Naya, gadis kaya raya yang terkenal dengan sikap bar-bar dan pembangkangnya, selalu berhasil membuat para dosen di kampus kewalahan. Hidupnya nyaris sempurna—dikelilingi kemewahan, teman-teman yang mendukung, dan kebebasan yang nyaris tak terbatas. Namun segalanya berubah ketika satu nama baru muncul di daftar dosennya: Alvan Pratama, M.Pd—dosen killer yang dikenal dingin, perfeksionis, dan anti kompromi.
Alvan baru beberapa minggu mengajar di kampus, namun reputasinya langsung menjulang: tidak bisa disogok nilai, galak, dan terkenal dengan prinsip ketat. Sayangnya, bagi Naya, Alvan lebih dari sekadar dosen killer. Ia adalah pria yang tiba-tiba dijodohkan dengannya oleh orang tua mereka karna sebuah kesepakatan masa lalu yang dibuat oleh kedua orang tua mereka.
Naya menolak. Alvan pun tak sudi. Tapi demi menjaga nama baik keluarga dan hutang budi masa lalu, keduanya dipaksa menikah dalam diam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Pagi itu, rumah megah keluarga Firman terasa lebih lengang dari biasanya. Tak ada suara tawa keras Naya, tak ada derap langkah gadis itu yang sering mengganggu ketenangan rumah.
Bu Mita sedang bersenandung kecil di dalam kamar lama milik Naya. Tapi kali ini bukan lemari Naya yang ia buka, melainkan lemari pakaian mantan istri firman yang sengaja disimpan oleh Naya.
Tangannya mengelus gaun-gaun klasik dengan bahan mahal dan motif elegan. Ia mengangkat satu per satu, menempelkan ke tubuhnya sambil berkaca.
“Hmm... yang ini bagus juga ya dipakai makan malam nanti…”
Ia melepas daster dan mulai mencoba salah satu gaun. Wajahnya penuh kepuasan. Seolah lemari itu adalah miliknya sepenuhnya.
“Akhirnya… setelah bertahun-tahun, kamar ini bisa benar-benar jadi milik sah penghuni rumah,” gumamnya puas.
Namun saat sedang memutar badan di depan cermin, suara berat Pak Firman terdengar dari ambang pintu.
“Mita.”
Suara itu tegas dan membuat Bu Mita tersentak.
Ia buru-buru merapikan gaun, tapi tetap berdiri di depan cermin dengan senyum kaku.
> “Sayang, kamu kagetin aku aja. Aku cuma iseng nyoba—”
“Keluar dari kamar ini,” ucap Pak Firman tajam.
Bu Mita mematung.
“Kamu tahu jika Naya tidak akan pernah suka melihat mu menyentuh barang barang mamanya.”
“Tapi dia sudah meninggalmu mas,Kamu juga sudah menikah sama aku. Wajar kan kalau—”
“Tidak ada yang wajar dari memakai pakaian bekas istri dari suami mu ini mita, Apalagi hubungan kalian tidak pernah baik".
Wajah Bu Mita menegang, lalu berubah jadi senyum getir.
“Oh… jadi sampai sekarang kamu masih belum bisa benar-benar lupakan dia?”
Pak Firman tidak menjawab. Tapi sorot matanya sudah cukup memberi jawaban.
“Aku nggak mau lihat kamu di kamar ini lagi, apalagi mencoba-coba baju dia,” lanjutnya sambil berbalik pergi.
Bu Mita menggigit bibir. Matanya memancarkan kemarahan. Tapi seperti biasa, di depan Pak Firman ia hanya menunduk dan pura-pura patuh.
Begitu pintu ditutup, ia menatap bayangannya sendiri di cermin dan mendesis.
“Suatu hari, semua ini akan jadi milikku. Dan tidak ada satu pun yang bisa melarang aku menyentuh apa pun di rumah ini.”
Sementara itu dirumah alvan, Terlihat bahwa Naya sedang berbaring dikamar sambil scroll scroll toktok sementara alvan yang duduk disofa sendiri sibuk dengan layar laptop.
Sekilah Alvan melihat naya yang sedang berbaring dan bermalas-malasan.
"Dari pada kamu hanya rebahan dan scroll toktok yang tidak ada manfaatnya sebaiknya kamu belajar,ingat kamu sebentar lagi akan melakukan skripsi jangan sampai kamu tidak lulus tahun ini"
__
Siang hari yang terik menyelinap masuk lewat tirai yang setengah tertutup.
Naya tergeletak santai di atas ranjang. Earphone menempel di telinga, jemarinya lincah menggulir layar ponsel yang penuh video TikTok—dari dance challenge sampai tutorial skincare.
Sesekali ia tertawa kecil, sesekali memiringkan badan, lalu kembali ke posisi tengkurap.
Di sisi lain ruangan, Alvan duduk di sofa dengan laptop di pangkuan. Tatapannya fokus, jari-jarinya sibuk mengetik, sampai akhirnya… ia menoleh sekilas ke arah Naya.
Matanya menyipit.
“Dari pada kamu hanya rebahan dan scroll TikTok yang tidak ada manfaatnya, sebaiknya kamu belajar.”
Naya membuka sebelah earphone-nya, menatap malas.
“Lagi istirahat.”
“Istirahat apa nya? Kamu bahkan belum mulai apa-apa sejak tadi pagi.”
Naya menatap kosong sejenak, lalu mengangkat bahu.
“Lagi ngumpulin mood, Pak Suami.”
Alvan menghela napas dan menutup laptopnya perlahan.
“Ingat, kamu sebentar lagi skripsi. Jangan sampai kamu tidak lulus tahun ini hanya karena terlalu sibuk main HP dan berpura-pura jadi ‘healing princess’.”
Naya langsung duduk dan memasang wajah kesal.
“Saya tahu! Saya nggak bego juga. Lagian siapa juga yang ngajarin skripsi sambil masam-masam gitu mukanya?”
“Lebih baik masam tapi lulus, daripada santai tapi kena DO.”
Naya berdiri, mengambil bantal kecil dan melempar ke arah Alvan.
“Kenapa sih kamu selalu kayak... dosen?”
“Karena memang aku dosen, dan kamu mahasiswa. Dan sekarang kamu istri dari dosen yang sama. Kombo nasib yang langka.”
Naya mendengus.
Ia lalu berjalan ke meja, membuka buku tebal yang sebelumnya cuma jadi pajangan.
“Oke. Lihat nih. Aku buka buku. Biar kamu diam.”
“Bagus. Minimal kamu sadar kalau buku itu bukan pajangan untuk didekor, tapi dibaca.”
“Kamu tuh... kalau jadi suami, bisa nggak, jangan kayak lagi ngisi absensi kuliah setiap kali buka mulut?”
Alvan hanya tersenyum tipis dan kembali ke laptopnya. Tapi matanya sempat melirik sekilas ke arah Naya yang kini serius membuka lembar pertama buku skripsi.
"Setidaknya dia masih bisa didorong... walau harus ditarik dulu."gumam nya pelan.
Naya masih duduk di depan buku tebal yang baru dibukanya dua menit lalu. Ia menatap halaman kosong di dalam otaknya, lalu berpaling ke arah Alvan yang tampak sibuk dengan laptop.
“Pak...”
Alvan tidak langsung menoleh.
“Hmm?”
Naya menggigit ujung pensil dan berkata pelan-pelan seperti merasa menemukan ide cemerlang.
“Saya kan nggak masuk kuliah beberapa hari kemarin ya… jadi kemungkinan besar saya udah ketinggalan banyak materi kan?”
Alvan menghentikan ketikan dan menoleh pelan, mengangkat satu alis.
“Memang iya,kamu baru sadar sekarang?”
Naya menatapnya sambil tersenyum manis—manis yang penuh modus.
“Jadi… bisa nggak… Pak Suami sekaligus Dosen Killer kesayangan saya ini… bantu ngajarin materi yang saya lewatin?”Naya berbicara dengan nada yang dibuat semanja mungkin.
Alvan menyipitkan mata, mencoba membaca niat di balik senyuman itu.
“Kamu yakin ini murni permintaan akademik, bukan taktik ngeles dari tanggung jawab ?”
Naya menyandarkan dagu di atas buku.
“Ya masa saya minta diajarin sambil nyetrika, kan aneh, Pak.”
Alvan menggeleng pelan, akhirnya menutup laptopnya.
“Baik. Tapi kamu belajar serius. Bukan sambil TikTok-an, bukan sambil ngelamun, dan jelas bukan sambil stalking akun gosip.”
Naya mengacungkan tiga jari.
“Janji. Beneran serius. Demi kelulusan, Pak Dosen.”
Alvan berdiri, lalu duduk di sebelah Naya. Ia mengambil pulpen dan mulai mencorat-coret sesuatu di buku catatan.
“Kita mulai dari materi terakhir metode penelitian. Fokus. Jangan ngelantur.”
Naya mengangguk cepat, tapi kemudian berbisik pelan.
“Duduk sedekat ini tuh bagian dari metode pendekatan juga, nggak sih?”
Alvan hanya menoleh datar, lalu menyodorkan buku padanya.
“Fokus, Naya. Kalau enggak, kamu tidur di sofa malam ini.”
Naya mendengus.
“Galak banget sih. Untung ganteng…” gumam Naya sambil mencoret-coret bukunya, setengah sadar bahwa kalimat itu keluar dari mulutnya.
Alvan yang sedang menjelaskan, langsung berhenti. Ia menoleh pelan ke arah Naya, matanya menyipit.
“Kamu bilang apa tadi?”
Naya membeku. Pulpen di tangannya terjatuh.
“Apa?” sahut Naya cepat, berusaha sok bingung sambil mengedip-ngedipkan mata polos.
Alvan memajukan tubuhnya sedikit, wajahnya kini hanya berjarak beberapa jengkal dari Naya.
“Tadi sesudah kamu bilang saya ini galak, kamu bilang apa?”
“Coba diulang. Biar saya bisa nilai intonasi dan konteksnya dengan tepat.”
Naya mulai salah tingkah. Ia melirik ke kiri dan kanan, seakan berharap buku di depannya bisa menelannya bulat-bulat.
“Ehm… saya bilang… Galak banget sih. Untung... gak ngajar sore ini?”
Alvan menyipitkan mata, mulutnya menyeringai tipis.
“Bohongnya gak kreatif. Ulangi kalimat lengkapnya, sekarang.”
"Apaansih" Naya berusaha untuk menghindar Ia berbalik hendak meninggalkan Alvan. Tapi Alvan yang refleks menahan pergelangan tangannya, menarik pelan agar Naya tIdak pergi.
Sayangnya, tarikan dan gerakan Naya yang terburu-buru membuat tubuhnya kehilangan keseimbangan.
“Eh—!”
Dalam sekejap, Naya terpeleset dan jatuh ke arah Alvan, yang duduk di sofa. Dan dada bidang Alvan jadi tempat mendaratnya tubuh Naya.
Deg.
Seketika waktu seolah berhenti.
Alvan mematung. Naya tak berkedip. Jantung keduanya seolah berlomba berdetak paling kencang.
Naya masih berada di posisi yang canggung tepat di pelukan Alvan.
Beberapa detik berlalu tanpa kata.
“Kamu... berat juga ya,” gumam Alvan pelan, setengah bercanda.
Naya langsung mendorong tubuhnya menjauh, pipinya memerah.
“Kamu yang narik aku! Tanggung jawab tuh, hampir aja patah tulang rusukku!”
“Saya cuma coba tahan kamu supaya nggak kabur dari pelajaran. Salah saya di mana?”
Naya memalingkan wajah. Tangannya merapikan rambut yang sebenarnya sudah rapi, hanya untuk menyembunyikan wajahnya yang mulai memanas.
🍒🍒🍒