
Mas, bagiku kau luka sekaligus penyembuh yang aku suka. Semoga kau baik-baik saja ya tanpa aku. Seharusnya memang begitu, bukan?
Maira membatin di dalam hati. Menceritakan segala duka nestapa pada angin bukit. Terasa dingin, seperti hatinya saat ini.
Maira melangkah, masuk ke dalam rumah mungil penuh bunga itu. Ia menghidupkan lampu, agar suasana sepi tidak terlalu menakutkan kala gelap menyapa. Senja ini adalah senja kesekian yang menyaksikan lukanya terus menganga. Tidak ada obat, selain waktu yang mungkin akan mempertemukan lagi mereka kelak.
Suara ketukan pintu terdengar, Maira kembali beranjak. Tidak mungkin bibi datang. Ini belum waktunya ia berkunjung. Maira membuka pintu, mendapati seorang lelaki sederhana sedang berdiri dengan sesuatu di tangannya. Maira tersenyum, selain bibi, ada satu orang lagi yang tahu tempat ini.
"Mas Arya, silahkan masuk." Maira mempersilahkan Arya duduk di ruang tamu. Lelaki yang sudah tiga bulan ini dekat dengannya, kerap membawakannya makanan. Lelaki yang tak sengaja bertemu dengannya saat ia sedang berbelanja buah di pasar. Lelaki yang juga menaruh hati padanya. Lelaki yang belum tahu cerita apa yang membuat Maira akhirnya berada di tempat terpencil dan tersembunyi ini.
untungnya Kevin mati....kl ngga perang Baratayudha beneran
Tuhan pasti memberikan kebaikan yg terbaik dibalik kejadian yg menimpa kita.
teruslah berpikir positif atas segala kejadian.
memang tdk mudah...
semangat kak💪
othor keceh comeback again, apa kabare si Beben kak??????😂😂
masi kah pake pempers?????
ada notif langsung gassss.....
apa kabar mak, moga mak Julie yg cantik mem bahenol selalu sehat2 dan lancar semuanya Aamiin🤲
biar semangat up nya...🥰🥰🥰