NovelToon NovelToon
Bayangan Si Cupu Tampan

Bayangan Si Cupu Tampan

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen School/College / Kehidupan di Sekolah/Kampus
Popularitas:6.1k
Nilai: 5
Nama Author: Ahmad Taufik

Di balik kacamata tebal, kemeja kusut, dan sepatu bolongnya, Raka Arya Pratama terlihat seperti mahasiswa paling cupu di kampus. Ia dijauhi, dibully, bahkan jadi bahan lelucon setiap hari di Universitas Nasional Jakarta. Tidak ada yang mau berteman dengannya. Tidak ada yang peduli pada dirinya.

Tapi tak ada yang tahu, Raka bukanlah mahasiswa biasa.

Di balik penampilan lusuh itu tersembunyi wajah tampan, otak jenius, dan identitas rahasia: anggota Unit Operasi Khusus Cyber Nusantara,

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Taufik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Panggilan telepon

Sepanjang perjalanan, tak satu kata pun terucap.

Hanya suara mesin dan hembusan AC yang mengisi kabin.

Raka menatap lurus ke depan. Wajahnya tidak lagi dibuat culun, tapi pikirannya sibuk.

“Gue udah terlalu terbuka di depan dia... Gimana kalau dia curiga?”

Di sisi lain, Cheviolla menatap jendela. Tatapannya tajam, kosong.

“Tadi dia melempar dua piring secara akurat, gerakannya cepat… seperti bukan anak kampus biasa. Tapi di kampus dia selalu terlihat paling cupu. Untuk apa dia menyembunyikan kemampuannya? Apa yang dia sembunyikan sebenarnya…”

Mobil berhenti di pelataran sebuah gedung apartemen elite di pusat kota.

Cheviolla mengernyit.

Pandangan matanya naik menatap nama bangunan itu—salah satu apartemen mewah yang hanya bisa diakses dengan kartu akses.

Sebelum ia sempat bertanya, Raka sudah lebih dulu melepas seatbelt dan membuka pintu.

Tanpa menoleh, ia turun begitu saja dari mobil dan melangkah cepat.

Namun beberapa langkah kemudian, ia menoleh sambil melambai dan berseru santai,

"Sampai jumpa! Terima kasih tumpangannya!"

Ia menyeringai, suaranya sedikit lebih serius kali ini,

"Tolong... rahasiakan soal kejadian di kafe tadi."

Tanpa menunggu jawaban, ia pun berjalan masuk ke dalam gedung apartemen, meninggalkan Cheviolla yang masih terpaku.

Hening.

Beberapa detik kemudian, ia menghela napas panjang, lalu berpindah ke kursi pengemudi.

Dengan satu putaran kunci, mesin kembali menyala. Ia menarik nafas dalam-dalam, lalu melajukan mobil perlahan meninggalkan pelataran.

Namun pikirannya tak tenang.

"Hari ini... benar-benar aneh."

"Dia melempar piring seperti profesional, menendang pistol, gerakannya cepat dan presisi... tapi di kampus, selalu menunduk, pakai kacamata tebal, jalan pun seperti takut dilihat orang."

Matanya menatap jalanan yang terus mengalir di balik kaca depan, namun pikirannya tertinggal di momen tadi.

"Kenapa dia memilih bersembunyi di balik kacamata culun?"

"Kalau dia bisa sekuat itu... kenapa tidak jadi dirinya sendiri?"

Suara klakson dari mobil di belakang menyadarkannya sejenak, tapi hanya sebentar.

Kebingungan masih bergelayut di benaknya, dan ia tahu… hari ini hanyalah awal dari pertanyaannya tentang Raka, si mahasiswa culun yang ternyata… bukan sembarang culun.

Pintu apartemen tertutup. Suasana sunyi menyambutnya. Langkahnya bergema di lantai marmer, lalu terhenti di depan jendela besar yang menghadap gemerlap kota.

Ia meletakkan jaketnya sembarangan ke sofa, lalu menjatuhkan tubuh. Baru saja ingin memejamkan mata…

Ponselnya berdering.

Nama di layar membuatnya menegang sesaat.

"Mama"

Ia segera mengangkat.

"Hallo, Ma."

> “Raka… kamu baik-baik saja, Nak?”

Suara lembut itu mengalir pelan, namun membawa tekanan yang tak terlihat oleh siapa pun.

"Baik, Ma. Ada apa?"

> “Mama kangen. Besok weekend, pulanglah ke Surabaya sebentar. Papa juga ingin bicara langsung.”

Raka terdiam sesaat. Bukan karena ia ragu. Tapi karena panggilan itu tak pernah datang tanpa alasan besar.

Apalagi... dari Papa.

"Baik, Ma. Aku pulang besok pagi."

> “Mama tunggu. Hati-hati, ya.”

Sambungan terputus. Namun kegelisahan justru mulai datang.

Raka Arya Pratama—mahasiswa "biasa", tampil culun dan tertutup di kampus. Tak pernah menarik perhatian, kecuali saat insiden hari ini dengan Cheviolla.

Namun siapa sangka…

Di balik sosok cupunya, tersembunyi pewaris kekaisaran ekonomi Asia. Ayahnya bukan sekadar kaya raya. Tapi penguasa di balik pergerakan ekonomi berbagai negara—pemegang saham utama perusahaan-perusahaan raksasa multinasional, bank sentral swasta, bahkan pabrik-pabrik senjata dan energi.

Namun tak ada media yang berani mengusik, tak ada data yang bisa ditemukan, karena nama keluarganya selalu berada di balik layar.

Bahkan nama "Raka Arya Pratama" bukan nama aslinya.

Dan sejak umur 12 tahun, Raka telah menjalani pelatihan brutal di akademi militer elit dunia—bukan akademi biasa, tapi akademi rahasia tempat dilatihnya para pewaris dinasti, penerus negara bayangan, dan pemimpin dunia masa depan.

Dia ditempa sebagai komandan, sebagai senjata, sebagai pemimpin.

Hingga kini.

Misi terakhirnya…

Adalah hidup sebagai mahasiswa biasa. Menyusup ke universitas sebagai mata-mata, mengamati pergerakan tertentu, dan menyelidiki target yang bahkan pemerintah tak menyadarinya.

Dan begitu misi itu selesai…

Ia akan pensiun dari dunia bayangan, dan mengambil posisi barunya sebagai tuan muda keluarga Arya, pengendali ekonomi benua.

Raka berdiri. Menatap bayangan dirinya di kaca. Kali ini tanpa poni, tanpa kacamata, tanpa baju kebesaran yang biasa ia pakai untuk menyamar.

Wajah asli itu kini terlihat—tegas, tenang, penuh aura tak terbantahkan.

Raka melangkah ke kamar dalam diam. Setiap gerakannya efisien, terlatih. Ia membuka laci tersembunyi di balik lemari, memindai retina untuk membuka kunci pengaman. Sebuah terminal komunikasi rahasia menyala.

[ID Terkonfirmasi. Komunikasi Aman Dibuka.]

Ia mengenakan earpiece khusus, lalu menekan tombol transmisi.

> “Kode: R-12, melapor.”

Suara berat dan dalam segera menjawab, jernih namun terasa dingin.

“Diterima. Laporkan situasi.”

“Target observasi utama belum menunjukkan anomali besar, namun interaksi tidak terduga terjadi dengan individu yang kemungkinan berafiliasi dengan pihak luar. Permintaan izin untuk menunda misi sementara.”

“Alasan?”

“Perintah keluarga. Saya diminta kembali ke Surabaya. Akan melanjutkan misi dalam waktu dua kali dua puluh empat jam.”

Hening beberapa detik.

Lalu suara itu kembali, lebih tenang.

“Izin diturunkan. Jangan lupa, kau bukan hanya pewaris keluarga Arya—kau juga aset strategis kami. Jangan tinggalkan celah.”

Raka menunduk sedikit.

“Siap.”

[Komunikasi Ditutup]

Ia melepas earpiece itu, lalu mengemasi barang-barang yang diperlukan. Paspor, beberapa kartu akses, dan satu senjata kecil yang disembunyikan dalam tempat charger ponsel.

Dari luar, dia hanya akan terlihat seperti mahasiswa biasa yang hendak pulang liburan.

Tak ada yang tahu, dalam tubuh itu bersemayam warisan kekuatan dunia bawah dan kekayaan lintas negara.

Raka berdiri di depan cermin lagi. Kali ini, ia menarik napas.

“Surabaya, ya… Udah lama banget.”

Ia tersenyum tipis, lalu menutup koper.

Suasana bandara sore itu cukup ramai, tapi pria muda yang duduk tenang di kursi ruang tunggu keberangkatan justru menarik perhatian beberapa orang yang lewat.

Tingginya menjulang, postur tegap seperti prajurit, dengan wajah tampan yang dihiasi sorot mata hazel jernih—terlalu mencolok untuk disebut mahasiswa biasa, terlalu menawan untuk disangka rakyat biasa.

Raka Arya Pratama.

Ia duduk diam dengan ransel hitam polos di samping kursinya. Hoodie abu tua dan celana denim sederhana yang ia kenakan hanya sedikit menutupi aura tenang tapi berwibawa yang memancar alami dari dirinya.

Ia menatap layar digital di dinding.

“Penerbangan ke Surabaya – 17.20 – Boarding dalam 15 menit.”

Sebenarnya, tadi siang ia hendak membeli tiket ekonomi. Sudah terbiasa sederhana, dan ia tak suka menonjol. Tapi tak sampai satu menit setelah membuka aplikasi, manajer pribadi ibunya langsung mengirim pesan:

> “Business class. Sudah dibayar. Duduk manis. Jangan debat sama Mama kamu.”

Raka hanya bisa tertawa kecil saat membaca pesan itu.

Ibunya memang selalu begitu… perhatian, protektif, dan sedikit keras kepala jika menyangkut dirinya.

Tadi pagi, suara lembut sang ibu terdengar di ujung telepon.

> “Nak, pulanglah sebentar. Mama kangen… Besok akhir pekan, kuliahmu juga libur, kan?”

Dan seperti biasa… permintaan itu bukan sekadar ajakan. Itu perintah halus yang selalu ia turuti.

1
Suyono Suratman
mantap
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!